29 August 2014

Movie Review: Lucy (2014)


"Ignorance brings chaos, not knowledge."

Film yang mencoba tampil variatif atau berwarna dalam menghibur dan juga bercerita tentu saja merupakan sebuah film yang menyenangkan, namun hal tersebut juga didampingi oleh sebuah syarat yang penting, konsistensi dan fokus mumpuni yang tidak setengah hati. Film ini mengalami hal tersebut, film terbaru dari salah satu ahli dalam menulis film action, Luc Besson. Lucy, sci-fi potensial yang jatuh perlahan.

Pria bernama Richard (Pilou Asbæk) menggunakan frekuensi pertemuan yang ia lakukan dengan bossnya, Mr. Jang (Choi Min-sik), seorang drug lord, sebagai alasan ketika meminta pertolongan pada Lucy (Scarlett Johansson). Lucy sendiri merasa tidak yakin untuk melakukan permintaan tersebut, selain ujian akademik yang telah menantinya ia juga menyimpan rasa ragu pada pria yang baru berpacaran seminggu dengannya itu. Rasa ragu itu ternyata tepat, karena sebuah koper yang Richard minta ia antarkan kepada Mr. Jang itu membawa masalah yang sangat besar bagi Lucy.

Isi koper tersebut adalah CPH4, obat sintetik yang memiliki fungsi dapat meningkatkan kemampuan manusia, dari time travel hingga telepati, obat yang celakanya justru harus menjadi bagian dari isi perut Lucy. Namun berawal dari sebuah tindakan ceroboh salah satu anak buah Mr. Jang obat tersebut masuk kedalam sistem tubuh Lucy, melakukan invasi didalam tubuh wanita itu secara bertahap meningkatkan kemampuan kinerja dan kemampuan otak Lucy, hal yang semakin memperbesar masalah dan bahaya yang harus ia hadapi.


Sebut saja Lucy sebagai proyek iseng atau keras kepala dari seorang Luc Besson, sebuah upaya dimana sosok yang telah identik dengan kekacauan gerak cepat seperti Taken, Taxi, dan Transporter ini ingin mencoba memadukan unsur ringan dan berat seperti yang pernah ia lakukan di Léon dan The Fifth Element, sci-fi dan fantasy yang bukan hanya berisikan tembak-menembak dengan ratusan butir peluru serta adu cepat di jalan raya namun juga punya misi untuk menghantarkan sebuah pesan bermakna layaknya sebuah art-house. So, masalahnya muncul dari sikap keras kepala Luc Besson, ia ingin tampil beda namun ia juga seperti kurang peduli dengan syarat-syarat untuk mendukung misinya tadi agar dapat tampil mumpuni, memilih untuk menggunakan formula hafalannya.

Hasilnya adalah petualangan di selimuti ambiguitas yang kurang menyenangkan. Yap, kurang menyenangkan, ia punya momen yang mampu membuat penontonnya tersenyum bahagia namun juga diselingi dengan momen kurang penting yang mengundang rasa jengkel luar biasa. Sedikit disayangkan memang karena jika menilik dari premis hingga sinopsis yang menggunakan teori kuno terkait manusia yang hanya menggunakan 10% dari kapasitas otak mereka itu Lucy punya potensi besar untuk menjadi sebuah kekacauan yang menyenangkan, aksi boom-boom-boom yang membawa penonton dalam petualangan dengan oktan yang lebih tinggi dari apa yang pernah dilakukan oleh Limitless. Tapi perpaduan elemen dengan cita rasa Discovery Channel dan National Geographic merusak semuanya.


Nah, ini dia, Luc Besson seperti iseng disini, menarik ulur kita para penonton dengan menggabungkan secara kasar berbagai scene dari tumbuhan hingga binatang untuk membantu proses awal cerita terbangun. Menarik memang, tapi hanya diawal, karena dampak dari sikap keras kepala tadi pada akhirnya Luc Besson tampak bingung pada bagaimana cara ia untuk mengembangkan pola awal itu agar terus berlanjut hingga akhir, perpaduan antara adegan aksi andalannya bersama momen tenang dimana penonton menikmati konsep ilmiah yang mencoba menggambarkan makna dari evolusi. Hasilnya, stuck, memilih kembali menggunakan formula klasik, keputusan yang meninggalkan banyak masalah.

Yap, masalah, sumbernya terletak pada cerita yang tidak kuat. Momen dimana ia seharusnya membentuk pondasi cerita agar menjadi kuat di awal Luc Besson gunakan sembari tersenyum untuk membuat anda penuh kebingungan bersama kombinasi aneh tadi, dan ketika rasa bingung itu berbalik arah pada Luc Besson, anda yang akan ganti tersenyum puas ketika melihat segala kekacauan yang mulai tampil canggung itu. Lucy seperti ambisi tanpa kompromi, kekacauan dimana Luc Besson seolah ingin menggabungkan Terrence Malick dan Michel Gondry, ia ingin kita merasakan masalah yang timbul dari konsep tadi namun tidak menyertakan karakterisasi yang mumpuni, kemudian membuat kita terpukau dengan permainan teknologi dari kemampuan yang dimiliki oleh karakter.

Tidak heran jika ada yang menilai Lucy sebagai film ambigu yang omong-kosong, karena faktanya memang demikian, sci-fi yang mencoba sangat keras untuk mengedepankan isi dari ceritanya sembari bersenang-senang namun harus jatuh menjadi sajian sinematik yang hampir kosong. Benar, hampir kosong, karena dibalik teka-teki yang tidak pernah berhenti melemparkan filosofi itu hadir adegan aksi yang cukup menarik, menyaksikan Scarlett Johansson yang mampu menjadikan kemampuan yang ia miliki terasa menarik, meskipun cukup disayangkan pada akhirnya tidak memberikan kesempatan bagi Choi Min-sik untuk berkontribusi lebih dalam cerita.


Overall, Lucy adalah film yang cukup memuaskan. Seperti tampilan brain capacity di layar yang secara periodik meningkat, beberapa penonton akan mudah terhipnotis dan masuk kedalam penantian menuju babak akhir dari petualangan yang canggung ini. Hal sebaliknya akan terjadi pada mereka yang ingat bahwa film ini diawal mencoba untuk tampil kontemplatif, namun akibat Luc Besson yang tidak mampu mengendalikan dan mencampur dua tujuan yang ia bawa akhirnya hanya menjadi petualangan yang terasa standard jika menilik potensi besar yang ia miliki sebelumnya. Semua kembali pada standard dan ekspektasi dari para penontonnya, karena hasil yang diberikan oleh Lucy terasa sangat ambigu, sama seperti hiburan yang ia berikan. Bagi saya, Lucy selevel dengan The Family (Malavita).








0 komentar :

Post a Comment