27 July 2014

Review: Ju-on 3: The Beginning of the End (2014)


Horror yang “baik” adalah horror yang bukan hanya berhasil menakut-nakuti penonton ketika ia tampil dihadapan mereka, tapi juga mampu untuk tetap melekat di ingatan para penonton saat kembali ke aktifitas mereka lainnya, menjadi bagian dari rasa takut atau creepy para penonton ketika mereka berhadapan dengan hal, benda, atau situasi yang tadi telah mereka saksikan. Ju-on 3: The Beginning of the End punya itu, sebuah reboot dari franchise yang terus menunjukkan grafik menurun, horor psikologi kontemporer yang creepy.  

Seorang wanita bernama Yui Shono (Nozomi Sasaki) dihadapkan pada sebuah masalah di sekolah dasar tempat ia mengajar. Salah satu muridnya, Toshio Saeki (Kai Kobayashi) menolak untuk kembali ke sekolah, masalah yang kemudian memaksa Yui selaku guru untuk datang dan berupaya membujuk Toshio. Namun celakanya masalah itu membawa masalah baru, ketika Yui telah menginjakkan kaki kedalam rumah Toshio ia mulai mengalami berbagai fenomena serta teror yang aneh dan menakutkan. 

Tidak seperti dua film terakhir yang dapat dikatakan punya kualitas menyedihkan (untuk standard Ju-On tentu saja), cerita yang disusun oleh Masayuki Ochiai dan Takashige Ichinose ini berhasil untuk tidak terjebak dalam kesalahan yang sama dari pendahulunya itu. Wajar memang karena statusnya yang merupakan sebuah reboot, Ju-on 3: The Beginning of the End jelas punya pondasi cerita yang kuat meskipun familiar. Tapi yang menarik disini adalah meskipun kita sudah tahu garis besar masalah yang ia punya film ini tetap mampu membuat kita seolah menyaksikan kemasan baru yang bukanlah merupakan sebuah pengulangan semata.

Benar, ada sensasi segar disini, dan yang saya suka adalah hal-hal menyenangkan dari para pendahulunya di awal dulu kembali hadir dengan tingkat kengerian yang mengasyikkan. Memang harus diakui Toshio sudah terlalu akrab bagi sehingga kesan horror dari karakternya tidak lagi begitu besar, tapi kemampuan Masayuki Ochiai dalam mengolah bagian lain tetap mampu meminimalisir kekurangan dari peran Toshio yang dulu sangat besar itu. Yang paling positif tentu saja cerita, ia kembali tampil menarik meskipun akan menimbulkan rasa aneh karena tampak disengaja oleh Masayuki Ochiai untuk terus tampil minimalis dan tidak mengganggu ruang bagi atmosfir untuk menyerang penontonnya. 

Jika anda mampu melupakan minus kecil tersebut, kemudian terjebak kedalam atmosfir yang ia ciptakan, Ju-on 3: The Beginning of the End akan terasa mengasyikkan bagi anda. Predictable, ya, tapi siapa yang tidak tersenyum puas ketika diajak untuk menelusuri asal mula dari anak hantu tersebut dengan gaya horror Jepang klasik ditemani dengan hal-hal menakutkan yang terbentuk dengan dinamis, dari mondar-mandir yang seolah main tarik ulur dengan penonton, teknik kamera dengan gambar-gambar yang terus menjaga rasa gelisah, rasa tidak nyaman yang perlahan mulai mengusik sisi psikologi, hingga peran suara pada momen-momen tidak terduga yang tetap mampu mengejutkan meskipun anda telah siap sedia. 

Seperti yang disebutkan di bagian pembuka tadi, Ju-on 3: The Beginning of the End punya apa yang penonton inginkan dari film horror. Ceritanya tidak “menjijikkan” meskipun memang dangkal, tapi momen seperti “itu, disitu”, “itu dibelakangmu”, “hey, didepanmu”, akan mendominasi pikiran dan kalimat dari penonton yang akan terus diajak berada dalam kondisi berjaga-jaga menantikan situasi menunggu penuh ketenangan berakhir dengan sebuah kejutan. Masih dengan formula yang sama, Ju-on 3: The Beginning of the End bukan hanya berhasil memberikan petualangan menakutkan yang menyenangkan ketika ia tampil di layar tapi juga punya kekuatan untuk tinggal di pikiran penonton dan menemani dalam "petualangan" pribadi mereka. Segmented maybe.








0 komentar :

Post a Comment