31 July 2014

Movie Review: The Grand Budapest Hotel (2014)


"The beginning of the end of the end of the beginning has begun."

Jika cara anda berekspresi masih belum memberikan rasa bosan bagi anda, maka belum ada alasan bagi anda untuk berubah demi memuaskan pendapat orang lain. Terdengar egois memang, namun yang mengerti cara agar anda dapat merasa bahagia adalah anda sendiri, itu yang masih diterapkan oleh Wes Anderson, namun uniknya ia kembali tidak hanya bergembira seorang diri bersama ide-ide miliknya, ia juga mampu mengajak penonton untuk bersenang-senang dalam fantasi penuh warna. The Grand Budapest Hotel, 2014 yummy orchestra.

Berawal dari sebuah buku berjudul “The Author" (Tom Wilkinson), seorang gadis muda bercerita tentang petualangan The Author muda (Jude Law) ke Grand Budapest Hotel pada tahun 1968, di kala ia bertemu dengan Zero Moustafa (F. Murray Abraham) yang kemudian bercerita kepadanya tentang sebuah sejarah yang pernah terjadi di Grand Budapest Hotel. Kisah itu bermula di tahun 1932, disaat Zero (Tony Revolori) masih menjadi seorang lobby boy di hotel paling terkenal di Republic of Zubrowka itu, dan harus terlibat didalam sebuah masalah yang melibatkan pria bernama Monsieur Gustave H (Ralph Fiennes).

Gustave merupakan pengelola Grand Budapest Hotel, tapi kebiasaan yang ia lakukan dengan menjalin hubungan lebih intim bersama tiap pelanggan wanitanya justru membawa masalah besar. Sumbernya adalah Madame D. (Tilda Swinton), wanita tua yang ternyata punya cinta sangat besar pada Gustave, hingga ketika telah tiada ia mewariskan salah satu lukisan langka miliknya kepada Gustave. Keputusan tersebut tidak diterima oleh Dmitri Desgoffe (Adrien Brody), anak Madame D., yang bersama J.G. Jopling (Willem Dafoe) berupaya untuk menangkap Gustave. Celakanya hal itu juga menciptakan masalah bagi Zero, karena Gustave mempercayakan Grand Budapest Hotel dibawah pengawasannya.


The Grand Budapest Hotel adalah sebuah petualangan fantasi yang akan memberikan apa yang penonton harapkan dari seorang Wes Anderson, fun movie. Sedikit bingung harus memulai dari mana, tapi inti dari semua kalimat yang akan anda baca berikutnya akan berisikan rasa kagum saya pada kualitas kreatifitas yang dimiliki pria kelahiran Houston ini. Sangat sederhana, berasal dari bagaimana ketika teori don't judge the book by its cover itu disatukan dengan tema “trust”, di olah kedalam pembagian waktu present and past untuk kemudian melebar menjadi sebuah kekacauan dengan unsur caper yang tetap menonjolkan ciri khas dari film-film karya Wes Anderson, sebuah kisah kehidupan manusia yang diterjemahkan kedalam sebuah opera atau mungkin panggung boneka dengan sensasi dan nyawa yang memikat.

Nah, itu yang mengagumkan, ketika banyak filmmaker berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah film rumit yang menguras energi penonton namun pada akhirnya harus jatuh menjadi menjengkelkan, Wes Anderson tetap berpegang pada teori “simple but still fun”. Tapi disamping keputusan tadi ia juga seperti mengerti bagaimana cara untuk menjadikan penonton dapat memaafkan dengan begitu mudahnya materi yang ia punya lewat elemen-elemen lain, warna-warna eye-candy sudah pasti ada, dari kostum, set, hingga gambar-gambar manis yang mampu mengabungkan dengan sangat baik kesan canggung bersama pola simetris untuk kemudian bukan hanya mengaduk-aduk mata para penontonnya, namun terus masuk kedalam pikiran dan menciptakan fantasi liar yang menyenangkan.

Yap, fantasi liar, seperti sebuah dongeng kita dituntun untuk masuk kedalam satu bagian dan berpindah kebagian lainnya, bermain-main dengan atmosfir menyenangkan bersama dengan dinamika bercerita yang juga tidak kalah menyenangkan. Hal ini yang setelah ia berakhir kemudian menghadirkan rasa aneh, bagaimana bisa kekacauan yang berlandaskan konflik crime yang penuh sesak dengan karakter (masih ada Bill Murray, Bob Balaban, Léa Seydoux, Jason Schwartzman, Owen Wilson, Tom Wilkinson, dan Mathieu Amalric) dan terus bergerak cepat itu dapat terasa intensitas miliknya dan punya intimitas yang tidak buruk tanpa harus memaksa penonton melupakan kenikmatan yang juga secara bersamaan mereka tangkap dengan mata mereka?


Penonton seperti dibuat sibuk, sibuk menikmati visual, sibuk pula menikmati cerita, tapi dua hal tadi hadir tanpa berada dalam konteks “dipaksa”, karena kisah yang sedikit lebih dewasa jika dibandingkan dengan Moonrise Kingdom ini tersusun di dalam narasi yang seolah tahu cara bermain dengan ritme, seperti seorang penyanyi ia tahu nada tapi juga paham dengan irama. Hasilnya yang sederhana, atensi dan sensasi, menjadikan penonton setelah terjebak kedalam fantasi ini dapat lupa dengan beberapa minus super minor, sebut saja seperti karakterisasi dari tokoh yang hanya kuat di Gustave dan Zero. Seperti sebuah trik dari Wes Anderson memang, pakai banyak karakter, terus serang penonton dengan kisah drama, romance, dan komedi seadanya, tapi satukan mereka dalam komposisi yang pas, semua berakhir indah.

Semudah itukah melupakan minus yang ia tampilkan? Ya, semudah itu, mereka mungkin berhasil mencuri ruang namun mereka tidak mampu mencuri waktu penonton untuk mempersoalkan mereka. Itu belum menghitung bagaimana ketika kita terus disajikan berbagai aktor dan aktris papan atas yang secara bergiliran mengisi peran kecil lainnya, dan tentu saja bersama permainan ratio, dan score Alexandre Desplat menikmati penampilan manis dari dua tokoh utamanya. Tony Revolori adalah kejutan disini, sikap kaku yang ia tampilkan terasa menyenangkan untuk di ikuti, tapi perannya sebagai Monsieur Gustave H semakin memperbesar rasa kagum saya pada Lord Voldemort. Long live Mister, Harry Potter might come back.


Overall, The Grand Budapest Hotel adalah film yang memuaskan. Terbaik tahun ini? Sangat mungkin, karena sangat sulit untuk tidak mengagumi karya terbaru Wes Anderson ini, dunia fantasi pribadi miliknya yang mampu mengajak penonton untuk ikut serta didalam petualangan campur aduk yang imajinatif, bergerak liar, cekatan, tapi tetap disertai dengan kontrol bersama visual yang lagi-lagi tampil impresif serta elemen-elemen lain seperti narasi bercerita dan akting yang bersatu padu dalam kuantitas dan kualitas yang sangat pas. Woody Allen is a great screenplay driven filmmaker, and Wes Anderson is is a good screenplay driven filmmaker with more colorful and unique style.







0 komentar :

Post a Comment