21 July 2014

Movie Review: Earth to Echo (2014)


"Did your phone barf?"

Sulit memang untuk mengatakan bahwa sebuah film menawarkan sesuatu yang benar-benar secara total terasa segar kepada penontonnya, bukan sesuatu yang mustahil tentu saja tapi jika anda mundur ke tahun-tahun sebelumnya pasti ada saja sebuah film yang telah menggunakan dan menerapkan kisah, cara, hingga tema yang sama. Tricky and risky, hit or miss, this movie pay that price, Earth to Echo, ET (nearly) grade E.

Sebuah proyek yang dikatakan hendak membangun highway menjadikan satu kawasan pemukiman di Las Vegas harus ditinggalkan oleh para penduduknya, peristiwa yang juga secara paksa ikut pula memecah atau memisahkan persahabatan dari tiga remaja laki-laki bernama Alex (Teo Halm), Tuck (Brian Bradley), dan Munch (Reese C. Hartwig). Sebelum berpisah Alex dan dua sahabatnya itu memutuskan untuk mengisi malam terakhir mereka bersama, tapi sebuah hal aneh justru memberikan sebuah petualangan yang berbeda dari ekspektasi awal mereka.

Sebuah sinyal aneh secara berkala muncul di smartphone mereka bertiga, namun tidak seperti kebanyakan orang disekitar yang menganggap itu sebagai efek dari proyek tadi, Alex, Tuck, dan Munch justru merasakan sesuatu yang aneh dari hal tersebut. Mereka memutuskan untuk mengikuti petunjuk dari sinyal itu yang kemudian mempertemukan mereka dengan alien dalam wujud sebuah robot kecil yang kemudian mereka beri nama Echo. Tapi sayangnya bersama dengan seorang anak perempuan lain bernama Emma (Ella Wahlestedt) mereka justru harus terlibat dalam aksi kejar dengan agen federal.


Dari clue yang disebutkan di paragraf pembuka tadi anda tentu saja dapat menebak seperti apa film yang berada di bawah kendali Dave Green sebagai sutradara ini. Ya, ini adalah perpaduan (sebut saja seperti itu) dari berbagai film dengan tema petualangan dan remaja yang sebelumnya telah eksis di dunia perfilman. E.T. karya Steven Spielberg tentu menjadi pondasi utama yang dapat terlihat dengan sangat jelas dari poster yang mereka gunakan, kemudian ada sedikit nafas The Goonies yang dicampur dengan nada gelap yang juga pernah diberikan oleh Super 8, dan terakhir ditutup dengan penggunaan format found footage yang pernah menjadikan Chronicle terasa unik dan segar.

So, jika menilik daftar film-film yang ia gunakan sebagai dasar tadi tentu saja akan mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa Earth to Echo sebagai sebuah kue kecil yang berpotensi untuk memberikan rasa berbeda dibalik berbagai blockbuster di summertime ini. Celakanya hasilnya justru berbeda, cerita yang ditulis oleh Henry Gayden itu akan memberikan petualangan yang secara kasat mata memang akan tampak berhasil untuk mengalir dengan sangat lembut, tapi dibalik itu ada kesan stuck yang annoying, kesan bingung dari film itu sendiri, what are they trying to be, campur aduk sana sini yang pada akhirnya tidak menjadikan kita sebagai penonton memandang mereka sebagai Earth to Echo, lebih kepada parodi dari berbagai film yang disebutkan sebelumnya.


Ini yang menjadi masalah utama, Dave Green tidak mampu menjadikan Earth to Echo tampil sebagai Earth to Echo, sebuah petualangan remaja yang segar dibalik berbagai kemiripan materi yang ia gunakan. Feel sangat penting dari film dengan tema hubungan antar personal seperti ini, persahabatan dari tiga pemeran utama yang seharusnya dapat menjadi penggambaran arti sesungguhnya dari persahabatan tidak mampu mewujudkan potensi tersebut, tidak ada intimitas yang menarik di antara mereka, dan celakanya ketika jualan utamanya itu tidak bekerja dengan baik Dave Green tidak punya hal lain yang dapat menutup nilai minus tersebut, Echo bahkan terabaikan dan tampak seperti boneka dengan peran dan daya tarik kurang penting karena sejak awal tidak berhasil ditempatkan sebagai bagian utama.

Earth to Echo dapat tampil memuaskan andai saja ia dibentuk dengan fokus yang kuat dan sama sederhananya dengan eksekusi yang ia dapatkan. Tidak perlu menjadikan hal-hal janggal sebagai alasan, dari cerita aneh dimana orang tua yang dapat dibohongi dengan mudahnya, tiga remaja bersepeda puluhan kilometer bersama udara malam hari, hingga sisi teknis seperti penggunaan kamera yang tidak pernah memberikan kelembutan dalam gerak liar yang ia pertunjukkan, Earth to Echo perlahan kehilangan daya tarik karena mencoba terlalu kuat untuk menjadi sebuah petualangan yang kompleks tanpa kemampuan untuk mengontrol alur yang membuat penonton terlibat didalamnya.

Di divisi akting sendiri sebenarnya tidak begitu mengecewakan. Teo Halm, Brian Bradley, dan Reese C. Hartwig dapat dikatakan menjadi penyelamat Earth to Echo dengan penampilan pure yang mereka tunjukkan, bahkan ada chemistry yang tidak begitu buruk disini, dari hal-hal konyol hingga aksi ping-pong satu sama lain hadir dalam komposisi yang cukup baik. Sayangnya nilai positif itu tidak digali lebih dalam oleh Dave Green, tidak ada momen dimana mereka diberi kesempatan untuk memperdalam arti persahabatan, semua ditampilkan secara tersirat sehingga tidak kuat, akhirnya tema persahabatan itu pudar dan tergantikan oleh petualangan yang semata-mata hanya berisikan misi memecahkan masalah dan mencari jawaban.


Overall, Earth to Echo adalah film yang kurang memuaskan. Semua filmmaker tentu saja memberikan 100% ide dan energi yang ia miliki untuk menjadikan materi yang ia miliki tampil memuaskan, tapi tidak semua keputusan yang ia ambil akan sejalan dengan interpretasi para penontonnya, dan seperti yang disebutkan di review sebelumnya Earth to Echo adalah film yang pemalas. Tampil sederhana bukan sebuah dosa, tapi tampil sederhana dengan menimbulkan kesan seadanya dibalik penggunaan berbagai pengulangan dalam narasi adalah sesuatu yang menjengkelkan. Earth to Echo seperti itu, kurang mampu memberikan sesuatu yang berbeda dan berarti didalamnya.







0 komentar :

Post a Comment