27 June 2014

Movie Review: Transformers: Age of Extinction (2014)


"A new era has begun. The age of the Transformers is over."

Menjelaskan film ini secara sederhana sebenarnya sungguh mudah: kaboom, boom, and boo. Kehadiran kalimat “its Transformers, so what the ding dong do you expect?” tentu terasa wajar, tapi bukankah penerus harus lebih baik dari pendahulunya, dan yang menyebabkan film ke empat ini tampak menjanjikan adalah janji dari Michael Bay bahwa ini akan membawa sesuatu yang berbeda. So, is it a game changer for Transformers? Well, well. Transformers: Age of Extinction, a still-soulless-plus-fun-action-sequence-nearly-three-hours-adventure with a bunch of robot-who-can-turn-into-a-car-and-reverse. This is not extinction, it’s (just the same) war.

Setelah pertempuran mereka empat tahun lalu di Chicago, Autobots dan Decepticons kini menjadi objek yang terus diburu oleh pemerintah dibawah komando pejabat bernama Harold Attinger (Kelsey Grammer). Menggunakan departemen riset KSI Industries yang dipimpin oleh Joshua Joyce (Stanley Tucci), mereka menciptakan robot militer menyerupai Transformers untuk membasmi para Autobots, menggunakan logam Transformium serta data tersisa dari Megatron, tercipta robot yang dinamai Galvatron. Tidak hanya itu karena mereka juga punya bantuan yang jauh lebih besar, Lockdown, Transformer bounty hunter dalam wujud Lamborghini Aventador.

Tapi pada sebuah pedesaan di kawasan Texas seorang pria bernama Cade Yeager (Mark Wahlberg) menjadi sumber lahirnya sebuah perlawanan. Single father yang selalu cemas dengan putrinya Tessa Yeager (Nicola Peltz) itu menemukan sebuah truk tua yang ternyata merupakan Optimus Prime (Peter Cullen), berhasil ia perbaiki bersama Lucas (T. J. Miller), namun celakanya juga membawa mereka dan seorang pria bernama Shane Dyson (Jack Reynor) kedalam masalah besar, karena Optimus Prime kembali melakukan ciri khasnya kepada Bumblebee dan rekannya yang lain untuk beraksi, calling all autobots.


Apa yang dijanjikan oleh Michael Bay bahwa Transformers: Age of Extinction akan menjadi sebuah awal baru yang terasa segar harus diakui berhasil tampil dengan baik di bagian pembuka, sinopsis terbangun tanpa terasa kasar dimana ia berhasil mengganti karakter lama dengan hanya menyisakan favorit penonton seperti karakter besar Optimus Prime dan Bumblebee serta yang lebih kecil pada Ratchet dan Brains, kemudian memutar fokus utama dengan menaruh kisah love interest sebagai pendukung dan menjadikan hubungan ayah dan anak sebagai pusatnya. Tidak kuat memang, terkesan seadanya dengan pergerakan cepat dan sedikit dipaksa, tapi setidaknya ada aksi ping-pong yang baik dari sisi drama dan juga cikal bakal pertempuran yang ia bakar secara stabil dengan baik.

Tapi sekuat apapun anda berusaha untuk mempertahankan perlakuan berbeda (sedikit mengesampingkan cerita) yang telah anda berikan sejak awal, film ini tetap saja akan terasa melelahkan. Rangkaian ledakan skala besar yang menyenangkan serta tertata dengan halus, eye-popping penuh warna yang cerah disertai gambar-gambar indah yang dengan mudah akan memanjakan mata dan juga pikiran, dari balapan bersama Camaro, Bugatti Veyron, Corvette C7, dan Hummer H2, hingga pertempuran dan baku tembak dengan slo-mo yang manis melibatkan benda besar, setia ditemani berbagai iklan dari Beats hingga Victoria's Secret, sisi teknis pada visual dengan segala efek yang ia gunakan layak mendapatkan dua jempol, Oscar mungkin. Pertanyaannya adalah kenapa itu terasa biasa?


Karena Transformers: Age of Extinction tidak punya pesona yang mumpuni. Lewatkan dua film terakhirnya dan mari mundur ke film pertama, disana ada pesona sederhana yang kuat, pria bersama mobil pertamanya, serta wanita pujaannya. Ada kualitas besar dibalik kuantitas kecil disana, hal yang terasa minim kehadirannya di penerusnya, Michael Bay secara konstan telah berhasil memperbesar hal itu di visual tapi belum mampu membuat mereka setidaknya seimbang sebagai satu kesatuan. Ia sangat rakus disini, menerapkan pendekatan yang sama dengan kuantitas sebagai nomor satu, selalu sibuk untuk memastikan bahwa layar tidak pernah diam meskipun harus diisi dengan dialog canggung dan narasi hambar bersama berbagai metafora antara robot dan mobil yang dikemas dengan agresifitas tingkat tinggi itu.

Sungguh mengherankan bagaimana bisa Bay dan timnya mampu merangkai berbagai adegan aksi penuh efek menakjubkan menjadi satu kesatuan yang mumpuni tapi disisi lain tidak dapat membangun sebuah alur petualangan yang berada di level cukup mumpuni di dua sisi. Tidak perlu solid apalagi megah tentunya, at least sebuah narasi yang mampu menjadikan penonton merasa terlibat di dalam petualangan itu, hal yang sebenarnya dapat meningkatkan nilai dan makna dari pertarungan penuh kehancuran itu, memberikan nyawa sehingga dapat menjauhkan kesan monoton dibalik berbagai pengulangan yang ia lakukan serta memperbesar thrill dan sensasi yang ia ciptakan. Potensi untuk menjadi petualangan menyenangkan di awal tadi justru berubah menjadi ajang uji kesabaran bagi para penontonnya.



Yap, dengan durasi 165 menit kita terus diserang dan dibombardir dengan adegan aksi tanpa disertai irama yang mumpuni. Bukankah seharian menyantap makanan manis akan menjadikan rasa manis itu terkesan biasa, menghilangkan sensasinya, dan mengundang rasa membosankan? Harus ada penyeimbang yang menciptakan variasi. Begitulah TF4, tidak punya penyeimbang sehingga diawal ia menakjubkan namun perlahan mulai terasa biasa dan menjemukan, melelahkan. Resiko memang karena Michael Bay sadar ia harus melakukan itu untuk menutup cerita hambar yang ditulis oleh Ehren Kruger. Tidak akan terasa mengganggu bagi mereka yang telah terhipnotis oleh adegan aksi, dan disisi sebaliknya akan merasa jengkel karena mereka hanya mendapatkan kemasan dengan rasa yang sama tanpa kesan segar didalamnya.

Akhirnya ini akan terasa seperti show-off kosong dengan budget yang super besar dari calon penghuni highest-grossing films list. Extinction, kepunahan, tidak ada something menarik yang tersisa dari misi itu dalam skala kecil sekalipun di akhir cerita, berakhir hambar sama seperti dialog dan mayoritas humor yang ia hadirkan. Begitupula dengan divisi akting, hanya Stanley Tucci yang mampu memancarkan sinar dari karakternya dengan sedikit bantuan Li Bingbing, dan T. J. Miller tampil cukup baik yang membuat kejutan itu meninggalkan shocking effect yang kuat. Mark Wahlberg yang seharusnya ambil bagian sebagai pahlawan lebih tampak seperti ayah yang bingung dengan apa yang terjadi disekitarnya, dan Nicola Peltz belum mampu melanjutkan tugas Megan Fox dan Rosie Huntington-Whiteley sebagai Transformers leading lady.


Overall, Transformers: Age of Extinction adalah film yang kurang memuaskan. Jika anda sejak awal hanya ingin menyaksikan mobil berubah menjadi robot dan sebaliknya, kemudian bersatu dan bertarung menghasilkan kehancuran skala besar, ini adalah film untuk anda. Mengapa? Karena fokus anda akan lebih kuat untuk tidak terganggu dengan berbagai drama dan alur mondar-mandir hampir berantakan, kekurangan nyawa dan miskin irama, hal yang justru membawa banyak nilai minus: menambah tumpukan hal-hal kurang penting, memperpanjang durasi, perlahan memperbesar rasa lelah (mungkin jengkel) dari penontonnya, dan puncaknya merusak kenikmatan dari jualan utamanya yang sebenarnya punya kualitas mumpuni, adegan aksi. Nothing fresh. Segmented.







0 komentar :

Post a Comment