01 June 2014

Movie Review: The Normal Heart (2014)


"You can't stop fighting for the ones you love."

Sometimes, what you call good movies is the ones that can touch and playing with your emotions. Ya, sederhana, hal tadi sering kali mampu mencuri fokus kita sebagai penonton yang kemudian akan tidak begitu mempermasalahkan beberapa kekurangan atau ketidakseimbangan yang ia punya disisi lainnya. Film ini secara mengejutkan punya hal tadi, kombinasi antara plague, love, dan humanity, The Normal Heart, awfully good in terms of frustration drama.

Seorang penulis yang secara terbuka menyandang status gay, Alexander 'Ned' Weeks (Mark Ruffalo) sedang dalam perjalanan menuju Long Island untuk merayakan ulang tahun temannnya, Craig Donner (Jonathan Groff). Ajang yang mempertemukan Ned dengan dua teman lainnya itu, Mickey Marcus (Joe Mantello) dan Bruce Niles (Taylor Kitsch), sebenarnya bukan hanya sebatas sebuah acara ulang tahun, lebih besar lagi acara yang diadakan pada sebuah rumah di tepi pantai ibarat sebuah pesta bagi kaum gay untuk menikmati kebebasan mereka, namun bagi Ned juga menjadi alarm yang menuntunnya pada sebuah bahaya besar.

Berawal dari sebuah insiden yang terjadi pada Craig di tepi pantai, ketika pulang ke New York Ned secara tidak sengaja membaca sebuah artikel dengan dua kata kunci, kanker dan homoseksual. Ia bergegas menemui Dr. Emma Brookner (Julia Roberts), yang ternyata telah sering menyaksikan dan menangani kasus tersebut. Dari sana Ned mulai bertekad membawa kasus HIV/AIDS ini menjadi lebih besar agar dapat membuka mata masyarakat pada bahaya yang dapat menghampiri mereka dari hubungan seks. Namun sayangnya usaha yang ia usung bersama Bruce, Mickey, dan Tommy Boatwright (Jim Parsons) dengan membawa nama Gay Men's Health Crisis itu menemukan rintangan yang tidak kecil.


Terlepas dari berbagai hype yang ia miliki sebut saja seperti jajaran cast yang cukup berhasil menarik perhatian hingga keberadaan Brad Pitt di lini produksi, harus diakui film yang ditulis ulang oleh Larry Kramer dari novel dengan judul yang sama miliknya itu berhasil menyajikan sebuah dramatisasi dari sebuah tragedi pada era 80-an dengan pesona yang kuat. Ya, pesona yang kuat, The Normal Heart punya sebuah inti yang sejak awal akan terus mencengkeram dan menghantui pikiran penontonnya tidak peduli warna-warna lain yang akan menemaninya hingga akhir, “bahaya dari AIDS/HIV”, berhasil dikendalikan dengan baik oleh Ryan Murphy untuk mampu tampil di momen sekecil apapun itu.

Ini yang menjadikan The Normal Heart terasa menarik, walaupun pengenalan karakter terasa kurang kuat ia dengan berani memutuskan untuk mengandalkan permainan emosi dari cerita agar dapat mencapai meraih status “baik” dari penontonnya. Kisah ini akan berhasil pada mereka yang sejak awal tidak punya masalah dengan tema LGBT, kemudian dengan cepat terjebak pada isu utama yang tidak pernah di tarik untuk bergerak terlalu jauh, dan ketika telah klik momen dimana api yang tenang itu berkobar menjadi besar akan ikut terjadi pada para penontonnya. Ya, sebuah melodramatis yang menghipnotis, film yang terus bergerak halus dan juga bebas bersama berbagai konflik lain seperti cinta, keadilan, dan kemanusiaan tanpa rasa takut.


Tanpa rasa takut, karena sejak awal The Normal Heart sudah berpegang teguh pada inti yang ingin ia sampaikan. Krisis AIDS itu terus menghantui cerita yang perlahan mulai mondar-mandir dengan beberapa pengulangan, bagaimana ketika kita diajak untuk ikut merasakan sebuah komunitas minor yang terus berjuang dalam segala keterbatasan untuk menghancur dinding besar yang menghalangi mereka, sedangkan disisi lain mereka juga harus bertarung dengan masalah pribadi masing-masing. Banyak masalah yang tersebar di sini, hal yang juga menyebabkan beberapa diantara mereka terasa tumpul dan sempat melukai dinamika cerita, tapi Ryan Murphy mampu menyatukan mereka agar secara umum terus tampak padat, terus tampak bergairah. 

Ya, memang sedikit manipulatif, namun tidak akan menjadi sebuah masalah yang besar bagi mereka yang telah terisolasi bersama materi provokatif yang tidak pernah berhenti mengeksplorasi rasa frustasi dalam narasi miliknya. Dari ketidakpedulian pemerintah, muncul sikap berani yang ikut diselimuti amarah dan rasa bingung sembari sesekali juga melemparkan perdebatan yang sengit, mereka bergabung untuk menghasilkan intensitas cerita yang baik dan menjadikan makna utama dari film ini terus mencuri atensi. Bayangkan saja durasi dua jam lebih dan anda hanya akan menyaksikan sebuah kelompok yang sedang sekarat terus berjuang mencari kehidupan dan keadilan bersama kehilangan dan penolakan karena mereka juga punya hati yang sama dengan lingkungan mereka, normal heart.


Yang menjadi masalah bagi The Normal Heart adalah ketika ia tidak mampu menyatukan ledakan-ledakan kecil yang ia sebar di sepanjang cerita untuk berkumpul di bagian akhir. Hal ini terjadi karena dibalik perjuangan para karakter itu Ryan Murphy dan Larry Kramer seperti sepakat untuk tidak ingin agar ini menjadi kemasan yang terlalu “tajam”, beberapa masalah dari individu tadi dijadikan alat untuk sesekali mengalihkan perhatian. Mereka memang menciptakan penceritaan yang terasa mengalir dan variatif, namun aksi tarik dan ulur ini yang kurang begitu klik dengan saya, love, humanity, justice, dan plague itu juga seolah berdiri sendiri meskipun bermain bersama dalam kemasan padat, pesona itu ada, inti cerita tetap kuat, tapi urgensi yang perlahan tergerus sedikit menodai dan menghalangi film ini meraih potensinya.

Sangat suka pada bagaimana para aktor mengekspresikan berbagai amarah yang mereka punya, tapi secara intensitas emosi paruh kedua terasa kurang powerfull. Mereka seperti merasa lelah dalam aksi menunggu tanpa kepastian, dan itu tidak bisa dihapus meskipun dengan kinerja memukau dari para aktor (Emmy maybe?). Ruffalo berhasil menjadi pemimpin, dan ia mampu menghadirkan kombinasi rasa sakit dalam ambisi yang Ned punya. Mantello dan Kitsch mampu menggunakan momen penuh emosi mereka dengan baik, dan Julia Roberts berhasil menjadi pusat amarah tersembunyi yang baik. Yang menarik adalah Matt Bomer, berperan sebagai reporter bernama Felix Turner yang berhasil membayar 40 pound yang ia hilangkan dari tubuhnya dengan penampilan yang baik, serta Jim Parsons yang mampu menjadi scene stealer dalam komposisi sangat pas.


Overall, The Normal Heart adalah film yang memuaskan. Tujuan utama film ini adalah untuk membangkitkan kembali hubungan antara AIDS dan manusia dengan penggambaran melodrama pada perang sebuah kelompok di awal era 80-an, dan well, itu berhasil. Bersama dengan keberanian, dan juga rasa amarah, rasa takut dan juga cinta, The Normal Heart punya power dalam menarik penontonnya ikut merasa simpati dan kemudian mengisolasi mereka dalam permainan emosi yang terus menebar pesona. Masalahnya ada sedikit isu kecil yang mengganggu disini, ada aksi tarik dan ulur yang menyebabkan isu utama yang telah terjaga dengan baik sejak awal itu terasa kurang tajam di akhir cerita, just normal. How to Survive a Plague, maybe?








0 komentar :

Post a Comment