16 May 2014

Movie Review: Godzilla (2014)


"Mommy, look, Dinosaurs."

Selalu ada sebuah kesulitan umum dari film dengan status summer blockbuster, harus mampu menghadirkan cerita yang tidak murahan namun disisi lain juga menjauhkan mereka agar tidak mengganggu jualan utamanya pada hiburan visual. My #1 most anticipated summer movie 2013: Pacific Rim, dan hasilnya berada dibawah ekspektasi, keseimbangan diantara elemen utama yang ia miliki terasa kurang mumpuni. Nah, hal terakhir itu yang secara mengejutkan dimiliki oleh film ini, cerita oke dalam visualisasi kekacauan yang juga oke. Godzilla, a good disaster movie, manipulative orchestra with foreplay narration.

Drs. Ichiro Serizawa (Ken Watanabe) bersama assistennya, Vivienne Graham (Sally Hawkins), bergerak menuju Filipina untuk meneliti sebuah kawah yang terletak pada lokasi tambang uranium. Mereka menemukan sebuah fosil radioaktif didalam bumi yang mengalir menuju lautan. Rasa ragu muncul pada makhluk tersebut, hingga pada akhirnya sebuah bencana hadir dan meninggalkan sebuah luka mendalam bagi seorang fisikawan bernama Joe Brody (Bryan Cranston), yang harus rela menyaksikan istrinya, Sandra (Juliette Binoche), menjadi korban dari runtuhnya powerplant tempat mereka bekerja di Janjira, Jepang ketika sedang menyelidiki aktivitas seismik yang mengganggu.

Luka itu masih belum hilang lima belas tahun kemudian. Tahun 2014 Joe kembali berupaya menuntaskan obsesinya pada peristiwa tersebut, dan bersama anaknya yang kini bekerja sebagai perwira angkatan laut, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson), ia berhasil menemukan sebuah jawaban yang celakanya juga sekaligus menjadi alarm bagi hadirnya sebuah bencana yang lebih besar. Monster yang telah lama menjadi objek penelitian itu telah siap untuk bangun, dari Hawaii, Las Vegas, hingga San Francisco berupaya untuk menemukan pasangannya, aksi yang turut mengundang kehadiran monster lain yang lebih besar, Godzilla.


Kalimat terakhir pada paragraf pembuka diatas tadi sebenarnya telah cukup mampu untuk menggambarkan secara umum apa saja yang akan diberikan oleh aksi dari monster daikaiju yang memulai kiprahnya dari series tokusatsu ini. Bencana, ya itu tentu saja menjadi fokus utama yang disampaikan masih dengan mengandalkan hancur dan runtuhnya gedung hanya dengan sekali kibasan ringan dari ekor dan juga langkah para monster itu. Kemudian ada kepanikan manusia, kekacauan skala besar dan dahsyat dipenuhi ketakutan yang menariknya mampu dibentuk dengan efektif oleh Gareth Edwards, bukan hanya pada presentasi di layar namun juga ikut mengajak penonton seolah berada didalam kekacauan tersebut, kegelisahan diselimuti semangat yang terus berjalan dengan hati-hati sembari menebar godaan yang menyenangkan.

Yap, kekuatan utama Godzilla versi Gareth Edwards adalah kemampuan ia untuk menggerakkan cerita hasil perpaduan Max Borenstein dan David Callaham secara perlahan dalam tahapan yang rapi, terkadang memang terasa sedikit menjengkelkan dengan perpindahan cepat dalam durasi tiap scene yang cukup singkat, namun disisi lain tidak pernah gagal untuk terus memupuk rasa penasaran penontonnya. Ini seperti menyaksikan sebuah orchestra yang manipulatif, mempermainkan penontonnya sedikit demi sedikit dengan menggunakan unsur drama yang beberapa diantaranya bisa saja dibuang dengan mudah, menciptakan sebuah proses membangun cerita yang sangat menuntut rasa sabar karena berpotensi terasa terlalu panjang, dan bersama elemen teknik visual yang memukau saling bahu membahu menyusun set untuk ledakan diakhir cerita.


Boom!!! Itu rasa yang akan hadir untuk membayar sikap sabar penontonnya yang ikut dalam aksi foreplay menggoda milik Gareth Edwards. Ada sebuah rasa puas ketika monster yang hampir di separuh durasi itu seperti disengaja untuk mondar-mandir bermain petak umpet dengan penontonnya, dari penggunaan pintu yang tertutup, berenang di lautan melintasi jembatan, hingga aksi terjun payung di gelapnya malam, meskipun kualitas 3D yang ia berikan kurang megah namun tetap tercipta sensasi demi sensasi yang terus mempertahankan nafas cerita untuk terus menggebu. Ada momentum yang terus terjaga dengan baik, naik dan turun, kondisi tenang yang kemudian dihantam oleh lengkingan ikonik Gojira yang kini tampil sedikit serak, sebuah kinerja yang terhitung solid jika menilik bantuan yang ia peroleh dari cerita yang masih tampil dengan ciri khas lamanya.

Sulit memang untuk mengharapkan sebuah drama yang kuat dari sebuah film yang menaruh fokusnya pada “kekacauan” sebagai jualan utama. Cara dari Gareth Edwards untuk membangun materi yang ia punya pada unsur drama sebenarnya dapat dikatakan sudah cukup bagus, terkesan lambat seolah memberi kesempatan pada penontonnya untuk dekat dengan karakter manusia dan monster itu sendiri sebagai upaya untuk menekankan isu sosial, namun sayangnya mereka hanya mampu mencapai batas setengah masak, bahkan beberapa terasa mentah. Ada keterlibatan emosi contohnya dengan mengandalkan karakter Elle Brody (Elizabeth Olsen) dan juga Joe Brody, tapi standard dan tidak kuat, tidak ada ledakan yang mumpuni semua dikarenakan fokus pada karakter manusia yang terpecah belah.


Tapi bukankah kita datang menyaksikan Godzilla untuk menikmati aksi Gojira itu sendiri? Mungkin itu pula yang ada dibenak Edwards, ia lebih banyak mengandalkan CGI untuk menciptakan gambar-gambar indah yang membentuk ketegangan dan keintiman penonton dengan cerita, kemudian membatasi ruang bagi drama hingga humor untuk sebatas berperan sebagai pembuka jalan bagi pengungkapan cerita sehingga tidak bergerak terlalu jauh dan tidak mengganggu fokus utama, serta terus melindungi jagoannya itu bahkan dari kekuatan militer tidak seperti yang pernah dilakukan oleh Roland Emmerich. Kombinasi dari hal-hal tadi meningkatkan daya tarik dari Godzilla itu sendiri, membuat statusnya bukan hanya sebuah boneka kurang kerjaan yang bergerak random, hal yang menyebabkan konklusi dibagian akhir mampu membungkus dengan manis misi yang diemban sejak awal.

Hal lain yang sedikit menyedihkan pada film ini adalah peran pada karakter manusia. Disini mereka justru seolah menjadi kumpulan pegawai yang bekerja keras untuk kemudian menyaksikan boss (Godzilla) mereka yang menuai hasilnya. Kesalahan utamanya adalah terbatasnya peran Bryan Cranston dan sedikitnya waktu bagi Juliette Binoche, koneksi mereka kuat dan ketika berganti menjadi Taylor-Johnson dan Elizabeth Olsen semua perlahan berubah menjadi kurang menarik. Keberhasilan Edwards pada bagian ini adalah bagiamana ia sukses membatasi porsi tiap karakter tanpa menjadikan masing-masing dari mereka tampak sebagai karakter klasik yang menjengkelkan. Ya, dengan porsi yang sedikit lebih besar mungkin unsur manusia yang menjadi fokus lain itu akan mampu bertahan hingga akhir, tidak tenggelam begitu saja ketika Godzilla hadir.


Overall, Godzilla adalah film yang cukup memuaskan. Nilai minus pada unsur drama yang tampil kurang kuat berhasil menjauh dari kesan mengganggu berkat kemampuan Gareth Edwards yang sepertinya paham bagaimana cara mempresentasikan sebuah kekacauan. Ada kombinasi dalam komposisi yang pas, bersama score yang mumpuni momentum terus terjaga dan mampu menutupi cerita yang terasa mentah dibeberapa bagian, mempertahankan dengan teliti tujuan utama yang ia bawa dalam alur dengan koneksi yang simple dan efektif, dan yang terpenting ia paham bagaimana memanipulasi dan bermain-main dengan sumber daya yang ia punya untuk melakukan update pada sosok ikonik ini. A good orchestra.







1 comment :