03 May 2014

[Fiction] The Chosen One

Matanya terus melirik kearah lampu lalulintas ditengah himpitan kerumunan orang yang berbaris dengan rapi di tepi jalan, dan disaat lampu hijau bagi pejalan kaki itu menyala dengan langkah sigap tubuh mungil yang seolah tenggelam dalam jaket musim dingin berwarna biru muda itu berlari kecil menuju seberang jalan yang telah berwarna merah muda akibat sekumpulan cherry blossom yang kembali beraksi. Dikeluarkannya smartphone dengan case berwarna hijau dari dalam sakunya, dan sosok manis itu mulai mengetik bersama senyuman yang tidak pernah hilang sejak ia meninggalkan kantornya. “I’m on my way hun,” ketik-nya dengan jari yang bergerak dengan lincah, namun ketika opsi send itu telah ditekan kalimat tadi ternyata telah berubah menjadi “Aku menuju kesana sekarang.” “Hmm,” isi balasan yang ia terima. Prediksinya benar.


--------*--------

  Ia melambai dengan tingkah riang ketika telah melewati pintu masuk, dan melihat bahwa sosok yang ia ingin temui telah berada di spot favorit mereka.
 “Mengapa kau begitu lama?” tanya pria berkacamata yang tampaknya telah gerah, terlihat dari jaket hingga vest yang telah terbaring berantakan diatas kursi disampingnya.
“Maaf, “ jawab wanita itu dengan senyuman. “Kau mau minum apa?” tanyanya lagi dengan nada sopan.
“Aku sudah pesan kopi. Dan asal kau tahu saja itu order ku yang kedua,” jawab pria itu dengan nada ketus dan pandangan terus menatap tablet yang berada ditangan kanannya.
“Oke, aku mau order dulu ya.” Wanita itu berlalu menjauh dari kursi yang berada di pojok ruangan dengan kaca besar yang memberikan akses untuk melihat kondisi di luar ruangan.
“Bagaimana rencanamu hari ini? Berjalan lancar?” tanya wanita itu setelah kembali sambil membuka jaketnya.
“Kau kenal dengan Mr.Andrew, Sof? Bapaknya Nathan teman kita. Ternyata dia pemimpin perusahaan yang mau berinvestasi di proyek terbaru kami. Serius banget dia Sof, sampai nanyain hal detail yang awalnya tidak kami prediksi sama sekali. Udah gitu…” kalimat demi kalimat terus keluar dari mulut Jerry yang dengan bersemangat menceritakan pengalamannya tadi pagi pada Sofie yang mendengarkan dengan antusias dihadapannya, terus tersenyum dengan tekun, memberikan pendapat ketika diperlukan, dan tertawa ketika ada hal lucu yang muncul dalam pembicaraan mereka.
“Berarti kamu malam ini tidak kerja lembur kan? tanya Sofie dengan gerakan tubuh setengah menggoda.
“Aku kabari lagi nanti” jawab Jerry.
“Aku juga lagi senang banget hari ini,” ujar Sofie. “Kamu mau tahu kenapa?” tanyanya lagi.
“Hmmm,” jawab Jerry dengan mata terpaku pada layar dan tangan kirinya meraih cangkir kopi.
“Ah, rahasia. Nanti surprise-nya bisa jadi tidak menarik,” jawab Sofie dengan senyuman licik.
“Oh, oke, kalau begitu aku pergi dulu, jam istirahat udah habis,” jawab Jerry dengan cepat sembari memakai jaketnya, memberikan kecupan kecil di kening Sofie, dan berlalu begitu saja tanpa banyak basa-basi setelah mengatakan kata bye.
Sofie tidak bergeming, hanya ada senyuman dengan pipi yang merekah serta mata penuh kelembutan yang memenuhi wajahnya, terus fokus memperhatikan pria miliknya berjalan menjauh dari pandangannya. Namun ketika Jerry hendak membuka pintu, Sofie meneriakkan sesuatu.
“Jangan lupa rencana dinner kita,” katanya dengan suara sedikit kencang, dan kembali tertawa kecil meskipun hanya mendapatkan respon berupa senyuman kecil dari Jerry yang melintas di sebelah kaca tempat mereka duduk tadi.
Setelah seorang diri dan memilih untuk menikmati teh miliknya, seorang wanita datang kearah Sofie, “maaf, temannya pria tadi ya?” tanya wanita itu.
“Iya benar, ada apa?” tanya Sofie.
“Maaf, pria tadi belum bayar,” jawabnya.
Hadir senyum kecil di wajah Sofie karena merasa lucu hal itu. “Oh, iya, nanti saya ke kasir ya,” jawab Sofie.
“Oke,” jawab wanita itu sembari menundukkan tubuhnya dan meraih sebuah pakaian dari bawah lantai. “Ini mungkin punya pacar mbak tadi,” katanya seraya menyerahkan vest milik Jerry kepada Sofie.
“Oh my, thanks ya mbak,” sahut Sofie.
“Dari wajah serasi banget mbak, pacarnya juga ganteng,” sahut wanita itu sambil tertawa kecil.
“Hush, he’s mine, pergi sana,” jawab Sofie sambil melambaikan tangannya dengan wajah dipenuhi senyuman.


--------*--------

Jika ia dapat berbicara mungkin saja cincin berwarna silver yang melingkar di jari manis itu akan melontarkan rasa kesalnya. Sudah sejam terakhir ia bersama smartphone menjadi mainan Sofie, berputar-putar di jari hingga diatas permukaan meja, menjadi objek bagi Sofie untuk mengalihkan rasa cemasnya apakah Jerry akan pulang malam ini. Tidak jauh dari posisi ia duduk telah tersusun rapi dalam posisi yang sangat tenteram dan romantis kumpulan makanan yang sangat lezat, menciptakan pemandangan yang indah pada meja makan yang terletak tepat disamping pintu kamar tidur itu. Sofie memang sengaja meminta ijin pada pimpinan di kantor tempat ia bekerja untuk dapat pulang lebih awal. Tujuan utamanya adalah untuk bekerja keras mempersiapkan hidangan makan malam di apartemen milik Jerry.
Dua puluh menit berselang terdengar bunyi klik dari arah pintu depan, dan secara perlahan muncul Jerry dengan pakaian kantornya yang telah lusuh serta tas jinjing yang tampak gemuk. Sebuah senyuman gelap dilemparkan Jerry kepada Sofie yang telah duduk manis dengan tangan terlipat diatas meja, dan berlalu menuju kamar tidurnya. Hal sederhana itu terasa lucu bagi Sofie, yang masih dengan kondisi tersenyum berkata menggunakan suara sedikit keras, “pilih baju yang bagus ya hun.”
Lima menit berlalu, sepuluh menit berlalu, Sofie yang memutuskan untuk terus sabar karena ingin merasakan momen kemunculan Jerry dari dalam kamar tidur akhirnya menyerah dengan sikap sabarnya. Secara perlahan ia membuka pintu kamar tidur, tapi bukannya mendapati Jerry sedang memilih baju yang akan ia pakai justru sebuah hal mengecewakan telah memberikan kejutan bagi Sofie. Jerry telah tertidur pulas, masih dengan menggunakan pakaian kerjanya yang mencerminkan kepribadian Jerry yang sedikit freestyle, jas berwarna nila, celana berwarna hijau tua, dan kaus kaki berwarna kuning SpongeBob.
Melihat situasi tersebut Sofie terdiam cukup lama, rambut panjang berwarna hitam yang ia miliki itu memang tergerai dengan indahnya menutupi wajah oval dan mungilnya, namun telah hadir noda baru di bagian dada bajunya, noda akibat zat cair yang berasal dari mata indah berwarna kecokelatan yang setengah jam sebelumnya masih bersenang-senang bersama lesung pipit manis di pipinya.
“Jerry!!!!!” teriak Sofie sangat kencang, suara yang tidak perlu waktu lama langsung membangunkan Jerry dari tidurnya.
“What? Ada apa?” tanya Jerry dengan nada kalut seolah telah lahir perang disekitarnya.


--------*--------

Tidak ada kalimat yang terucap dari mulut Sofie, dengan langkah meyakinkan ia keluar dari dalam kamar dan dengan balutan emosi tingkat tinggi mulai mencari jaket dan tas miliknya. Melihat situasi tersebut Jerry bergegas bangkit dari tempat tidurnya, dan dengan perasaan bingung mulai berupaya menghampiri Sofie yang masih terus mencari dengan tangan yang juga coba mengikat tali di sepatu high heels miliknya.
Hanya selangkah dari pintu kamar tidur Jerry akhirnya sadar bahwa ia telah menciptakan kondisi buruk lainnya, hal yang selama ini terus mewarnai hubungan asmaranya dengan Sofie. Ia sadar ketika melihat ayam kaldu hingga steak sapi terletak diposisi tengah meja makan, makanan favoritnya yang telah susah payah dibuat oleh Sofie.
“Hun, maafkan aku. Maaf, aku kelelahan,” ucap Jerry sambil bergerak mendekati Sofie yang masih bergelut dengan tali dan sepatu high heels yang sejak awal memang sengaja ia gunakan untuk menemani dress warna merah yang sangat menggoda itu.
“Kau keterlaluan, Jer,” sahut Sofie dengan suara yang terisak-isak. “Kau tidak pernah mau peduli dengan beban yang aku dapatkan dari hubungan ini. Kau tidak tahu betapa tersiksanya batin ku untuk terus berjuang bertahan dalam hubungan kita,” sambung Sofie.
“Ya ya, aku tahu, aku tahu, aku minta maaf. Ayolah, mengapa kau belum juga berubah, kau selalu begini, suka membesar-besarkan masalah kecil seperti ini,” sahut jerry dengan cepat.
“Membesar-besarkan masalah kau bilang? Justru selama ini aku terus berusaha untuk menjaga agar semua masalah besar yang kita punya tetap kecil. Tapi kau? Kau tidak melakukan hal yang sama."
“Ayolah kita duduk dulu, kita minum, kemudian makan,” jawab Jerry dengan tangannya yang belum melepaskan cengkeramannya dari lengan Sofie.
“Kau pria bajingan yang egois, Jer,” jawab Sofie lagi dengan sedikit gerakan memberontak berusaha melepaskan tangan Jerry dari lengannya.
“Hey hey, jaga ucapanmu, kenapa kau malah menyalahkan diriku? Apa salahku hun?” sahut Jerry dengan cepat.
“Salahmu? Banyak!! Kita sudah pacaran selama delapan tahun, apakah ini caramu untuk merayakan hari anniversary kita? Apakah ini caramu mengucap syukur atas kesempatan yang masih kau peroleh untuk dapat bersama orang yang kau cintai?” jawab Sofie sembari bertanya.
“Tentu saja aku bersyukur, kau tahu sendiri bagaimana sulitnya perjuanganku untuk mendapatkan cintamu. Tapi kita sudah bersama selama delapan tahun, harusnya kau punya sikap toleransi Sof. Aku punya pekerjaan yang menumpuk, aku berjuang bersama rasa lelah bekerja untuk masa depan kita nantinya. Semua kulakukan karena aku mencintaimu,” jawab Jerry dengan suara yang sangat tenang.
“Oke, kalau begitu nikahi aku minggu depan,” balas Sofie dengan cepat dalam suara bernada tinggi.
“Apa?” jawab Jerry dengan suara seolah bertanya di iringi senyum dan tawa kecil. “Bagaimana kalau sekarang duduk dulu, kita lepaskan emosi, dan kita bicarakan lagi hal ini nanti.”
“See, kau bilang aku tidak berubah, sementara kau tidak sadar kau juga tidak pernah berubah sejak delapan tahun yang lalu,” jawab Sofie dengan tangan yang masih berupaya membebaskan lengannya.
“Beri aku jawaban sekarang. Aku ingin besok orang tua kita bertemu dan minggu depan kita menikah. Ya atau tidak?”, desak Sofie.
“Hahahahaha,” tawa keluar dari mulut Jerry yang dalam sekejap merubah suasana hening didalam ruangan yang telah tercipta sedari tadi.
“Tidak semudah itu Sofie sayang, segala sesuatu itu perlu perencanaan yang matang sayang,” ujar Jerry lagi dengan suara yang coba meyakinkan Sofie.
“Bullshit. Delapan tahun kau belum juga merasa yakin, huh? Simple, kau cinta padaku atau tidak?” tanya Sofie.

Jerry hendak mengatakan ya, namun kata itu baru mampu hadir mendekati mulutnya lima detik setelah Sofie menyelesaikan pertanyaannya tadi. Jerry terdiam sejenak, ada sebuah pertarungan didalam wajahnya seperti sedang berpikir bagaimana cara terbaik dan paling aman dalam situasi tegang itu untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal yang sayangnya menciptakan respon lain bagi Sofie.
“Hahahaha, kau masih ragu Jerry,” kata Sofie dengan tawa getir, “kau selalu ragu Jerry, kau selalu ragu. Apa tujuanmu selama delapan tahun ini? Apa status yang kupunya selama ini? Wanitamu atau bonekamu?” tanya Sofie yang masih terjerat dalam tawa kesal karena tidak percaya melihat respon yang diberikan oleh Jerry.
“No no, bukan begitu maksudku. Aku tidak ragu, tapi kau tahu pikiranku lagi padat, jadi,” “Banyak alasan kau,” sahut Sofie memotong kalimat Jerry yang belum selesai itu. “Lepaskan tanganku sekarang,” perintahnya lagi dengan tangan kanan yang mulai berusaha melepaskan genggaman Jerry.
“Ah, sakit Jer. Apa maumu? Lepaskan aku! Sakit bodoh!” teriakan yang mendadak hadir ketika Jerry mulai memperkuat genggamannya.
“Oke. Oke. Kau boleh pergi sekarang. Aku harap kau tenangkan pikiranmu, pakai logika yang kau punya dan pikirkan apa manfaat yang kulakukan selama ini, dan kembali padaku ketika kau telah sadar bahwa selama ini kau yang sebetulnya merasa ragu akan hubungan kita, karena faktanya aku merasa kisah cinta ini masih berada di jalur yang indah,” jawab Jerry dengan suara yang sedikit mengancam.
Sofie mengelus lengannya yang telah berubah warna menjadi sedikit kemerahan itu, kemudian langsung memakai jaketnya dan bergerak menuju pintu keluar. Tapi belum tiba ia di depan pintu Sofie mendadak memutar arahnya dan kembali menuju Jerry yang sedang melihatnya dengan senyuman sombong. Dengan susah payah Sofie berusaha memutar cincin di jari manisnya, meraih tangan Jerry dan kemudian menaruh cincin tersebut diatas telapak tangan pria yang masih sangat ia cintai sepuluh menit yang lalu itu.
“Bukan aku yang harus berpikir, tapi kau, gunakan otakmu yang cerdas itu, coba renungkan semua tindakanmu padaku dan juga sebaliknya, apa yang telah terjadi selama delapan tahun itu, dan yang paling utama, coba kau cari tahu sebenarnya apa yang kau inginkan dari cinta?”








Copyright © 2014 by Rory Pinem
All rights reserved

0 komentar :

Post a Comment