15 March 2014

Movie Review: Need for Speed (2014)


"Racers should race, cops should eat donuts." 

Mayoritas dari kita pasti pernah mengalami hal ini, ketika sedang mengemudi dengan santai dan penuh rasa tenang secara tiba-tiba muncul beberapa kendaraan dari belakang yang melewati kita dengan akselerasi dalam gerakan kencang disertai deru yang menggebu. Ada dua opsi sebenarnya, pertama kita akan menganggap aksi berani mereka tersebut sebagai sesuatu yang keren, namun bisa pula menjadi jengkel dan menilai bahwa tindakan tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya bahkan menjurus tolol. Film ini seperti bermain diantara dua opsi tadi, Need for Speed, full of unnecessary and stupid things, but still quietly fun adventure.   

Setelah kematian sang ayah, Tobey Marshall (Aaron Paul), pria yang dianggap sebagai manusia tercepat di New York mengalami masalah keuangan yang menjadikan eksistensi dari Motors Marshall, bengkel yang ia kelola bersama empat sahabatnya, Benny (Scott Mescudi), Joe (Ramón Rodríguez), Little Pete Coleman (Harrison Gilbertson), dan Finn (Rami Malek) menjadi terancam. Namun untungnya mereka selamat berkat bantuan Dino Brewster (Dominic Cooper), seorang entrepreneur modifikasi, yang juga menjadi rival Tobey, dalam lintasan dan juga dalam kisah asmara yang melibatkan Anita Coleman (Dakota Johnson), saudara perempuan Pete.

Pemintaan Dino berhasil dipenuhi oleh Tobey dan timnya, Ford Mustang Shelby GT500 mereka bangun, namun masalah lain muncul. Dino kesal dengan sikap Tobey, memberikan sebuah tantangan dengan tawaran menggiurkan, yang celakanya justru membawa bencana pada mereka, dari kecelakaan hingga mendekam di penjara. Tobey berniat membalaskan dendamnya pada Dino, memilih ajang De Leon yang dikelola oleh DJ Monarch (Michael Keaton) sebagai arena, melakukan semua upaya yang tersedia dari rela berada dibawah kontrol Julia Maddo (Imogen Poots), hingga melintasi USA dalam waktu 45 jam.


Dengan tema yang serupa memang sedikit sulit untuk menampik bahwa tidak ada gambaran dari Fast & Furious di kepala pada calon penontonnya. Jika anda merupakan salah satu dari mereka sebaiknya segera hapus hal tersebut, karena Need for Speed sendiri pada faktanya masih bingung ingin menjadi seperti apa. Mobil super, adu balap dengan kecepatan tinggi, drift dan aksi ekstrim lainnya, tidak dapat dipungkiri kombinasi diantara mereka mampu menyuntikkan unsur fun dari sebuah film balap mobil yang menjadi harapan utama, namun selain tidak adanya totalitas hanya elemen ini yang mampu dikemas dalam level yang cukup mumpuni, hal yang tidak terjadi di bagian lain.

Jika anda merupakan penonton yang menonton Need for Speed hanya ingin mendapatkan aksi balapan yang mengasyikkan, maka anda dapat berhenti membaca tulisan ini tepat pada kalimat ini, karena elemen tersebut mampu dikemas dengan cukup baik, dan anda akan mendapatkan apa yang menjadi ekspektasi utama. Namun bagi mereka yang tidak hanya sebatas mengharapkan hal tersebut, maka bersiaplah kecewa, karena Scott Waugh kurang mampu mengendalikan beberapa elemen penting lainnya. Cerita yang ditulis oleh George Gatins dan John Gatins tentu saja dapat dimaklumi mengandung hal-hal bodoh, tapi bukannya hal-hal bodoh dapat dikemas dengan cara yang sedikit lebih menarik? 

Itu yang tidak dimiliki oleh Need for Speed, Scott Waugh seperti hanya berupaya menciptakan kisah yang terus memompa adrenaline dalam pergerakan random seperti apa yang penonton akan peroleh ketika mereka memainkan game Need for Speed itu sendiri, tanpa mencoba memberikan sebuah penceritaan yang sebenarnya tidak perlu kuat namun setidaknya terasa menarik. Tidak ada totalitas di sektor ini, jika biasanya adegan aksi digunakan untuk melengkapi cerita, disini justru cerita yang digunakan untuk melengkapi adegan aksi. Klise dan dangkal itu wajar, namun akan menjadi sebuah kekacauan ketika hal tersebut kemudian dibentuk tanpa adanya sebuah semangat, terasa malas dalam struktur yang justru uniknya terus berupaya agar dapat tampak rumit.


Nah, ini yang menjengkelkan, terlalu loyo, kurang berimbang. Tidak ada pondasi cerita yang kuat, tidak ada karakterisasi yang mumpuni sehingga menjadikan kita sebagai penonton menganggap karakter dan masalah mereka itu sebagai sesuatu yang penting, Need for Speed justru banyak bermain bersama basa-basi dengan hal-hal kurang penting yang seperti dipaksa untuk memperpanjang perjalanan hingga menciptakan durasi 130 menit. Pada akhirnya perlahan ini film kehilangan energi, adegan aksi yang diawal mampu membuat penonton seolah menjadi bagian dari balapan juga perlahan kehilangan daya tariknya ketika durasi yang ia miliki perlahan terasa terlalu singkat, dan semakin suram karena kita sudah tahu bagaimana kisah predictable seperti ini akan berakhir.

Masalah semakin berlanjut karena sejak awal hanya energi dari scene balapan yang mampu mengalihkan perhatian kita, sehingga ketika ia hilang, masalah kecil lain yang pada awalnya cukup terlindungi eksistensinya satu persatu muncul dan mulai mengganggu. Mulai terlihat dengan jelas bahwa narasi kerap terputus, lelucon mulai terasa sulit untuk dinikmati, dan ketika kita telah berhasil mengesampingkan logika pada berbagai hal bodoh dan kurang masuk akal kemudian hadir dialog-dialog canggung yang mengambil alih peran dalam menggerus rasa nyaman. Pada akhirnya ini lebih terasa seperti sebuah tour dengan mobil sebagai fokusnya, ketimbang sebuah sebuah aksi balas dendam dengan menggunakan balapan serta karakter dan konflik sebagai fokus utama.

Dari divisi akting mungkin hanya Imogen Poots yang berhasil selamat dari materi miskin yang ia miliki, ia kerap kali mampu menghadirkan pesona bahkan mempertahankan nyawa cerita dengan aksen British miliknya yang manis itu. Aaron Paul adalah sosok utama yang resmi menambah daftar minus pada filmography miliknya. Ia layak mendapatkan dukungan materi yang lebih baik sehingga tidak hanya mengandalkan ekspresi yang justru terasa dipaksakan, karena ia punya kemampuan akting, ia tampil baik di Smashed, dan tentu saja Breaking Bad. Sedangkan Michael Keaton seperti sosok diantara hitam dan putih, terkadang penjelasan yang ia berikan tampil menjengkelkan namun ada pula yang mampu menyuntikkan unsur fun.


Overall, Need for Speed adalah film yang cukup memuaskan. Ya, cukup memuaskan, karena seperti yang disebutkan pada awal paragraph lima tadi film ini sangat bergantung pada ekspektasi awal para penontonnya. Jika anda pernah memainkan Need for Speed maka akan ada sebuah senyuman, alasannya adalah karena hal-hal random seperti inilah yang menjadikan game tersebut menjadi mengasyikkan dan sangat terkenal. Sayangnya Scott Waugh kurang mampu membentuk kombinasi antara hal tersebut dengan elemen-elemen pembentuk sebuah film, seperti cerita, karakter, dan dialog, semua lemah. Ya, bodoh, kurang menyenangkan, cukup menghibur.




2 comments :

  1. Nice Review Bro :) Yup ..Popcorn Movie...semoga disekuelnya (jika ada) bisa lebih berkembang lagi dalam porsi plot dan casting :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama, saya juga berharap ada sekuel, meskipun memang cukup sulit.
      Thanks. :)

      Delete