23 January 2014

Movie Review: The Book Thief (2013)


"Memory is the scribe of the soul."

Bukan sesuatu yang asing lagi jika kemudian hadir kabar bahwa akan di produksi sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel best- seller, itu sebuah peluang yang harus dimanfaatkan, tidak heran insan perfilman Hollywood berlomba-lomba untuk mendapatkan hak mengadaptasi berbagai novel terkenal, meskipun pada dasarnya hal tersebut belum tentu menjanjikan hasilnya kelak akan otomatis menuai kesuksesan yang sama. The Book Thief, failed attempt from the studio that brought you Life of Pi.

Pada tahun 1938, seorang gadis muda bernama Liesel Meminge (Sophie Nélisse) harus menjadi korban dari aksi Nazi dimana ia harus berpisah dengan ibunya, yang merupakan seorang komunis. Untuk menjauhkan Liesel dari bahaya, ia kemudian di titipkan kepada sepasang suami istri pasangan kelas menengah, Hans Hubermann (Geoffrey Rush) dan Rosa Hubermann (Emily Watson). Walaupun menghadapi beberapa rintangan, Liesel dengan mudah beradaptasi di lingkungan barunya, terlebih dengan bantuan tetangga barunya, Rudy Steiner (Nico Liersch).

Namun kebebasan ruang gerak keluarga Hubermann berubah pada sebuah malam ketika kristallnacht sedang berlangsung. Penyebabnya adalah Max Vandenburg (Ben Schnetzer), pria muda Yahudi yang ayahnya pernah menyelamatkan Hans ketika bersama berada di medan tempur pada perang dunia pertama, dipaksa pergi oleh ibunya untuk menyelamatkan diri, dan memilih kediaman Hans sebagai destinasinya. Dengan keberadaan Max di basement, mereka mulai semakin waspada, yang celakanya justru berbanding terbalik pada Liesel dengan minatnya pada membaca dan juga buku.


Merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Markus Zusak, sangat sangat mudah untuk memberikan label kurang memuaskan kepada upaya dari Brian Percival selaku sutradara, serta Michael Petroni sebagai screenwriter, dalam menerjemahkan kisah yang mampu bertahan selama 230 minggu menyandang status best seller ini. Saya memang tidak membaca novelnya, namun menilik tema yang ia usung, perang dunia ke 2, keterlibatan Nazi dan Hitler didalamnya, unsur keluarga, mudah untuk mengerti apa tujuan utama yang diusung Zusak pada novelnya, menjalani kehidupan dalam tekanan. Celakanya, point utama yang tunggal dan juga penting itu tidak hadir di film ini.

Apakah The Book Thief sekacau itu? Sebenarnya tidak, ada sebuah awalan yang sesungguhnya mampu membentuk sebuah potensi menjanjikan untuk kisah bertumpu pada sisi manipulasi emosi, terlebih dengan cara Brian Percival membangun cerita dalam gerak lambat sehingga konflik perlahan berkembang dan tertata dengan baik, seperti apa yang juga dialami karakter dalam menebar daya tarik pada konflik yang ia bawa. Ya, pada bagian ini anda dapat merasakan dinginnya ancaman yang tersebar, aktivitas warga yang masih bisa tertawa walaupun terus berada dalam tekanan yang harus siap mati karena kapanpun bom dapat mendarat di pemukiman mereka.

Tidak sampai disitu sebenarnya, divisi desain produksi juga patut mendapat apresiasi, terlebih dengan score dari John Williams yang terus membalut penontonnya dengan situasi muram yang terasa nyaman. Lantas apa yang menyebabkan film yang juga sempat menjadi oscar-bait ini tampak kacau? Sederhana, sisi buruk dari Hollywood style. Tidak begitu mempermasalahkan penggunaan bahasa Inggris yang kerap kali kurang klik dengan aksen Jerman, yang menjadi masalah utama adalah The Book Thief seperti dipaksa untuk bermain di zona aman, hal yang kemudian menghambat atau bahkan mematikan potensinya, berubah dari sebuah film provokatif dengan isu terkait Nazi menjadi dongeng loyo yang perlahan terasa basi.


Ya, basi, kita memang akan terus merasa seperti dijanjikan sesuatu yang besar dibagian akhir seiring semakin jauhnya ia berjalan, satu persatu dihadirkan isu yang kemudian coba dirangkai, namun sayangnya Brian Percival kurang waspada dan asyik melemparkan konflik, sehingga ketimbang menyatu mereka justru tampak seperti sebuah tumpukan masalah tanpa jawaban yang penting. Disini kelemahan utama The Book Thief, subplot dengan potensi besar gagal dirangkai dengan mumpuni, sehingga meskipun saya tidak tahu pasti apa point penting dari novel namun mudah untuk menilai The Book Thief tetap gagal dalam hal tersebut, karena pada akhirnya ia tidak mampu menunjukkan sebuah point penting yang menarik.

Memang tidak serta merta menjadikan secara umum tidak ada yang menarik dari The Book Thief, tapi ibarat grafik ini mengalami pergerakan yang terus menurun dengan gerak lambat. Ini harus lembut mengingat ikut menyasar penonton muda, namun cara ia dibangun terlalu lembut, Brian Percival terlalu asyik merangkai cerita sehingga lupa mengatur dinamika tensi cerita. Andai saja ia berhasil pada fokus lain untuk meraih emosi penonton mungkin akan sedikit lebih baik, tapi celakanya itu juga gagal. Kisah predictable itu terasa hambar, ia seperti terus berjuang untuk menopang beban sehingga pertunjukkan yang ia sajikan justru terasa seperti memaksa anda sebagai penonton untuk tertarik pada mereka.

Ya, The Book Thief seperti terus mengemis atensi, memang mayoritas ia berhasil, namun tidak dengan simpati karena ia bermain pada materi tipis yang tampil kasar tanpa eksplorasi yang mumpuni. Sulit, sekalipun itu dikombinasikan dengan kemampuan divisi akting membentuk daya tarik dari karakter mereka. Ia memang kerap mencuri posisi utama, namun tugas Geoffrey Rush adalah yang paling mudah, dan ia berhasil menjadi sosok yang lembut. Emily Watson juga impresif, wanita kompleks dan keras yang berada dalam tekanan. Bintang utamanya adalah Sophie Nelisse, meskipun tampak datar ia masih mampu menggerakkan potensi cerita, termasuk kemampuan berbahasa Inggris dalam aksen Jerman (di Monsieur Lazhar ia berbahasa Perancis).


Overall, The Book Thief adalah film yang kurang memuaskan. The Book Thief tidak layak menyandang status hancur, karena dibalik gerak lambat dan hambar dalam pilihan bermain aman itu ia masih mampu menghadirkan potensi yang membuat penonton terus terpaku mengikuti. Masalah utama terletak pada Brian Percival, ia pernah menjadi bagian dari Downton Abbey, sehingga cukup mengejutkan ketika Brian Percival kurang mampu mengendalikan dan merangkai kisah yang sesungguhnya masih bermain pada warna yang sama.



2 comments :

  1. bagaimanapun saya baper nonton film ini, berharap rudy dan liesel life happily ever after ��

    ReplyDelete