04 December 2013

Movie Review: The Counselor (2013)


Ada dua tipe pada penjual. Pertama adalah mereka yang tidak peduli dengan hal-hal minor seperti contohnya costumer service dan hanya fokus pada tujuan utama agar barang mereka terjual, dan selesai. Namun ada pula penjual yang tahu bagaimana memperlakukan pembelinya dengan cara menghadirkan hal-hal menarik sehingga pembeli menikmati proses serta apa yang mereka jual. The Counselor adalah contoh dari tipe pertama, sebuah kemasan berantakan yang sangat mengecewakan, a big flop.

Seorang pengacara dan lebih dikenal sebagai The Counselor (Michael Fassbender) sangat mencintai tunangannya yang merupakan seorang wanita religius, Laura (Penélope Cruz). Ia bahkan rela terbang dari Texas menuju Amsterdam hanya untuk memastikan bahwa permata yang akan digunakan sebagai cincin pertunangannya memiliki kualitas terbaik. Mungkin karena tekanan pada rencana masa depan yang telah ia susun, The Counselor akhirnya terjebak pada sebuah ucapan saat ia menghadiri pesta yang diselenggarakan sahabatnya Reiner (Javier Bardem) dan pacarnya Malkina (Cameron Diaz).

Sumbernya adalah Reiner, pria yang bekerja sebagai pengedar narkoba dan pemilik klub malam, mengatakan bahwa The Counselor sebenarnya belum memanfaatkan kekuatan dari posisi yang ia miliki saat ini. The Counselor akhirnya memutuskan ikut bergabung dalam perdagangan narkoba, bahkan ia menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan meminta bantuan sahabatnya Westray (Brad Pitt) sebagai perantara. Namun celakanya semua tidak berjalan mulus, menyebabkan keserakahan tingkat tinggi itu merubah kehidupan The Counselor yang awalnya sangat terkendali menjadi sangat sangat berantakan.


The Counselor adalah salah satu film paling mengejutkan tahun ini, melirik rating berantakan dan super kacau yang ia peroleh padahal sejak awal ia sudah dilabeli sebagai salah satu film paling dinantikan di 2013. Ya, most anticipated, ia punya Cormac McCarthy, salah satu novelis yang dihormati peraih Pulitzer Prize, sosok yang menciptakan pondasi dasar kesuksesan dari No Country for Old Men, yang untuk pertama kalinya mencoba terjun langsung menulis naskah. Kemudian ada Ridley Scott, sosok yang jika dijabarkan secara singkat adalah salah satu bagian dari kelompok must-see directors. Dan yang terakhir adalah jajaran cast utama yang ia miliki, sangat menjanjikan, tiga aktor kuat Michael Fassbender, Javier Bardem, dan Brad Pitt, serta ditemani Penélope Cruz dan Cameron Diaz.

Namun tidak perlu waktu lama untuk menghancurkan semua ekspektasi awal itu. Sejak awal, sedari scene mengamati permata yang hambar itu, The Counselor sudah menunjukkan alarm dini bahwa ia akan menjadi sebuah paket yang menjengkelkan. Premis klasik yang masih menarik itu seperti coba dibangun agar dapat menjadi kompleks, megah, dan memukau. Celakanya terlalu overdo, ini seperti menyaksikan sebuah dongeng filsafat dengan sentuhan unsur crime yang dibentuk dengan berupaya menggabungkan cara berjalan dari blockbuster dan art house, terus berbicara sembari berharap penonton dapat memetik tiap point kecil miliknya yang sayangnya tidak mampu dikemas dengan menarik terlebih selalu berada di luar jalur utama, kemudian menghadirkan beberapa adegan thrill yang celakanya tidak kalah hambar.

Meskipun tetap tidak memuaskan namun cara Ridley Scott membangun The Counselor sesungguhnya tidak begitu buruk. Masih ada kesan rapi dan sedikit energi yang ia hadirkan di beberapa bagian, dengan gerak yang cekatan at least sanggup mempertahankan atensi penonton pada kisah yang sejak awal sudah tidak mumpuni, kurang bernyawa dan tanpa tujuan. Sayangnya hal tersebut tetap tidak mampu menutupi betapa cacatnya script yang film ini miliki. Berkembang dengan cara konvensional, Cormac McCarthy seperti berupaya agar film ini dapat bercerita layaknya sebuah novel, ia punya beberapa bagian besar konflik yang terpisah sangat jelas, namun kemudian di urai menjadi lebih kecil yang celakanya tidak dibentuk dengan padat. Cormac McCarthy berpikir terlalu rumit untuk mengembangkan kisah klasik ini.


Bagaimana mungkin The Counselor mampu menghadirkan makna yang lebih dalam dengan menggunakan banyak dialog abstrak jika perpindahan antar scene dikemas cepat dalam durasi yang terlalu singkat, berharap penonton melakukan analisa namun tidak menyediakan ruang untuk menganalisa. Pada akhirnya apa yang The Counselor berikan akan terasa dipaksakan, dari konflik utama tentang uang, kekuasaan, dan seks yang terus melempem, serta tidak ada kekuatan pada daya tarik permainan ambiguitas yang terlalu memaksa penonton untuk terus mengamati dengan teliti, yang sesungguhnya dapat menjadi sebuah kegiatan yang menarik andai cerita yang hadir juga terus tampil menarik, hal yang tidak dimiliki The Counselor. Cormac McCarthy seperti tidak peduli pada sisi enjoyment penonton, ia tampak hanya punya satu misi, bagaimana caranya agar pesan sangat sangat sederhana yang ia punya dapat tersampaikan dengan cara yang kompleks. Gah.

Ya, dengan cara yang standard mungkin premis itu dapat disajikan jauh lebih menarik, sederhana dan dangkal namun point yang diusung tetap tersampaikan. The Counselor memang berhasil menyampaikan point yang ia punya, namun cara ia berjalan sudah terlanjur menjadikan penontonnya terjebak dalam sebuah pengamatan mondar-mandir yang menjengkelkan. Jangan tanya apakah upaya keras membentuk emosi pada karakter berhasil menarik simpati, mereka terasa tipis, sama tipisnya dengan narasi yang ia punya. Sulit untuk merasa peduli, dari ruang pengakuan dosa yang seharusnya miris namun berakhir hambar, phone sex yang seharusnya menghadirkan gairah namun terasa hambar, hingga aksi having sex with a car yang seharusnya lucu juga tampil hambar. Sederhananya, ini hambar.

Divisi akting pada akhirnya menjadi korban yang bernasib serupa dengan kinerja Ridley Scott yang lebih memilih memanfaatkan visual untuk menyelamatkan film ini. Mereka masih memikat, namun tidak dapat berbicara banyak, pergerakan cerita yang terburu-buru menyebabkan tidak ada ruang bagi tiap aktor untuk setidaknya memperdalam arti dari kehadiran karakter mereka pada cerita. Kurang hadir rasa cemas dan sensitif pada Michael Fassbender, begitupula dengan Javier Bardem dengan tingkah konyol yang sulit untuk terkesan lucu. Penélope Cruz serta Brad Pitt terasa hanya seperti pemanis, punya daya tarik yang kurang digali. Sedangkan Cameron Diaz yang seharusnya dapat menjadi sisi gelap justru kurang sukses menghadirkan tekanan. 


Overall, The Counselor adalah film yang tidak memuaskan. The Counselor mencoba mengemas pesan tentang kapitalisme dengan sentuhan thriller penuh misteri, namun celakanya semua lemah, tidak ada pelajaran menarik dari pesan utama yang ia usung, tidak ada thrill yang intens dari gerakan bertele-tele yang ia hadirkan, tidak ada daya tarik yang kuat dari misteri yang ia suntikkan. Menyaksikan The Counselor seperti duduk diam selama hampir dua jam mendengar seorang sahabat terus mengoceh hal-hal yang didominasi nonsense tanpa henti secara abstrak yang celakanya tidak ia kemas dengan cara yang menghibur.



4 comments :

  1. min .....ditunggu review film hours,american hustle,all is lost sama dallas buyers club* terutama hoursnya paul walker yg rilis 13 desember nanti T_T thanks min

    ReplyDelete
  2. yah ..tadi nonton filmnya dan sumpah garing abizzz...

    ReplyDelete
  3. Jadi yang curi cocainenya siapa? Yg bunuh Laura siapa? Motifnya apa? Kesimpulan awal brad pitt yg curi barang dan terima uang...trus uangnya di curi sama cameron diaz....trus waktu counselor terima cd dengan tulisan hola, knapa dia langsung nangis? Trus orang tua yg di telp sama counselor di mobil butut, siapa sih? maaf banyak tanya...mohon pencerahannya, udah nonton bagian perbagian, tetep gagal paham....hiks...

    ReplyDelete