06 December 2013

Movie Review: The Act of Killing (Jagal) (2012)


Salah satu dari sekian banyak kalimat yang terkenal sekarang ini adalah “hukum dapat dibeli.” Sebenarnya miris, karena tidak peduli betapa lemahnya hukum tersebut setidaknya masih ada garis pembatas antara keadilan dan ketidakadilan. Nah, bagaimana jika tindakan kriminal dilindungi hukum, walaupun itu digunakan dengan dalil untuk menyelamatkan bangsa. The Act of Killing (Jagal) akan bercerita tentang sistem keadilan tersebut dengan cara dokumenter, menaruh moral sebagai atensi utama, salah satu film paling provokatif tahun ini.

Pada tahun 1965, Jenderal Suharto berupaya menggulingkan Presiden Sukarno dengan menggunakan operasi militer G30S PKI sebagai alasan utama. Hal tersebut menyebabkan para pendukung Sukarno, dari partai komunis, buruh dan tani, hingga penduduk etnis Tionghoa secara tidak langsung ikut dilabeli terlibat dalam aksi G30S. Dalam satu tahun satu juta penduduk yang dianggap komunis tewas terbunuh. Anehnya hingga kini masih ada bagian dari operasi tersebut yang masih hidup dengan bebas.

Salah satunya adalah Anwar Congo, yang menyebutkan ia telah membunuh lebih dari 1000 orang dengan menggunakan kawat dan metode mencekik. Anwar, yang juga merupakan pendiri dari sebuah organisasi sayap kanan paramiliter Pemuda Pancasila, ternyata bangga dengan tindakan mereka dahulu karena menganggap perbuatan tersebut sebagai sebuah tindakan heroik. Bersama temannya Herman Koto, dan rekannya sesama eksekutor 38 tahun yang lalu, Adi Zulkadry, ia mencoba melakukan reka ulang adegan tentang pembunuhan tersebut.


Ini adalah hiburan horror yang nyata, bagaimana ketika kita harus menyaksikan sosok yang dahulu dengan mudah dapat membunuh ratusan hingga ribuan jiwa manusia menggunakan tindakan ekstrim dan keji, namun sekarang masih dapat berjalan dengan bebas di lingkungan masyarakat, bahkan mendapatkan perlindungan dari kalangan yang menganggap dirinya adalah seorang pahlawan yang menyelamatkan Indonesia. Ya, film ini seperti mempertanyakan apa arti sebenarnya dari sebuah keadilan dengan mengandalkan unsur moral bekerja di baris terdepan, dengan misi utama menghadirkan penyesalan lewat upaya merubah perspektif pelaku sesungguhnya dalam cara yang cerdik dan licik.

Bukan hanya cerdas, namun Joshua Oppenheimer adalah seorang yang cerdik. Ini bukan sebuah dokumenter yang hanya berisikan wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan baku, bersama dua co-director Christine Cynn dan Anonymous, Joshua mencoba mencapai misi utama mereka dengan melakukan kombinasi antara interview klasik yang dibentuk kasual bersama sebuah panggung teatrikal yang diperankan langsung oleh pelaku asli. Mereka diberi kesempatan untuk melakukan reka ulang dari tindakan keji yang pernah mereka lakukan dahulu, mencampur berbagai unsur favorit mereka seperti musikal penuh tarian, hingga gangster seperti menggunakan kawat dan hutan.

Ya, hal tersebut yang kemudian menjadi kejutan. The Act of Killing seperti sebuah rasa yang segar bagi film dokumenter. Saya kurang yakin apakah para pemeran mengerti pada maksud dan tujuan "lain" dari Joshua Oppenheimer serta rekan-rekannya, namun dengan menyaksikan mereka turun langsung berakting, yang hebatnya berhasil tampil menyenangkan di depan kamera, hadir sebuah kejujuran yang sangat murni, mereka santai, mereka tenang, mereka lepas, seperti penuh totalitas pada tujuan utama untuk ikut membantu merubah pandangan masyarakat terhadap tindakan mereka dahulu, padahal di sisi lain ada isu provokatif bertemakan immoralitas yang jauh lebih kuat.


Upaya untuk menghidupkan kembali kisah pembantaian itu memang berhasil, namun isu tentang moral justru terasa jauh lebih menarik bagi saya, bagaimana arogansi ternyata telah menjadi budaya di Indonesia sejak lama. Sangat miris ketika menyaksikan Anwar tanpa rasa bersalah menunjukkan cara halus pembunuhan agar dapat mengurangi bekas darah yang tertinggal, bahkan ia menari bahagia di lokasi yang ia sebut merupakan tempat dimana paling sering dilakukan eksekusi. Menariknya Joshua Oppenheimer seperti tidak lupa untuk menghadirkan perbandingan dengan present day, menghadirkan Ibrahim Sinik sebagai komparasi peran surat kabar, hingga beberapa pemimpin masa kini yang sebenarnya juga tidak lepas dari kritik moral yang ditampilkan secara eksplisit.

Keputusan tersebut memberikan dampak yang kuat pada perspektif yang Joshua gunakan untuk menggambarkan kejahatan yang tak tahu malu. Ikut tersenyum ketika Anwar Congo dan Adi Zulkadry yang sejak awal terus diberikan pertanyaan-pertanyaan ringan pada akhirnya terjebak akibat sikap terlalu terbuka yang mereka berikan. Reaksi seolah tak bersalah itu juga perlahan berubah, mulai melakukan pertahanan pada aksi tidak bermoral mereka dahulu, yang celakanya telah mereka hidupkan kembali. Proses yang awalnya hanya berupaya sebagai sebuah media renungan pada akhirnya berubah menjadi aksi introspeksi pelaku berisikan pertanggung jawaban moral. Ya, terkadang anda memang tidak dapat memperoleh kejujuran yang utuh jika hanya mengandalkan kejujuran. Nice.

Namun disini masalahnya, The Act of Killing terasa kurang padat. Saya menyaksikan versi extended dengan durasi 159 menit, dapat terlihat dengan jelas mengapa pada akhirnya versi teater hanya memiliki durasi 115 menit. Banyak bagian yang kurang penting, pengulangan yang tidak memberikan pergerakan pada cerita. Lepas dari paruh pertama The Act of Killing mulai tampak seperti berputar dalam sebuah lingkaran. Pergerakan abstrak yang awalnya sangat menyenangkan itu perlahan sedikit berantakan dan menggerus intensitas konflik utama. Memang ia masih kokoh berada dijalur utama, namun film ini seperti mulai lelah dan akhirnya kehilangan irama, terlebih dengan timing yang terlambat ketika ia menghadirkan proses sadarnya tokoh utama, yang juga terasa terlalu singkat.


Overall, The Act of Killing (Jagal) adalah film yang memuaskan. Ini adalah salah satu film paling provokatif di tahun ini, dan dua jempol untuk Joshua Oppenheimer dan rekan-rekannya yang dengan berani menghadirkan isu moral ini kedalam media yang dapat di konsumsi publik. Walaupun perlahan sedikit kehilangan irama di paruh akhir, The Act of Killing tetap memberikan kesuksesan yang sangat besar pada upaya penggambaran bahwa masih ada bahaya kekuatan yang masih eksis hingga sekarang, dengan cara yang unik dan sederhana, membuat penjahat melakukan sendiri eksploitasi kejahatan yang pernah mereka lakukan. Nice.



4 comments :

  1. Suprise, film ini kenapa disebut tahun 2013 ya?
    Rasanya saya sudah punya soft copy film ini tahun lalu :))
    Ada yg bilang bahwa sebenarnya film ini di banned dari Indonesia, makanya masuk lebih lama.
    Di website resmi act of killing bahkan orang indonesia bisa mendownload film ini secara gratis.
    And FYI, para 'aktor' di film ini tidak tau filmnya bakal jadi dokumenter. :)))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh iya, salah ternyata 2012. :)

      Wah, soft copy nya sudah dari tahun lalu ya? Karena setahu saya film ini baru available enam bulan yang lalu, dan baru bisa di unduh di website resmi tepat akhir september silam, saya salah satunya.:)

      Delete
  2. oiya mas, memangnya kalau mau download film resmi itu dimana? makasih mas sebelumnya hehe

    ReplyDelete