19 November 2013

Movie Review: Snowpiercer (2013)


"I belong to the front, you belong to the tail."

Orang kaya bertindak sebagai penguasa, sedangkan kaum miskin berperan sebagai penderita. Kejam? Sebenarnya tidak, faktanya simbiosis tersebut kini tidak lagi menjadi sesuatu yang aneh, perlahan tampak seperti sebuah trend bahkan kewajiban yang berlaku pada banyak ekosistem masyarakat, karena kini melakukan tindakan humanisme sudah jauh dari kesan membanggakan. Hal tersebut akan anda temukan pada karya terbaru dari Bong Joon-Ho, salah satu sutradara terbaik yang dimiliki Korea Selatan. Snowpiercer, sebuah kritik implisit menggunakan bencana apokaliptik yang menakjubkan.   

Tahun 2014, dikala suhu global semakin menjadi isu yang mencemaskan, negara dunia sepakat untuk bersama melakukan upaya menurunkan suhu dengan membangun satu sistem pada atmosfer. Sayangnya keberhasilan tersebut hanya sesaat, karena perlahan suhu bumi yang tadinya panas berbalik secara frontal. Ya, zaman es itu kembali, penduduk bumi tewas akibat suhu yang dalam kurun waktu tujuh menit dapat merubah tangan manusia menjadi bongkahan es. Namun tidak semua, masih ada sekelompok manusia beruntung dalam sebuah kereta api super cepat milik jutawan kaya bernama Wilford (Ed Harris), Snowpiercer, yang secara periodik terus berputar mengelilingi bumi.

Snowpiercer ibarat sebuah ekosistem baru, dimana yang kaya berada di posisi depan penuh dengan kebahagiaan, sedangkan si miskin berada di bagian ekor, setiap hari hanya makan sepotong jelly yang menjadikan mereka lupa bagaimana rasa dari sepotong daging. Tepat 17 tahun kemudian, Curtis (Chris Evans) dan Edgar (Jamie Bell) mulai bosan dengan pidato utusan bernama Mason (Tilda Swinton), dan ingin merubah sistem tersebut. Walaupun awalnya ditentang oleh Gilliam (John Hurt), sebuah masalah yang menimpa Tanya (Octavia Spencer) kembali menghidupkan misi mereka, terlebih dengan adanya secercah harapan pada sosok yang diyakini dapat menolong, Namgoong Minsu (Song Kang-Ho).


Ada tiga hal utama yang sebenarnya sudah membuat Snowpiercer tampak sangat menarik bahkan sebelum ia mulai hadir di layar. Pertama adalah Bong Joon-Ho, anda bisa tanya google siapa pria ini, Barking Dogs Never Bite, Memories of Murder, The Host, Mother, tidak cukup satu paragraf untuk menggambarkan sutradara asal Korea ini yang gemar berpindah genre film. Kedua adalah jajaran cast, saya bahkan belum memasukkan Alison Pill dan Go Ah-Sung yang juga tampil memikat. Dan yang terakhir adalah konsep cerita layaknya kapal Nuh yang di adaptasi dari novel grafik berjudul Le Transperceneige karya Jacques Lob, Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette, yang kemudian merubah Snowpiercer menjadi sebuah film yang segmented.

Ya, Snowpiercer adalah film yang segmented, tingkat tinggi malah. Pada awalnya ini memang tampak seperti sebuah film fantasy yang akan memanjakan penontonnya dengan sentuhan action mewah untuk membangun cerita yang sesungguhnya sangat sederhana, bagaimana cara bergerak dari belakang kereta api menuju bagian depan. Namun ternyata Snowpiercer punya cakupan yang jauh lebih “luas”, dimana narasi padat yang Bong Joon-Ho bentuk bersama dengan Kelly Masterson ini ingin bermain dengan cara yang lebih cerdas dalam menyampaikan misi utama mereka. Ini bukan film dimana anda akan dituntun untuk menemukan sebuah jawaban di akhir dan kemudian berteriak penuh kegembiraan, ini adalah film yang sepanjang ia berjalan terus berupaya memprovokasi anda, pada isu kemanusiaan.

Segi teknis memang memikat, namun itu semua di gunakan oleh Bong Joon-Ho hanya sebagai elemen pemanis. Cinematography gemilang dengan tingkat kepadatan yang berimbang, dibantu dengan score yang terus membantu proses membangun cerita, editing yang memikat, mereka di eksekusi dengan baik walaupun sebenarnya punya nilai minus pada CGI yang tidak begitu memukau, terutama kondisi di luar kereta api. Kekuatan utama Snowpiercer terletak pada cara ia bercerita. Memang tidak ada perkembangan cerita yang begitu luas, namun ia berhasil membawa penontonnya masuk kedalam proses observasi dan analisa pada tema utama yang sukses menghadirkan konsistensi pada momentum, tekanan, dan dinamika cerita, serta mampu terus menarik atensi penonton.


Ya, Snowpiercer tampil menarik lewat cara yang pintar, keren, dan elegan. Sebuah kenikmatan yang menyenangkan ketika secara bertahap bersama karakter ikut berpindah antar gerbong, seperti ditarik kedalam petualangan sederhana yang mendebarkan, namun tetap diberikan banyak materi-materi segar yang variatif, dari pemandangan luar kereta api, masih dengan pergerakan plot dan warna cerita yang mengejutkan, serta black humor, hingga eksekusi pada hal sederhana seperti rokok, estafet, sauna, sushi, dan sekolah. Begitu pula dengan kemudahan yang ia ciptakan agar penonton ikut menaruh simpati pada karakter, terlibat dalam permainan emosional walaupun tidak digali terlalu dalam. Mereka semua yang kemudian menjadikan beberapa nilai minus skala kecil, seperti pergerakan mondar-mandir yang di beberapa titik terkesan sedikit terlalu cepat dan terlalu lambat, terasa tidak begitu mengganggu.

Kunci utama dari menikmati Snowpiercer adalah mampu atau tidak penontonnya untuk terus mengikuti irama dari tempo yang ia berikan, naik dan turun, cepat dan lambat, dibeberapa bagian bahkan off-beat. Jika jawabannya ya, maka bersiaplah untuk mendapatkan sebuah petualangan berisikan perjuangan yang memang tidak akan menyediakan grand prize di akhir cerita, namun berhasil membuat tema kebebasan dan humanisme yang ia usung melekat lama di ingatan penontonnya. Ya, ini seperti sebuah alarm dini bahkan juga sindiran frontal yang implisit pada cara berjalan dunia masa kini yang dapat dengan mudah dikategorikan sebagai sesuatu yang salah.

Jika harus menilai secara individu tidak ada satupun karakter yang berdiri seorang diri dalam menggerakkan cerita, termasuk itu Chris Evans yang sebenarnya berperan sebagai tokoh central. Bong Joon-Ho sepeti punya misi lain untuk menyampaikan betapa pentingnya kerjasama dan saling membantu, ia memang kerap mendorong Evans sebagai penguasa panggung utama, namun tetap menjaga kontribusi dari Jamie Bell, Octavia Spencer, Tilda Swinton, Song Kang-Ho, dan Go Ah-Sung agar tidak tenggelam dan hilang, dan ikut berperan aktif dalam menggerakkan konflik dan isu yang dilemparkan.


Overall, Snowpiercer adalah film yang memuaskan. Ini pertama kalinya saya melakukan editing dengan melakukan pemotongan dibanyak bagian, sebagai upaya melindungi kenikmatan dari kejutan yang ia berikan. Konsep yang kokoh, eksekusi teknis dan cerita yang padat dan penuh percaya diri, ia mampu mengejutkan menggunakan kekerasan, berhasil menyentuh tanpa terkesan mellow, dan yang terpenting menyadarkan kembali penontonnya pada sisi humanisme. Beautiful & segmented, an amazing implicit thought-provoking critique about humanism. Pertanyaan terakhir yang muncul justru terasa unik, dari skala 1-10 dimana posisi Bong Joon-Ho saat ini pada bakat yang ia miliki? Lima film memukau dalam 13 tahun, gila.












3 comments :

  1. Ini film asli kereeenn bangeeettttttt!!!!! Bener2 dituntut buat mikir!

    ReplyDelete
  2. udah nonto gua,dan gua berharap ada kelanjutan gimana cara mereka hidup berdua di alam yg udah berubah :D,mohon kunjungan gan :D
    cingconglu.blogspot.com/

    ReplyDelete
  3. Sebuah ekosistem alam dmna tiap kelompok punya peran nya masing2 yg mutlak dan harus tetap berjalan sbagaimana mestinya agar keseimbangan tetap terjaga.Itulah hukum alam yg jika dilanggar maka hancurlah keseimbangan nya.That's it itu lh yg saya pelajari dr film ini :)

    ReplyDelete