27 November 2013

Movie Review: Lovelace (2013)


Wanita ini pernah menjadi primadona di era tahun 70-an, dalam waktu singkat langsung menggebrak industri perfilman dengan menggunakan paket yang tidak lazim, porn movies. Linda Susan Boreman, menyandang nama panggung Linda Lovelace, merupakan porn queen pada era itu, namun anehnya dia hanya punya rentang karir yang begitu singkat, empat tahun. Ya, ternyata ada sesuatu yang menyedihkan dibalik kesuksesan tersebut, kisah yang kemudian coba di gambarkan oleh film ini, Lovelace, sebuah kemasan biography yang tidak percaya diri, tanpa misi dan ambisi yang mumpuni, it's like making a war movie without the fighting. 

Ayah dan ibunya, John Boreman (Robert Patrick) serta Dorothy (Sharon Stone), merupakan dua sosok yang sangat religius, namun Linda Boreman (Amanda Seyfried) justru menemukan cara menikmati hidup yang bertolak belakang dengan sistem yang dianut kedua orangtuanya. Linda adalah wanita dengan jiwa bebas, berjemur dibawah sinar matahari, hingga menjadi sukarelawan untuk menari diarena roller skating bersama sahabatnya Patsy (Juno Temple). Aktivitas terakhir itu menjadi momen dimana Linda bertemu dengan Chuck Traynor (Peter Sarsgaard), yang kemudian menjadi suaminya.

Namun Chuck ternyata bukan sosok pria yang sehari-hari bermain di area bersih. Suatu ketika Chuck masuk penjara, dan harus berhadapan dengan krisis finansial. Celakanya ide pertama yang dimiliki oleh Chuck adalah memanfaatkan apa yang selama ini telah ia kuasai, pornografi dan istrinya. Linda dipaksa untuk menjadi bintang porno dengan menggunakan nama Linda Lovelace, dan secara mengejutkan berhasil memberikan penampilan yang impresif dan membuat sutradara serta produser (Bobby Cannavale, Hank Azaria, Chris Noth) jatuh hati padanya, tenar dalam sekejap berkat Deep Throat, namun tetap tidak membuat ia lepas dari sisi hitam kehidupan.


Tujuan utama dari semua film biografi pasti sama, sebagai media yang mencoba mengurai atau menjelaskan kembali kisah kehidupan dari seseorang, berisikan analisa dari fakta serta pengalaman tokoh tersebut. Hal itu tampaknya coba di pegang dengan erat oleh tiga sosok utama dibalik layar, Andy Bellin di bagian script, dan kombinasi Rob Epstein dan Jeffrey Friedman di bangku sutradara. Mereka seperti ingin menjadikan film ini seutuhnya sebagai media yang menjabarkan secara detail rekam karir dari Linda Lovelace, bahkan dalam durasi 15 menit anda sudah dapat menemukan banyak konflik kecil. Jangan buang waktu, mari bergerak cepat, cara konvensional itu mendominasi Lovelace.

Tampak percaya diri bukan? Namun sesungguhnya di balik kemasan padat yang ia hadirkan di bagian awal tersebut Lovelace pada akhirnya harus jatuh menjadi sebuah kisah yang sejak awal hingga akhir terus bercerita, namun tidak mampu menunjukkan bahwa ia punya rasa percaya diri pada kisah yang usung. Caranya dalam menghadirkan sudut pandang pada kasus utama memang menarik, terlebih dengan keputusannya yang tampak akan mencoba menggambarkan sosok Linda secara detail. Tapi itu adalah batas dari nilai positif yang dimiliki Lovelace, selebihnya ini berubah menjadi rangkaian dari tumpukan cerita yang gagal pada tahap eksekusi.

Sederhananya ini adalah sebuah tontonan yang hambar. Dengan penuh keyakinan mencoba membagi kisah kedalam sisi terang dan gelap, kesalahan utama Lovelace bersumber pada keputusan Rob Epstein dan Jeffrey Friedman yang sejak awal sepertinya memilih untuk tidak bermain terlalu jauh. Mungkin berupaya untuk menghormati mendiang Linda, namun bukan penilaian tersebut yang muncul, Rob Epstein dan Jeffrey Friedman justru tampak takut untuk mengekplorasi lebih dalam materi yang sebenarnya punya potensi yang sangat sangat besar untuk dapat menjadi sebuah tontonan penuh isu provokatif. Ini datar, terasa terlalu manipulatif, kurang dinamis, kurang hidup, malah terasa seperti membaca informasi yang dapat anda tanyakan pada google.


Lovelace adalah film yang harus menderita akibat efek domino yang sudah ia ciptakan sejak awal. Pertama ia tidak punya ambisi yang tinggi, memberikan efek pada misi utama yang sejak awal tidak tampil kokoh, kemudian memilih bermain aman dengan tidak bergerak terlalu jauh di semua area, menjadikan struktur cerita terasa sangat kaku dan kerap menjengkelkan akibat lompatan cerita yang kurang begitu penting, dan membuat kisah perjuangan dari Linda itu harus berakhir terlalu standard. Banyak bagian yang tidak dibentuk dengan baik akibat terlalu dangkal, tidak dalam, tidak kompleks, sehingga kunci lain pada simpati terhadap karakter utama juga terasa lemah.

Permasalahan utama lainnya yang dimiliki Lovelace adalah apa misi utama yang ia usung? Sepanjang film tidak ada isu yang diolah dengan baik, ada sedikit pandangan pada sisi kemanusiaan dan kekerasan terhadap wanita, namun itupun tidak dibentuk dengan kokoh. Pada akhirnya Lovelace hanya tampak sebagai sebuah upaya untuk membuat penontonnya menaruh simpati pada Linda Boreman (yang kemudian juga gagal), bukan sebagai media untuk melempar banyak pesan yang mampu menghadirkan isu provokatif pada lingkup sosial, politik, hingga budaya. Ya, kembali lagi ke bagian pembuka, ini kemasan yang tidak percaya diri, terlalu berlebihan dalam keputusan bermain aman agar tidak menjadi sebuah kemasan yang berlebihan.

Satu-satunya hal yang mengejutkan dari Lovelace adalah penampilan dari Amanda Seyfried, yang dengan ruang dan kesempatan begitu sempit, serta materi yang tidak begitu kokoh, at least masih mampu mempertahankan daya tarik dari tokoh utama sejak awal hingga akhir. Peter Sarsgaard juga cukup baik, terutama pada ekspresi layaknya seorang psikopat yang terus ia hadirkan. Robert Patrick dan Sharon Stone juga mampu menunjukkan dilema dari cinta dan benci pada sisi orang tua, bahkan andai saja keterlibatan mereka sedikit lebih besar cerita mungkin akan sedikit lebih menarik, ketimbang berputar-putar pada proses syuting yang monoton. Sedangkan James Franco adalah pilihan yang kurag tepat untuk Hugh Hefner.


Overall, Lovelace adalah film yang kurang memuaskan. Lovelace adalah sebuah dongeng dimana anda hanya duduk dan mengamati tanpa harus berpikir terlalu jauh. Cara tersebut memang tidak salah, asalkan mampu terus tampil dinamis dan intens, hal yang tidak dimiliki Lovelace. Ini dibuka dengan aman, ditutup dengan aman, namun keduanya dihubungkan dengan kekacauan yang cukup dangkal akibat rasa ragu yang sudah ia tunjukkan sejak awal.










1 comment :

  1. ngk tau siapa itu linda lovelace sampe nntn film ini :-P yep...film ini seharusnya lbh mengangkat isu KDRT dan exploitasi terhadap perempuan tapi sayang cuma dibahas sedikit diakhir film :-(

    ReplyDelete