18 November 2013

Movie Review: Don Jon (2013)


Hasrat akan seks sebenarnya bukanlah hal yang tabu, karena secara ilmiah kehadirannya merupakan sesuatu yang wajar. Jangan naïf, bukan hanya para pria, wanita sesungguhnya juga punya hal tersebut dalam level yang sama, karena ketika energi sedang membara salah satu solusi terbaik adalah dengan melampiaskannya. Don Jon coba bermain di tema itu, namun ini sedikit berbeda, bukan hanya film yang sebatas menggunakan materi pornografi untuk menjadi sebuah crowd-pleasure, ini drama komedi penuh ironi yang menggelitik dan menyenangkan. (Warning: review contains strong language)

Jon Martello, Jr. (Joseph Gordon-Levitt), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Don Jon, merupakan satu dari sekian banyak pria yang memiliki hasrat yang sangat besar pada seks. Ia cassanova, mudah bagi Jon untuk bercinta dengan banyak wanita, namun anehnya tetap tidak memberinya rasa puas. Ada satu ritual wajib yang ia lakukan, menyaksikan video porno tepat setelah selesai berhubungan seks. Tidak heran kemudian porno menjadi salah satu bagian penting dalam hidupnya, disamping tubuhnya yang kekar, keluarga, kendaraan, sahabat, dan gereja.

Yap, gereja. Bilik pengakuan dosa seperti sudah hafal betul dengan ekspresi wajah serta isi dari pengakuan Jon. Penghalang utama bagi Jon sebenarnya hanya satu, self control dari kehidupannya yang seperti bergerak cepat. Hal tersebut yang dibawa oleh Barbara Sugarman (Scarlett Johansson), wanita seksi berambut pirang yang secara mengejutkan berhasil membuat Jon jatuh hati. Ya, cinta, perlahan Jon mulai masuk kedalam irama kehidupan Barbara, yang kemudian memaksa Jon untuk menahan “energi” yang ia miliki. Celakanya itu justru berubah menjadi tekanan, dan menciptakan dua opsi, pornografi atau Barbara?   


Yang pertama harus anda ketahui bahwa Don Jon merupakan film layar lebar pertama Joseph Gordon-Levitt sebagai penulis dan sutradara, dan jika berbicara konsep utama tanpa sedikitpun rasa ragu dua jempol layak diberikan kepada Gordon-Levitt. Tema kecanduan pada seks memang bukan merupakan hal yang baru, sebut saja Shame dua tahun lalu, namun yang menjadikan Don Jon berbeda adalah ia tidak menggunakan warna cerita yang begitu serius dan kaku untuk menyampaikan pesan sensitif dan provokatif yang diusung. Gordon-Levitt memilih bermain pada pendekatan yang jauh lebih santai, sangat santai malah.

Sedikit bingung untuk menggambarkannya, anda memang tidak akan menemukan penis dan vagina sepanjang film, namun tidak dengan video porno yang secara kuantitas cukup mengejutkan, dan uniknya lagi itu benar-benar real porn video, real pornstar, dan pornhub. Nah disini kunci utama cocok atau tidak Don Jon bagi anda. Jika anda mampu untuk mengesampingkan fakta bahwa sepanjang film anda tidak akan lepas banyak klip porno yang akan terus menemani, kemudian menaruh fokus pada proses menemukan jati diri sembari di sertai ironi dan kritik implisit dari seorang pria cassanova, Don Jon akan cukup memikat.  

Benar, cukup. Nilai positif paling besar yang dimiliki oleh Don Jon adalah ia mampu menggambarkan fakta. It’s simple, addicted to porn can ruin your life. Dari sana Gordon-Levitt mulai mengembangkan isu-isu kecil dari budaya modern yang ia miliki, dan hebatnya banyak dari mereka sukses menggelitik. Sebut saja bagaimana making love yang bagi pria hanya sebatas seks padahal wanita menganggap itu proses penuh rasa cinta, datang ke gereja dan mengaku dosa namun selanjutnya kembali melakukan dosa yang sama, rutinitas tanpa rasa tenang yang menghambat pertumbuhan individu, hingga bahaya dari kecanduan dan obsesi berlebihan yang ia sebar melalui karakter pendukung.   


Tapi ada satu dilema dari Don Jon, berasal dari keputusan Gordon-Levitt untuk menerapkan cara pengulangan dalam membangun cerita. Sangat mudah untuk mengerti maksud dan tujuan dari keputusan tersebut, namun bagi penonton yang sejak awal sudah mengerti dan mendapatkan point penting dari tiap bagian itu maka perputaran sistematis yang ia ciptakan kerap kali akan terasa berlebihan, sering kehilangan irama, dan akhirnya menghadirkan sedikit rasa monoton. Ya, tidak ada pergerakan yang besar, ini seperti berputar dalam sebuah lingkaran secara periodik, terus berupaya mempertebal semua pesan kecil yang ia punya, kurang berkembang.

Bukan berarti ia gagal, namun Joseph Gordon-Levitt masih kurang mampu mengembangkan konsep cerdas yang ia ciptakan menjadi sebuah narasi yang bukan hanya sebatas tampil menghibur, namun juga padat dan kokoh. Saya suka pada kejutan menggunakan Anne Hatheway & Channing Tatum, sisi teknis yang klasik namun tetap terasa manis, bahkan penempatan pengulangan segmen juga tersusun rapi. Namun ini terlalu sederhana, kurang digali, seperti merangkai banyak segmen pendek dengan inti yang sama untuk kemudian bersatu menjadi sebuah kemasan yang lebih panjang. Cara ia dibangun tidak sama beraninya seperti ide yang ia lemparkan.

Debut pasti akan selalu sulit, namun Gordon-Levitt setidaknya berhasil menjauh dari jurang kehancuran. Sebagai aktor ia berhasil membentuk Jon sebagai pusat atensi sepenuhnya, menyampaikan pesan dengan cara self-mocking yang menyenangkan. Menariknya disini Gordon-Levitt juga pintar dalam menempatkan pesan kecil lainnya lewat penggunaan karakter pendukung yang cermat. Scarlett Johansson menggunakan hal berbau romantisme, Julianne Moore sebagai sisi terang yang terluka, Tony Danza dan Glenne Headly lewat keluarga yang unik. Scene stealer menjadi milik Brie Larson, ia keluar dari kebisuannya di sepanjang film pada bagian akhir cerita, hanya punya satu atau dua line dialog, but boom, a big hit.


Overall, Don Jon adalah film yang cukup memuaskan. Tujuan utamanya dalam upaya untuk menjadi sebuah penggambaran dari bahaya yang dihasilkan oleh obsesi berlebihan pada pornografi berhasil dijalankan dengan baik. Bergerak cepat, Don Jon  berhasil memikat karena Joseph Gordon Levitt tahu membangun konsep liar yang ia punya dengan cara yang lucu namun tetap jujur meskipun terkesan menggurui, dan perlahan mulai melemah setelah bagian pembuka.



7 comments :

  1. yuhuuuuu.....akhirnya keluar juga cusss nonton, btw bagusan mana shame sama don jon min hahahaha :) *thanks min:-*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, masih coming soon lho, kemarin kebetulan tayang aja pas midnight. Bagus Shame dong, aktingnya Fassbender salah satu favorit saya dua tahun lalu. Thanks :)

      Delete
  2. sebenarnya perlukah gereja di film ini. kalo ngga sanggup menggabungkan agama dan duniawi mending kaga usah malah keteteran kan .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gereja disini sejak awal memang tidak menjadi bagian dari cerita utama kok, hanya sebatas elemen pendukung untuk mempertebal kemirisan pada fakta dari konflik utama. Pasti ada kan (di semua agama) mereka yang ibadahnya rajin, tapi berbuat dosanya juga gak kalah rajin. Dengan sedikit melibatkan agama bersama duniawi, makin besar deh tu ironi. :)

      Delete
  3. Baru nydar ini blog Rory Pinem. Nice bro.

    ReplyDelete
  4. calon istri nih, scarlett johanesson

    ReplyDelete