17 October 2013

Movie Review: Thanks for Sharing (2013)


“Life is a journey you never have to take alone.”

Apa yang anda lakukan ketika sedang dirundung masalah yang begitu berat? Mungkin ada yang memilih untuk tidur, berlari sambil mendengarkan musik, nonton film, bermain game hingga membaca, semua berupaya untuk mengalihkan pikiran dari masalah. Namun itu adalah pilihan tipe satu arah, tanpa memberikan feedback yang dapat membuka pilihan baru, untuk lepas dari masalah, seperti yang diberikan oleh sharing. Thanks for Sharing, a dramedy about 12-Step for Hulk to stab Iron Man from behind and go out with Pepper Potts.

Adam (Mark Ruffalo), Mike (Tim Robbins), dan Neil (Josh Gad), adalah tiga pria berbeda generasi, namun memiliki satu hal yang menjadikan mereka serupa, sex addict. Adam, sudah lima tahun sober, perlahan mulai beradaptasi dengan 12 tahapan dalam upaya menyembuhkan hal yang ia sebut penyakit dan ia anggap lebih memalukan ketimbang pecandu alkohol dan narkotika sekalipun. Namun  ternyata kehadiran Phoebe (Gwyneth Paltrow), wanita bergaya hidup sehat setelah lepas dari penyakit, menjadikan Adam mulai kehilangan irama yang justru menjadikan hal yang awalnya hanya sebatas saran dari sponsornya Mike itu berubah menjadi beban.

Mike juga punya masalah, tidak ada kaitannya dengan istrinya Katie (Joely Richardson) dan unsur seks, melainkan anak laki-laki mereka Danny (Patrick Fugit) yang mendadak muncul kembali setelah lama hilang, sosok yang Mike anggap merupakan masalah karena tidak sesuai dengan sistem yang ia terapkan, sistem yang ia anggap selalu benar. Sedangkan Neil merupakan dokter muda gila seks yang baru berada di tahap awal proses penyembuhan, tidak menaruh serius dari tiap pertemuan para pecandu seks yang ia hadiri karena merasa itu hanya sebuah kewajiban, namun berubah setelah berteman dengan sesama anggota baru bernama Dede (Alecia Moore/Pink).


Ada Ruffalo, ada Paltrow, namun sesungguhnya yang menjadi daya tarik paling besar dari Thanks for Sharing adalah penulis dan juga sutradara, Stuart Blumberg, sosok yang tiga tahun lalu bersama Lisa Cholodenko berhasil menjadikan The Kids Are All Right sebagai sebuah hits tak terlupakan, lesbian, affair, bertumpu pada anak-anak, lucu, tulus, dan semua terasa hangat. Kala itu tidak ada ekspektasi yang begitu besar, tapi perlahan potensi itu berubah menjadi kualitas yang terus tumbuh dan berakhir manis dengan pelukan perpisahan dan senyum. Hal tersebut juga dimiliki oleh Thanks for Sharing, sayangnya hanya sampai potensi.

Sebenarnya ini menjanjikan, tiga (atau dua) pria mellow, punya goal yang jelas, berjuang sekuat tenaga untuk sukses lepas dari kecanduan yang menyiksa psikologis mereka. Sumbernya adalah keputusan Stuart Blumberg yang masih menawarkan warna cerita yang santai, tampak natural, namun masih mampu dengan mudah menyampaikan detail pondasi awal cerita kepada penonton, paham pada tujuan utama film secara keseluruhan, paham apa positif dan negative dari masing-masing karakter. Ya, bagian awal Thanks for Sharing terasa sangat ringan, menyenangkan, momen ketika ambisi yang besar itu belum mengganggu.

Momen itu hadir disaat Blumberg berupaya merubah warna cerita. Thanks for Sharing seperti menggabungkan warna cyan, magenta, dan yellow, tiga warna yang ketika berdiri sendiri tampak cerah, bersinar, dan mudah menarik atensi, tapi ketika berkombinasi menghasilkan warna gelap seperti hitam dan cokelat tua. Tujuannya memang benar, menciptakan ruang untuk menyampaikan misi utama dari cerita, namun berada pada timing yang kurang tepat karena kala itu Thanks for Sharing masih melayang di dua tema, drama dan komedi, apakah saya harus serius dibalik comedy yang terlalu renyah, atau justru merasa lucu dibalik konflik serius, bukan hanya menjadikan cerita tampak bingung juga menjadikan penontonnya ragu pada warna utama dari cerita yang sejak awal sudah terasa cukup dangkal itu.


Dangkal, dan ia kurang klik dengan tugas yang ia emban untuk menopang ambisi besar tadi. Pelajaran tentang hidup dan cinta dikemas dalam script yang kaku, tidak berdiri kokoh, dan menjadikan ide-ide tentang kecanduan yang sesungguhnya manis itu seperti tidak terjalin dengan menarik, menumpuk, dan perlahan monoton. Yap, film ini tidak membawa anda sebagai penonton kedalam sebuah cerita yang pada akhirnya menjadikan anda mendapatkan pelajaran yang mengasyikkan dari sebuah ruang layaknya diskusi, dimana dia melempar, dan anda menangkap. Ini lebih terasa seperti menyaksikan tiga orang guru yang jenaka namun bercerita didepan kelas tentang kisah personalnya yang kelam dalam upaya membuat anda bersimpati padanya dengan cara yang kurang tepat.

Editing yang berantakan merupakan sumber utama sisi hitam yang film ini miliki. Thanks For Sharing seperti berupaya menyampaikan semua materinya yang tampak gemuk itu secara total, coba ia bagi sama rata pada tiga bagian, hasilnya banyak terjadi lompatan cerita diantara ketiganya. Itu memang bukan hal yang tabu, asalkan tidak mengganggu, hal yang terjadi pada film ini. Anda mendapatkan sketsa, kemudian berpindah ke sketsa lainnya, menciptakan ruang yang terlalu singkat untuk memperdalam cerita hingga karakter, padahal tema utama yang ia lempar sangat membutuhkan hal terakhir itu untuk dapat menarik simpati penonton.

Sederhananya Thanks for Sharing adalah film yang bermain terlalu aman untuk tema yang punya peluang sangat besar untuk menjadi kemasan provokatif yang menarik. Thanks for Sharing penuh dengan hitam putih, ambisi besar namun pondasi dangkal, cinematography yang mumpuni, namun score kerap menjadi sumber hilangnya irama cerita. Sayang memang, padahal Ruffalo dan Paltrow, serta Josh Gad dan Tim Robbins tampil baik, namun tidak dapat digali lebih dalam akibat materi dan kesempatan terbatas yang mereka dapatkan.


Overall, Thanks for Sharing adalah film yang kurang memuaskan. Tujuan utama dari kehadirannya sangat mudah dipahami, namun ia tidak mampu membangun tujuan tersebut menjadi sebuah hiburan yang membagikan pelajaran yang bermakna kepada penontonnya. Berdurasi 112 menit, hampir dua jam, ia gemuk namun kurang padat, ini terlalu datar untuk cerita yang menaruh fokus pada konflik batin.










0 komentar :

Post a Comment