12 September 2013

Movie Review: Grown Ups 2 (2013)

 

Adam Sandler adalah aktor yang serba bisa. Ia bisa menjadi ayah angkat yang jobless, pria penderita penyakit psikologis, tentara yang kemudian menjadi penata rambut, memaksa Jennifer Aniston untuk mau menjadi istri palsunya, bahkan menjadikan Al Pacino jatuh cinta padanya. Masuk ke level produser, tidak heran Sandler tetap eksis, dan kerap kali mampu memperoleh penghasilan dua kali lipat budget yang ia punya. Tapi ia standard, apakah wujud kesetiaan dengan cara yang ia punya, atau justru karena rasa takut, yang kemudian menjadikan kehadiran film ini cukup mengejutkan. Yap, Grown Ups 2, film sekuel pertama Sandler, sukses di box office, masih dengan materi bodoh yang bodoh.

Lenny Feder (Adam Sandler) memutuskan untuk membawa istrinya Roxanne (Salma Hayek) beserta tiga anak mereka kembali ke Connecticut. Keputusan tersebut menjadikan Lenny kembali dekat dengan tiga sahabatnya, Eric Lamonsoff (Kevin James), Kurt McKenzie (Chris Rock), Marcus Higgins (David Spade), dan teman lamanya Nick Hilliard (Nick Swardson). Namun berbeda dengan liburan musim panas tiga tahun lalu dimana mereka mencoba mengajari anak-anak mereka dengan bersatu bersama alam, kali ini empat sekawan itu yang justru memperoleh pelajara yang bersumber dari anak-anak mereka.

Setelah bertemu dengan kelompok mahasiswa anarkis yang dipimpin oleh Frat Boy Andy (Taylor Lautner), Lenny dan sahabatnya dihadapkan pada masalah internal. Berawal dari Keithie Feder (Cameron Boyce), masalah Lenny dan Roxanne semakin runcing, sedangkan Eric terus berupaya bersembunyi dari istrinya Sally (Maria Bello). Kurt sendiri sibuk dengan perdebatan tentang masalah tanggung jawab terhadap anak dengan Deanne (Maya Rudolph), sedangkan Marcus harus bertemu dengan anaknya yang berjiwa preman bernama Braden Higgins (Alexander Ludwig).


Adalah hal yang bodoh mengharapkan Adam Sandler hadir dalam karakter yang cerdas, karena seperti disinggung pada paragraph pertama bahwa karakter bodoh telah lekat dengannya. Sandler identik dengan ciri khasnya lewat komedi hit-n-run yang tanggung, punya kemungkinan berhasil dan gagal yang sama besar, tidak heran film yang dibintangi pria paruh baya ini kerap kali gagal mendapatkan rating positif. Sandler adalah orang yang selalu optimis, namun sayangnya pemalas, ia tahu apa yang ia lakukan belakangan ini tidak lagi berhasil namun tidak mau merubahnya, menjadikan penonton yang ingin menyaksikan kembali Sandler seperti era sebelum dan diawal millennium akan kecewa.

Grown Ups memang standar, namun tidak hancur. Ia mampu tampil konyol namun pesan yang di usung juga mampu disampaikan dengan cukup efektif. Apa yang menjadikan ia menarik adalah ia punya pondasi yang kokoh, alasan kuat mengumpulkan kembali empat sahabat yang telah dewasa, dan melakukan keputusan tepat dengan mengurung mereka pada sebuah pondok di tepi danau dengan sedikit sentuhan taman bermain. Tidak salah memang jika Grown Ups 2 ingin berkembang menjadi lebih besar, tapi celakanya yang ia lakukan justru melewati batas. Ini terlalu besar, terlalu banyak konflik, terlalu banyak karakter baru yang tidak penting, terlalu bertele-tele, terlalu hectic untuk pesan yang sangat sangat sederhana.

Mayoritas didominasi ketidak berhasilan bekerjanya off-color humor yang sedikit menjurus kearah vulgar, Grown Ups 2 tampil hambar, datar, dan membosankan. Anda memang dapat melihat upaya film ini untuk tampil fokus dan lebih besar dalam konteks cerita, sayangnya hanya sebatas upaya karena eksekusi yang Dennis Dugan lakukan justru menjadikan timbunan konflik-konflik kecil itu berubah menjadi sebuah benang kusut, semakin jauh ia berjalan semakin terlihat bahwa script yang dibangun oleh Adam Sandler, Tim Herlihy, dan Fred Wolf  adalah hasil tambal sulam, asal tempel, tidak memiliki keteraturan yang baik, berantakan. Dari lelucon kentut, muntah, urin, hingga aksi bertualang di keramaian kota untuk mengejar sebuah ban raksasa, bukannya menjadikan aksi mereka tampak lucu justru menghadirkan situasi annoying kelas berat.


Yap, materi yang Grown Ups 2 gunakan untuk menjadi bahan lelucon bahkan tidak mampu diolah dengan baik oleh mereka. Dibalik perannya dalam menggerakkan cerita dan ikut menyampaikan makna dari kehadiran mereka, materi-materi tersebut lebih tampak sebagai frontal insult kepada kalangan tertentu, sebuah saja mahasiswa yang digambarkan anarkis, orang kulit hitam dengan keterlibatan Obama didalamnya, dan juga polisi yang ditampilkan sangat bodoh jauh dari kesan tangguh sebagai penegak keadilan.

Saya sendiri di pertengahan film sempat merasa bingung apakah film ini sebenarnya punya alur cerita, karena perlahan pergerakan Grown Ups 2 lebih tampak seperti parade konflik kecil, dimana konflik A membuka jalan bagi konflik C, namun tidak ada keterkaitan yang erat diantara mereka. Grown Ups 2 tampak seperti perpindahan cerita yang melompat sesuka hati antara banyak potongan kisah kecil yang didominasi omong kosong, dan celakanya tidak mampu menghibur.

Grown Ups 2 juga melakukan satu kesalahan yang mematikan unsur pemanis dari film pertamanya, interaksi antar karakter yang menarik. Di film keduanya ini karakter seperti tidak menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari usaha mereka untuk membuat penontonnya tertawa, mereka justru lebih tampak hanya ingin menunjukkan berbagai lelucon bodoh yang mereka punya, menganggap keberhasilan penonton tertawa sebagai bonus belaka yang tidak begitu penting. Yap, bahkan untuk membuat anda tertawa saja dia sudah tidak mampu, apalagi menyampaikan misi utama yang bernafaskan keluarga.

Tidak ada yang stand out dari divisi akting, porsi mereka terbatas bahkan ada yang seperti tempelan belaka, seperti Shaquille O'Neal, Taylor Lautner, Aly Michalka, Steve Buscemi, hingga karakter para istri. Benar, kegagalan empat karakter utama pria menjadikan tingkah mereka tampak lucu juga diakibatkan keterbatasan yang kini dialami para istri, yang di film pertama punya peran cukup besar dalam menggerakkan cerita dan menjadi sisi pembanding. Hasilnya, tidak ada pembanding yang menjadikan aksi para pria itu menunjukkan bahwa boys will always be boys.


Overall, Grown Ups 2 adalah film yang tidak memuaskan. Kehadiran film ini seperti dipaksakan, karena sejak pondasi utama saja ia sudah sangat lemah. Hal tersebut semakin parah dimana daya tarik pada intimitas keluarga yang dalam dan sempit, yang juga menjadi daya tarik film pertamanya, hilang begitu saja akibat area bermain yang begitu luas, begitu ramai, begitu menjengkelkan. Jika anda merasa The Smurfs 2 dengan segala lelucon mentahnya itu sudah cukup menyiksa, sebaiknya anda menghindar dari Grown Ups 2. Ini adalah film yang tidak mampu menghibur dengan tampil bodoh, sebuah film yang pemalas dan membosankan.



0 komentar :

Post a Comment