23 August 2013

Movie Review: Percy Jackson: Sea of Monsters (2013)


"My dear young cousin, if there's one thing I've learned over the eons, it's that you can't give up on your family, no matter how tempting they make it."

Film kedua dari sebuah franchise memiliki fungsi untuk menjadi penentu kesuksesan franchise tersebut, sebagai tolak ukur potensi yang ia miliki, apakah mereka mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas yang telah diciptakan pendahulunya, atau justru menghancurkannya. Beban berat itu di bawa oleh film ini. Potensi tentu saja masih ada, namun Percy Jackson & the Olympians: The Lightning tidak mampu menyentuh standar megah seperti harapan banyak orang , yang celakanya semakin rusak oleh Percy Jackson: Sea of Monsters, yang bahkan sulit untuk menyentuh standar memuaskan.

Dahulu kala, Thalia (Paloma Kwiatkowski), anak perempuan Zeus, mencoba menjadi pahlawan bagi tiga temannya, Annabeth (Alexandra Daddario), Grover (Brandon T. Jackson), dan Percy Jackson (Logan Lerman), menghadang serangan Cyclops, namun harus kehilangan nyawanya. Ayahnya memutuskan untuk merubah Thalia menjadi sebuah pohon, dan melindungi kawasan tersebut yang kini dinamai Camp Half-Blood, dan dipimpin oleh Dionysus (Stanley Tucci). Namun celakanya dibalik semua kegembiraan dibalik persaingan sehat yang mereka ciptakan, ada seseorang diantara mereka yang berniat untuk melakukan pemberontakan, meruntuhkan tembok pelindung tadi dengan meracuni pohon Thalia.

Dia adalah Luke Castellan (Jake Abel), anak Hermes (Nathan Fillion), ingin menghancurkan Olympus dan menghidupkan kembali sosok yang ia kagumi, Kroton. Keberhasilannya mencegah perang antara Zeus dan Poseidon tentu menjadikan Percy sebagai kandidat terkuat dalam memimpin misi untuk meraih kembali Golden Fleece, kain berlapis emas yang mampu menyembuhkan kembali Thalia. Namun celakanya justru Clarisse La Rue (Leven Rambin) yang terpilih, demigod yang merupakan anak Ares. Ini semakin menambah beban Percy yang sudah kedatangan Tyson (Douglas Smith), saudara tiri tidak terduga, serta ramalan bahwa masa depan Gunung Olympus berada ditangan salah satu demigods, menyelamatkannya, atau justru menghancurkannya. 


Sebuah kesalahan besar jika anda menaruh ekspektasi yang tinggi pada film ini, tidak perduli seberapa besar sekalipun cinta anda pada novel yang menjadi pondasinya, dan sebesar apapun cinta anda pada Logan Lerman dan Alexandra Daddario. Walaupun tetap menjadi sebuah guilty pleasure bagi saya (ya, you can all me crazy), Chris Columbus  tidak berhasil menjadikan Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief sebagai sebuah starter yang apik tiga tahun lalu, padahal kala itu harapan yang terbentuk cukup tinggi mengingat Harry Potter sudah menuju ke babak akhir. Percy Jackson: Sea of Monsters mendapatkan imbas dari kurang gemilangnya pendahulunya tersebut, ekspektasi tidak begitu tinggi, dengan harapan utama hanya ingin seberapa jauh mereka telah bertumbuh, dan seberapa jauh pula potensi mereka untuk bertahan.

Sayangnya, fakta yang terjadi jauh dari harapan yang sudah tidak begitu tinggi itu. ceritanya terasa lebih sempit, skalanya juga tampak lebih kecil (menjadikan ancaman dari ramalan itu terasa bodoh), cerita yang tampak mencoba setia dengan buku, namun tidak mampu mengulang keberhasilan utama dari pendahulunya, menghadirkan karakter yang menarik dan kisah yang menghibur untuk menemani petualangan yang tidak berkembang secara kualitas. Petualangan yang menyenangkan itu kini berganti menjadi sebuah tamasya seorang anak dewa dengan teman-temannya. Narasi tidak berkembang, berbelit-belit penuh omong kosong dan one-liner mentah,  PJ:SM dalam sekejap mengubur mati potensi yang ia tunjukkan di bagian awal dengan menghadirkan sebuah petualangan yang tidak fokus, pergerakan cerita yang tidak bersemangat dan tidak mampu memanfaatkan setiap momentum yang ia miliki.

Ini film yang datar dan hambar. Ada sebuah ancaman besar dihadapan mereka, namun perjuangan Percy justru dibentuk seperti sebuah tugas dari kegiatan pramuka, yang pada akhirnya menjadikan apa yang ia berikan akan dengan mudah terlupakan. Ya, konyol, Percy Jackson: Sea of Monsters justru tampak seperti sebuah parodi komedi yang mencoba serius dengan pondasi sebuah metologi Yunani yang megah. Berisikan banyak pertarungan singkat, sering terlihat stuck ketika mencoba maju, PJ:SM adalah film yang bingung membentuk identitasnya, menggunakan beberapa formula basi yang sudah familiar, ditemani CGI yang seperti dipaksakan, dan dibalut dengan cerita dangkal, hadirkan perkelahian untuk mencoba keren namun tidak berbobot, dan ketika harus masuk ke bagian yang menuntut sisi emosional hanya menghadirkan kekecewaan dengan dramatisasi yang berantakan. Ah, jangankan drama, bahkan untuk menghadirkan humor yang menjadi “sinar” lain di film pertamanya saja mereka tidak mampu.


Kesalahan utama dari film ini adalah penunjukkan Thor Freudenthal sebagai sutradara, dan Marc Guggenheim sebagai screenwriter. Film pertama telah menciptakan standar bagi franchise ini, selang tiga tahun berlalu, penonton telah bertumbuh, dan tidak dapat dipungkiri masih banyak yang menaruh harapan pada Percy, dan menginginkan ia dan teman-temannya berkembang kearah positif dan (setidaknya sekecil apapun) lebih dewasa, dan sayangnya hal itu tidak menjadi fokus (atau tidak perduli) bagi Freudenthal dan Guggenheim. Mereka justru membangun PJ:SM menjadi perpaduan Diary of Wimpy Kids dan Green Lantern, petualangan remaja awal yang dangkal dan childish, cukup dengan menghadirkan pertarungan keren untuk menjaga cerita tetap bernafas, serta meninggalkan begitu saja potensi yang sebenarnya masih ada dalam bentuk kisah personal.

Salah satu elemen yang di incar para penonton dari Percy Jackson: Sea of Monsters adalah hiburan visual, dan hasilnya sangat mengecewakan. Jika harus digambarkan dalam satu kata, kualitas visual film ini adalah: POOR. Dia memang masih punya beberapa karakter imajinasi yang cukup baik, seperti kuda penuh warna itu, dan juga Kroton yang kehadirannya juga tidak begitu buruk, namun kegagalan utama PJ:SM adalah dalam menciptakan suasana yang mampu menjadikan penonton merasa nyaman. Mata anda akan dipaksa keras untuk fokus pada layar akibat gambar yang didominasi tampilan kurang fokus dan kokoh, kasar, begitupula dengan tingkat kecerahan yang minim dan semakin menambah kekacauan ketika berkombinasi dengan kedalaman gambar yang tidak mumpuni, tidak sehat.

Percy sendiri tidak menampilkan sebuah motivasi yang mumpuni, sangat bertolak belakang dengan kalimat yang ia ucapkan, menyelamatkan Olympus, atau menghancurkannya. Motivasi yang dimiliki Logan Lerman sama dengan karakter yang ia mainkan,  lebih sering terlihat ragu, seolah dihantui pertanyaan yang menjadikan ia lebih tampak seperti seorang remaja pria yang mellow ketimbang seorang anak dewa yang mencoba menjadi pahlawan. Begitupula dengan kualitas dari Daddario, yang kali ini seperti tidak yakin posisi dan fungsi yang Annabeth miliki dalam cerita, kehilangan karakter tangguh yang justru menjadikan ia tampak menarik di film pertama, dangkal, namun at least tidak sedangkal Grover yang potensinya sebagai sumber tawa justru tidak dibentuk dengan baik. Scene stealer menjadi milik Nathan Fillion.


Overall, Percy Jackson: Sea of Monsters adalah film yang kurang memuaskan. Pertanyaan yang tertinggal dari film kedua ini adalah keputusan apa yang akan diambil film ketiganya kelak jika ia akan hadir, sama seperti Percy Jackson: Sea of Monsters dengan menjadi film yang terus mencoba untuk berjiwa muda dan menaruh sasaran tembak pada kaum remaja, atau justru menjadikan petualangan Percy layaknya Harry Potter, membawa penontonnya ikut bertumbuh bersama karakter. Namun seperti elemen dari judul yang ia miliki, peluang harapan penonton pada film ketiga bisa saja sudah lenyap ditelan oleh Segitiga Bermuda. Short info, Annabelle is now in Elysium.



0 komentar :

Post a Comment