29 August 2013

Movie Review: Byzantium (2013)


"Eternal life will only come to those prepared to die."

I write of what I cannot speak, the truth. Kalimat singkat itu cukup untuk menjadi bukti bahwa kejujuran akan sulit untuk menjadi pahlawan ketika sesuatu harus dikaitkan dengan variabel lain yang sangat personal dan jauh lebih penting, keluarga. Byzantium, punya potensi besar dibalik intinya yang sederhana, dikemas dalam perpaduan konflik yang terpisahkan dalam hitungan abad, wrapped like an interview with a vampire.

Clara (Gemma Arterton), wanita dewasa yang tahu memanfaatkan kelebihan fisik yang ia miliki untuk memperoleh uang, hidup bersama Eleanor (Saoirse Ronan), seorang perempuan berusia 16 tahun, tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Clara, namun ternyata terus memendam sebuah konflik internal yang mengganggunya. Eleanor ingin sekali membuka semua fakta yang selama ini “mereka” simpan, namun tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan itu, menuliskannya di kertas yang kemudian ia sobek dan buang, terus rela menjalani kehidupan yang tidak pasti dengan siap untuk berpindah tempat kapanpun diminta oleh Clara.

Namun sesuatu yang aneh menjadikan niat yang ia pendam itu semakin besar, dimana pada kota baru yang mereka datangi Eleanor melihat visi dari dirinya sendiri. Merasa yakin akan tinggal lebih lama di kota yang baru karena Clara yang membuka “hotel” bernama Byzantium, Eleanor mencoba untuk semakin terbuka, mulai bergaul dengan manusia, dan mengikuti acara tukar pendapat. Tapi ia melakukan satu blunder, terperangkap terlalu dalam ketika menyelesaikan tugas yang diberikan pengajar, menuliskan semua kisah detail tentang kisah masa lalunya 200 tahun silam, yang kemudian membawa masalah yang selama ini terus mengejar semakin dekat kepada mereka.


Hal utama yang menjadikan Byzantium menarik adalah keputusan yang diambil Neil Jordan untuk memberikan identitas pada film ini. Jika anda mengharapkan sebuah kisah vampire dengan warna yang popular belakangan ini maka anda mungkin akan sedikit kecewa. Tidak ada romantisme serta nafsu yang dibentuk secara berlebihan, tanpa taring dan bahkan darah yang imo terasa minim, namun petualangan sempit, gelap, dan dingin dari dua wanita yang bahkan tidak secara gamblang menyebut diri mereka vampire, berjalan dalam formula yang tidak begitu segar, namun terbantu berkat sebuah penggambaran yang mampu menangkap penontonnya. Yap, Neil Jordan sukses dalam menciptakan tampilan visual yang indah dan haunting, menjadi arena bermain bagi unsur horror, fantasi, misteri, hingga sedikit drama.

Ini akan terlihat menarik bagi beberapa orang, dua buah kisah yang terpisah 200 tahun lamanya mampu dijalankan berdampingan dan dengan baik membentuk kombinasi yang saling membantu. Keunggulan tersebut akan semakin bertambah jika anda suka dengan keputusan Neil Jordan terus menutup rapat pintu keluar bagi anda dari ruang bermain yang sudah dipenuhi dengan pertanyaan bersumber dari misteri yang tidak dapat dipungkiri juga dibangun sama baiknya. Yap, Byzantium punya daya hipnotis yang sangat tinggi, menjadikan penontonnya sulit untuk lepas, terjerat dan fokus pada cerita, yang celakanya juga menjadikan mereka lupa bahwa sesungguhnya film ini hanyalah berputar-putar pada sebuah kisah yang dangkal.

Memang tidak ekstrim, namun cara film ini menyampaikan cerita yang ia miliki terasa cukup mengganggu. Dua buah kisah yang sejak awal sudah dibangun agar tampak kompleks itu pada akhirnya terasa kurang berharga jika menilik apa inti yang ingin mereka sampaikan, sebuah arti penting dari ikatan keluarga. Byzantium kerap kali terlihat tersesat, bingung sendiri ditengah upaya menjadikan penonton bingung dengan misteri yang ia hadirkan, mondar-mandir dipenuhi rasa cemas. Benar, konsentrasi Neil Jordan seperti terpecah dua, pada bagaimana cara ia membangun cerita, dan bagaimana cara untuk menjaga agar misteri itu terus tersembunyi hingga paruh akhir, hingga akhirnya memilih untuk tidak menghadirkan clue-clue yang bersih dan matang.


Terus merasa penasaran adalah sebuah hal yang nikmat dalam menyaksikan film, namun akan mengecewakan jika tidak ditemani dengan sebuah progress cerita yang menjadikan penantian anda tidak sia-sia. Hal itu yang tidak dimiliki Byzantium, mereka mencoba menjadikan konflik utama tampak begitu serius namun disisi lain mereka sendiri tampak sangat takut untuk membuka jalan masuk yang lebih jauh bagi penonton agar dapat masuk kedalam cerita. Kisah A berkaitan dengan B, B dengan C, C juga punya hubungan dengan A, maju mundur dengan kerap melakukan pengulangan yang sama, anda seperti menyaksikan seorang pendongeng yang mirip dengan Clara, memakai topeng dengan senyum manis yang licik, tanpa kejujuran yang total.

Performa dari kedua aktris utama layak mendapatkan atensi lebih. Gemma Arterton mampu menjadikan masalahnya tampak rumit, menarik simpati namun terus ditemani rasa cemas. Sedangkan Saoirse Ronan lebih kepada kemampuan ia untuk membangun serta menjaga misteri yang dibawa Eleanor, serta menampilkan keraguan pada dua pilihan dalam penjara kesepian yang melandanya. Namun kisah yang ditulis oleh Moira Buffini tidak memberikan kesempatan yang lebih besar pada Arterton dan Ronan, hasilnya dua karakter itu menarik ketika berjalan sendiri namun hambar tanpa chemistry ketika bersatu, kurang bernyawa, kurang digali lebih dalam padahal punya potensi untuk menghadirkan permainan emosional yang lebih menarik.

Byzantium punya potensi, namun dirusak sendiri oleh Neil Jordan yang sibuk membangun materi yang ia punya. Ya, memang tidak punya banyak plot, namun Jordan tampak memaksa agar tiap elemen tampak panjang yang justru menjadi boomerang baginya karena kesulitan dalam menyatukan dan merangkai mereka menjadi komposisi yang kompak. Bersumber dari tujuan utama yang kurang kokoh, Byzantium perlahan mulai tampak seperti tumpukan plot yang sesak dan lesu, usaha pelacuran yang menghadirkan Noel (Daniel Mays), romansa jiwa muda antara Eleanor dengan Frank (Caleb Landry Jones), serta kisah dua abad yang lampau dan mengundang Jonny Lee Miller dan Sam Riley kedalam cerita.


Overall, Byzantium adalah film yang cukup memuaskan. Hal yang paling memikat adalah tampilan visual yang ia miliki, menarik, sama menariknya dengan premis dan naskah yang punya potensi untuk menjadi besar. Namun Neil Jordan kurang mampu mengontrol materi yang ia miliki dan justru menjadikan mereka seperti beban, pengulangan yang membosankan dan mematikan tensi serta momentum untuk bergerak lebih tinggi. Jika tujuan utama Neil Jordan untuk memberikan kembali nafas segar pada sosok vampire, maka ia berhasil. Namun bukan itu tujuan utama saya menyaksikan film ini, dan tentu saja cukup dangkal untuk dijadikan harapan utama dibalik potensi besar yang ia punya.



0 komentar :

Post a Comment