16 June 2013

[Fiction] Are You Still There? #4


Empat



Pria menggunakan logika, wanita bermain dengan perasaan. Hal itu dengan jelas tampak dari kondisi yang kami alami sesaat setelah aku selesai membaca surat dari Winnie tadi. Lena, yang sejak awal telah diam membisu, perlahan mulai menitikkan air mata. Tentu saja ini seperti pukulan telak yang menghujam tanpa belas kasihan, mendapati sebuah fakta bahwa sahabat yang telah ia anggap seperti saudara kandungnya kini terlibat dalam sebuah tindakan kriminal. Namun sebuah pertanyaan justru terlintas dipikiranku, kenapa surat ini tidak ditulis tangan?


"Aku menyerah," teriak Lena sembari berlari menuju ruang atas, "semua ini terlalu berat, ini terlalu berbahaya. Sebaiknya kita serahkan semuanya ke polisi. Sebentar lagi Tania juga akan tiba, hal ini harus kita ceritakan padanya."
Wanita berusia 21 tahun itu bersandar lemah di kursi kayu berwarna cokelat yang penuh dengan debu, tertunduk lesu menutupi wajahnya yang telah basah karena air mata. Sejenak hal tersebut membuatku terdiam, yang kemudian perlahan ikut larut dalam kesedihan menjadikan pertanyaan tadi seperti tertutupi kabut gelap dari awan hitam yang berisikan ribuan petir yang berteriak kecil. Belum sembuh rasa sakit akibat kehilangan pacar tercintanya Jack setahun yang lalu, Lena kembali harus bersiap kehilangan sosok lain yang ia cintai, tepat di bulan yang sama. Saat itu aku bertanya dalam hati, apakah ini sebuah kutukan untuk kami? Setelah Jack, dan kini Winnie, apakah kami berempat ditakdirkan untuk mati satu per satu dengan cara yang mengenaskan?
"Tenang, aku yakin yang menulis surat ini bukan Winnie," kataku sembari memeluk Lena untuk membuat ia merasa tenang.
"Si pelaku terlalu bodoh Len, dia kira menulis surat untuk menebar teror seperti menulis sebuah dokumen penting?" canda ku.
"Sekarang kau coba tenang, dan kita susun rencana selanjutnya. Sebenarnya ini adalah sebuah clue yang sangat besar untuk kita. Dengan begitu jelas ada pihak lain selain Winnie yang ikut terlibat dalam peristiwa ini," kataku dengan nada yang meyakinkan.
"Ini hanya ibarat sebuah gertakan kecil dari pelaku yang mencoba menggoyang rasa percaya diri para korbannya. Oke?"
Belum sempat Lena menjawab pertanyaanku, dari kejauhan terdengar suara sirine menuju rumah keluarga Winnie. Hal ini tidak tampak dari pondok, namun satu hal yang dengan pasti kami yakini, Tania telah tiba dari Roma.


--------*--------

Kami bergegas menuju rumah Winnie, dengan surat rahasia yang telah kusimpan di saku kanan celana jins ku. Pondok tergembok dengan sempurna, kemudian kami berlari perlahan diantara rerumputan datar, mencoba mendekat pada sebuah pohon besar yang telah menjadi tempat favorit kami jika ingin memantau situasi sekitar rumah. Sebuah mobil patroli dibarisan depan dan belakang, serta sebuah Merci diantara keduanya. Mobil-mobil itu berhenti, dua sosok pria bertubuh tinggi dan besar keluar dari kedua mobil patroli, membukakan pintu mobil sedan tadi. Sebuah gaun indah berwarna merah tampak bersama sepatu high-heels yang mewah, wanita paruh baya itu perlahan mulai terlihat meskipun masih tertutupi bayangan dari dua pria tadi. Dugaan kami benar, wanita itu adalah Tania, yang dengan langkah santai melangkah masuk menuju rumah. Sebuah pemandangan yang tidak pernah aku duga sebelumnya, apakah Tania tidak merasakan tekanan seperti yang kami alami? Mengapa disaat anak perempuannya hilang masih sempat tersimpul sebuah senyuman dari bibirnya?
"Sekarang bagaimana?" tanya Lena.
"Sebaiknya kita menyusup masuk, ketimbang menunjukkan kehadiran kita dengan jelas melalui pintu utama," jawabku.
"Memangnya kau tahu jalan lain?" tanya Lena penuh ragu.
"Hey, I'm her boyfriend, tentu saja aku tahu jalan rahasia menuju kamar Winnie," balasku dengan senyum kesombongan.
Kami mulai melangkah menuju gudang belakang yang memaksa kami mengitari hampir separuh area belakang rumah. Terasa lama, akibat tekanan yang besar serta langkah kami yang begitu pelan.
"Aku jadi penasaran, apa saja yang kalian lakukan di kamar Winnie?" bisik Lena.
"Aku juga jadi penasaran, kenapa mood wanita bisa cepat sekali berubah?" jawabku simple, sembari melirik Lena yang kali ini telah tersenyum kecil.
Jendela gudang itu masih berukuran sama, persegi panjang yang pas untuk badan orang dewasa. Kuangkat Lena terlebih dahulu yang ternyata dapat dengan mudah lolos kedalam, kemudian ku susul dengan durasi yang jauh lebih singkat. Ini memang sebuah nilai plus dari rumah Winnie bagiku, dimana ia hanya punya seorang satpam di gerbang depan, kemudian pembantu muda yang bertugas di bagian tengah rumah, dan seorang bibi tua dengan kemampuan pendengaran yang sudah lemah di bagian dapur. Seminggu sekali selalu ada tim yang datang untuk membersihkan rumah, dari taman hingga ruang tamu. Hal tersebut yang menjadi penyebab aku selalu berhasil menyusup masuk kekamar Winnie, tanpa ketahuan, apalagi dengan  tidak adanya kamera cctv yang terpasang di rumah sebesar ini.
Baunya sangat menyengat, jelas sekali gudang ini tidak pernah dibersihkan secara periodik. Disudut ruangan tampak tangga yang tertutup tumpukan barang, akses utama menuju atap gudang. Lena seolah tahu apa yang harus ia lakukan, dengan langkah yang meyakinkan ia menaiki tangga dan tiba di atap yang punya struktur mendatar itu. Ini adalah salah satu spot favoritku bersama Winnie, bersama selimut, dinginnya malam, dan secangkir kopi hangat. Kuangkat sebuah pot bunga, dan kunci berwarna silver ternyata masih tersimpan manis disitu. Memang aneh, namun atas permintaannya, jendela kamar Winnie sengaja di desain berbeda agar dapat dibuka tutup menggunakan kunci, dari luar dan dalam, hal detail yang bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas di imajinasiku.
Bau lavender, aroma yang sama seperti kamar Lena, seperti sebuah komando yang langsung menjadikan Lena terduduk di kasur karena teringat memori yang mereka miliki. Namun aku tidak diam, mulai ku jelajahi setiap sudut ruangan yang sudah sangat ku hafal, mencoba mencari hal-hal aneh yang tidak familiar bagiku. Sayangnya, 10 menit berlalu tak ada satupun clue yang berhasil kutemukan, berimbas pula pada semangatku yang mulai memudar. Aku duduk disamping Lena, yang sejak awal hanya diam tak bergeming. Aku mencoba menemukan kembali irama nafas normalku, namun seketika itu pula mata liarku yang sedari tadi tak pernah lelah bergerak tiba-tiba berhenti pada iPod milik Winnie yang berdiri manis di speaker eksternal. Kumatikan speaker, dan ku play iPod tersebut. Tampak di layar muncul lirik yang aku tahu bukan tipe lagu favorit Winnie.

Search your heart, search your soul
And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do, I do it for you

Siapa sosok "you" dalam lirik tersebut? Pertanyaan itu mendadak muncul karena aku yakin aku tidak pernah meminta Winnie untuk mencoba melakukan sesuatu yang sampai mengorbankan nyawanya.
"Siapa "you" yang ia maksud?" tanya Lena berbisik.
"Aku tak tahu, tapi ini semakin memperjelas bahwa ada pihak lain yang memaksa Winnie terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Aku semakin yakin akan hal itu, namun tidak punya ide siapa dia."
"Siapa yang kini kau.." belum usai pertanyaan Lena, terdengar suara langkah kaki dari tangga menuju kamar ini.
Gerak refleks kami bekerja, dan aku langsung menuntun Lena menuju lemari kecil di dekat pintu kamar mandi. Kutarik pintu tersebut, dan kuikat benang yang telah terpaku manis dipintu itu. Lagi dan lagi, ini adalah metode yang kupakai ketika hubunganku dan Winnie masih berada dalam tahap backstreet.
Deru nafas kami perlahan mulai kencang bersama hawa panas di dalam lemari yang hanya mendapatkan pasokan oksigen dari celah-celah kecil dibagian bawah pintu lemari. Aku tahu persis kaki wanita yang terlebih dahulu melangkah masuk kedalam kamar, dia adalah Tania. Tapi siapa pria muda yang kemudian menyusulnya dari belakang?
"Kau bisa lihat kondisi kamarnya, tertata rapi bukan? Tidak tampak bukan ada sebuah rencana yang ia susun disini kemarin malam," kata Tania.
"Benar tante," sahut pria itu.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Tania, "masih aman kan?" sambungnya sembari melangkah keluar dan menutup pintu kamar.

Masih aman?





Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved

0 komentar :

Post a Comment