03 April 2013

Movie Review: First Love (A Little Thing Called Love) (2010)


Sebenarnya film ini merupakan satu paket bersama You Are the Apple of My Eye, namun sayangnya harus dirilis sehari lebih lama karena berbagai pertimbangan yang cukup aneh yang saya alami. Well, film Thailand adalah film horror, dan itu telah sejak lama menjadi pandangan saya terhadap film dari negeri gajah putih itu. Hal tersebut menjadikan adaptasi saya yang cukup sulit, terlebih First Love (A Little Thing Called Love/Crazy Little Thing Called Love) punya hype yang cukup besar dengan genre rom-com untuk menceritakan kisah coming-of-age yang ia miliki.

Nam (Pimchanok Lerwisetpibol), mungkin adalah gambaran umum dari sosok yang sangat tidak di inginkan para wanita remaja akan terjadi pada mereka. Nam tidak pintar, Nam juga punya penampilan yang sangat jauh dari kata indah. Berada dalam kelompok yang menjadi kaum “minor”, memiliki kulit gelap yang tidak terawat, memakai kacamata bergaya kuno, rambut yang tidak terawat, di tambah dengan kawat gigi yang bukannya memperbaiki nilai dirinya, namun justru sebaliknya. Namun ternyata Nam dipakai oleh cinta sebagai alat untuk sekali lagi menunjukkan kekuatan yang ia miliki kepada anda.

Pria itu adalah Shone (Mario Maurer), kakak kelas Nam, berwajah tampan, sangat populer diantara para siswa wanita. Berbagai upaya dilakukan Nam untuk mendekati Shone, mulai dari mengikuti ekstrakurikuler, mempraktekkan berbagai metode untuk mendapatkan hati pria yang ia dapatkan dari sebuah buku, hingga bekerja keras melakukan hal yang bukan menjadi keahliannya, menjadi seorang Mayoret dadakan atas paksaan ibu Inn (Sudarat Budtporm), guru “favorit” Nam, hingga berupaya untuk menjadi ranking satu di kelas.


Well, jangan mengharapkan sesuatu yang baru, karena apa yang ditawarkan film ini adalah kisah klasik yang sudah menjadi ciri khas dari sebuah cerita yang bertemakan cinta pertama. Premis yang sederhana tadi masih dapat disempitkan lagi, yakni cerita tentang itik buruk rupa yang menjadi indah setelah dewasa. Ya, anda tentu tahu dengan kisah tersebut, dan hal umum tersebut yang coba dikembangkan menjadi lebih luas oleh Puttipong Promsaka Na Sakolnakorn dan Wasin Pokpong. Sayangnya, mereka membentuk cerita yang sebenarnya menurut saya cukup menarik, namun terlalu sederhana, sangat mudah ditebak dengan banyak kekurangan yang tercipta.

Kelemahan utamanya adalah cerita yang satu arah, dimana hanya karakter wanita yang digambarkan terus berupaya untuk mendapatkan hati pria pujaannya, namun disisi lain karakter pria justru tampak terlalu dingin dengan segala misteri yang ia simpan, meskipun saya suka bagaimana mereka membentuk Shone menjadi sosok yang sederhana, tidak glamour sehingga terasa nyata karena sikapnya yang baik dan bersahabat. Namun kelemahan tadi menyebabkan kurang terciptanya gesekan api cinta antara dua karakter utama, tidak terasa feel dari gelora cinta yang mereka miliki, tidak seperti You are the Apple of My Eye meskipun sebenarnya mereka masih dalam kasus yang sama.

Tidak cukup sampai disitu, setelah dibuka dengan manis serta seolah menjanjikan sesuatu yang menarik, film ini justru terasa berantakan di bagian tengah, baru kemudian kembali menjadi menarik sebelum bagian penutup. Datar, bagian tengah film terasa datar, meskipun telah coba menghadirkan pria pujaan lainnya dalam diri Top (Acharanat Ariyaritwikol), serta Sudarat Budtporm yang beberapa kali sanggup menghadirkan tawa. Memang kadar komedi dan permainan emosional yang diberikan terasa cukup berimbang, serta beberapa bagian yang tampak useless masih dapat dimaafkan, namun yang menjadi problem utama adalah cara dua sutradara tadi membentuk semua materi yang ia punya. Terasa sangat berlebihan, di beberapa bagian terlalu berputar-putar padahal point dari pesan yang ia ingin sampaikan sebenarnya dapat dimengerti dengan penyampaian yang simple.

Memang sedikit sulit bagi Puttipong Promsaka Na Sakolnakorn dan Wasin Pokpong untuk berkreasi, mengingat ruang gerak mereka yang tidak begitu luas karena kisah cinta yang mereka angkat berada setingkat lebih muda, sehingga terdapat batasan yang sangat terasa. Namun semua itu tidak dapat dijadikan alasan bagaimana dangkalnya kisah asmara yang mereka bangun, tanpa disertai pendalaman cerita yang mumpuni. Beruntung mereka punya Pimchanok Lerwisetpibol (a little cute called Baifern). Baifern punya tugas yang lebih berat ketimbang Mario, dan ia sukses menjadikan karakter Nam menjadi menarik, dan terasa real (ah, adegan di kolam renang itu sangat menyentuh). Begitupula dengan divisi tata rias yang bekerja dengan sangat baik dengan mengubah Baifern yang manis menjadi sangat buruk rupa.


Overall, First Love (A Little Thing Called Love/Crazy Little Thing Called Love) adalah film yang cukup memuaskan. Memang cukup menghibur, namun film ini rusak mulai dari bagian tengah, dimana ia terasa berantakan dan tidak berkembang. Andai saja komedi yang ia berikan tidak bekerja dengan baik, film ini akan hancur. Ibarat lautan luas, dengan cinta dalam wujud ikan, film ini adalah ikan kecil dimana anda dapat melihatnya ketika ia berenang dipermukaan, namun tidak dapat terlihat ketika ia berenang lebih dalam. Rasa cinta itu memang terasa, namun tidak ada permainan emosional yang keren, terasa standard akibat dari presentasi yang datar. Film ini akan sangat sangat menarik bagi mereka yang lebih terpesona pada dua karakter utamanya, Mario bagi wanita, dan Baifern bagi para pria. 







0 komentar :

Post a Comment