17 March 2013

Movie Review: Sister (L'enfant d'en haut) (2012)

 

Menjadi dewasa sebelum waktunya bukan suatu hal yang aneh namun justru merupakan sebuah kelebihan yang mungkin cukup jarang kita temui. Tapi, sukses atau tidaknya pribadi tersebut untuk dapat bertahan sangat tergantung pada mental dan sikap yang ia miliki, karena sifatnya yang premature dan berada di usia yang belum stabil, dewasa sebelum waktunya punya potensi membawa pribadi tersebut menuju jurang kehancuran dengan berbagai masalah yang mungkin menghampirinya.

Simon (Kacey Mottet Klein), remaja berusia 12 tahun yang jika dilihat dari struktur tubuhnya akan membuat anda tidak percaya dengan apa yang ia lakukan. Tingginya tidak seberapa, tubuhnya juga kurus, namun Simon telah menjadi tulang punggung bagi keluarganya, orang yang mencari uang untuk membeli makanan, minuman, hingga tisu toilet. Cukup tragis, karena Simon kini hidup tanpa bimbingan kedua orang tuanya yang ia sebut telah tewas dalam kecelakaan mobil.

Kini Simon hidup di sebuah apartemen di kawasan kumuh, bersama Louise (Léa Seydoux), kakaknya yang sangat useless, bekerja di malam hari tanpa pernah mau memberitahu Simon jenis pekerjaan yang ia lakukan, dan gemar menghabiskan waktu bersama kekasihnya yang Simon kenal sebagai pria dengan BMW berwarna merah. Akhirnya, Simon terpaksa mencari uang, menaiki bukit menuju sebuah resort ski. Tapi apa yang bisa remaja muda kerjakan di resort ski mewah? Ya, banyak perkerjaan ringan yang tersedia untuk remaja tanpa pengalaman seperti Simon, salah satunya adalah mencuri, seperti sarung tangan, kacamata, papan ski, yang kemudian ia jual kembali.


Lantas apa tujuan utama film ini? Ya, tidak ada main goal dalam konteks konflik cerita yang Ursula Meier usung. Sister, yang dalam bahasa prancisnya berjudul L'enfant d'en haut, adalah sebuah studi karakter yang mencoba mengangkat tema kesenjangan sosial di masyarakat dalam lingkup ekonomi. Cerita yang ia tulis bersama Gilles Taurand dan Antoine Jaccoud ini dengan jelas sudah menggambarkan kesenjangan sosial itu dalam bentuk dua dunia yang menjadi lahan bermain bagi Simon, resort ski dengan segala kemewahan di puncak bukit pegunungan Alpen, sedangkan apartemen yang berantakan di bagian bawahnya.

Kondisi keluarga disfungsional yang film ini pakai justru menjadi fokus utama yang sangat menarik. Seorang kakak yang seharusnya mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin, justru seolah menjadi patung bernyawa yang selalu di berikan nafkah oleh adiknya. Ini cukup emosional, karena setelah merasa tersentuh dengan tindakan serta perjuangan Simon, anda justru akan menemukan sebuah beban pada karakter yang dibalut dengan rasa sakit penuh putus asa. Ya, menjengkelkan ketika menyaksikan anak semuda itu harus mencari uang untuk bertahan hidup bersama seorang kakak perempuannya yang tak berguna.

Sepintas film ini akan tampak layaknya The Kid with a Bike, berkisah tentang perjuangan anak remaja untuk dapat memperoleh kebahagiaan. Sister mungkin sedikit lebih unggul dalam konteks dampak emosional yang ia tinggalkan. Hal tersebut berkat Klein yang sangat mampu menjadikan karakter Simon menjadi hidup, berhasil menarik simpati penonton kepadanya. Di bantu dengan cinematography yang di kemas dengan baik, dua karakter utama seolah menebar sebuah janji akan ada sebuah kejutan yang mereka berikan di film ini. Ya, mereka seperti menyimpan sebuah misteri yang besar dan dalam, yang ternyata memang eksis dan sanggup memberikan kejutan tingkat tinggi sembari menyusupkan rasa hancur kepada penontonnya.


Film ini akan menjadi nikmat jika anda tidak menaruh ekspektasi yang begitu tinggi akan sebuah drama berbalut crime yang dikemas dengan intens dan dalam. Sister justru lebih mengedepankan permainan emosi dengan memanfaatkan hubungan keluarga, yang semakin di pertajam dengan kesenjangan sosial ekonomi. Premisnya yang menarik sukses di eksekusi dengan apik oleh Meier, menampilkan sesuatu yang menjanjikan sejak ia dimulai. Plot yang ia punya memang terkesan klise, namun menjadi menarik karena dikemas dengan cantik tanpa terkesan murahan. Ya, Meier berhasil membuat Simon bermain-main bersama penonton.

Tapi, sebuah start yang manis dan terus di bangun dengan penuh pertanyaan, justru rusak ketika semua telah ia ungkap. Setelah anda tahu yang sebenarnya, film ini tidak lagi menyisakan misteri yang menarik. Hal tersebut tampak sangat jelas pada cara ia mengakhiri semuanya, seolah bingung sehingga apa yang ia berikan tidak menciptakan klimaks yang memukau. Mungkin Meier punya maksud tersendiri pada cara yang ia pilih, namun saya seolah merasa ada bagian yang tertinggal, bagian yang seharusnya dapat manjadi jembatan terakhir penghubung cerita menuju garis akhir.

Ini film yang indah, karena setiap elemen yang ia miliki mampu memberikan kombinasi yang sangat cantik. Anda dapat merasakan atmosfir gelap yang ia tampilkan, rasa sedih yang menghancurkan, dan kekuatan yang miliki rasa cinta melalui hubungan kakak dan adik. Semua berkat setting yang telah disusun oleh Meier, baik lewat keluarga disfungsional dan juga kesenjangan sosial. Hal tersebut membantu dua pemeran utamanya, Léa Seydoux dan juga Klein, berhasil membangun chemistry, Klein membuat anda terpukau dan simpati, dan berkat Klein pula pekerjaan dari Léa Seydoux menjadi lebih mudah karena posisinya sebagai objek sumber dari semua masalah.


Overall, Sister (L'enfant d'en haut) adalah film yang memuaskan. Kembali saya ulang, ini adalah film yang indah, sangat menyenangkan meskipun ia mengajak anda kedalam sebuah proses yang di kelilingi atmosfir gelap dari konflik utama. Memang terasa seperti ada satu bagian cerita yang kurang di bagian akhir, sehingga penutup yang ia berikan kurang memberikan klimaks meskipun semua pesannya tersampaikan dengan memukau. Ya, dapat dimaafkan, karena permainan emosi yang ia tampilkan sebelumnya punya kadar hipnotis yang mumpuni.


0 komentar :

Post a Comment