08 March 2013

Movie Review: Oz the Great and Powerful (2013)


Tiga bulan pertama di tahun 2013 ini anda akan menemukan tiga film yang diangkat dari dongeng yang telah terkenal. Hansel & Gretel: Witch Hunters mengawalinya di bulan januari, kemudian disusul Jack the Giant Slayer yang hadir di awal bulan maret, dan kini dilanjutkan oleh Oz: the Great and Powerful. Terlepas dari tujuan utama mereka yang mungkin saja berbeda-beda, menciptakan sebuah saga baru demi menciptakan lahan baru untuk meraup keuntungan besar pasti selalu menjadi pertimbangan utama. Berhasilkah itu dilakukan oleh Oz?

Oscar Zoroaster Phadrig Isaac Norman Henkel Emmannuel Ambroise Diggs, atau yang lebih akrab dipanggil Oz (James Franco), sebut saja dia seorang magician ketimbang melabelinya sebagai penyihir, tetap gigih membangun usahanya dengan menggelar pertunjukkan keliling meskipun ia terus diangap sebagai seorang penipu. Tapi faktanya memang begitu, Oz hanya memiliki trik untuk melakukan apa yang kita sebut sulap, bukan penyihir yang memang memiliki kekuatan gaib. Hal tersebut pula yang menyebabkan ia dihampiri masalah yang menyerang camp pertunjukkan miliknya, dan semakin naas lagi ketika sebuah tornado dahsyat menyerang, membawa Oz yang saat itu berusaha kabur menggunakan sebuah balon udara.

Hasilnya, Oz terdampar ke Land of Oz, sebuah negeri pernuh warna yang justru ketika itu sedang dibawah kekuasaan Ratu penyihir jahat. Ia bertemu Theodora (Mila Kunis), yang percaya bahwa Oz adalah penyelamat yang dikirimkan dari langit karena memilki nama yang sama dengan negeri tersebut. Theodora, bersama kakaknya Evanora (Rachel Weisz), beserta seluruh rakyat Land of Oz, menyambut kedatangan Oz dan mulai percaya bahwa negeri mereka dapat bebas. Namun ternyata semua berubah karena Glinda (Michelle Williams), seorang penyihir wanita yang baik, dengan sebuah fakta yang bertolak belakang dengan cerita dari Evanora dan Theodora.


Masih sama dengan dua kompatriotnya yang telah terlebih dahulu hadir, Oz: the Great and Powerful masih mempertahankan ciri khas sebuah film fairytale, premis yang simple dan mudah dimengerti (premis diatas sebenarnya simple, mungkin saya yang terlalu berlebihan dalam menceritakannya), dibungkus dengan permainan visual yang mampu menghibur imajinasi penontonnya. Sepintas memang terkesan murahan dan dangkal, karena pada umumnya premis simple yang mereka usung akan menjadi tampak bodoh bagi beberapa orang karena menawarkan hal-hal yang terlalu berlebihan.

Ya, ini dongeng, dan anda harus siap dengan segala hal bodoh yang bahkan dapat dengan mudah dapat anda tolak karena bertentangan dengan logika anda. Terasa kurang bijak dan terkesan lucu jika anda mengharapkan sesuatu yang lebih serius dari sebuah fairytale, mengharapkan ia mengaduk-aduk anda dengan permainan unsur horror dan thriller yang cerdas? Ya, anda yang kurang cerdas. Oz the Great and Powerful  memiliki tipe yang sama dengan Jack the Giant Slayer , ingin membawa penontonnya bersenang-senang tanpa beban yang berat.

Diadaptasi dari novel karya L. Frank Baum, film ini seperti berupaya untuk menghidupkan kembali apa yang telah dilakukan pendahulunya lebih dari 70 tahun yang lalu. Saya tidak menyaksikan filmnya yang rilis tahun 1939, saya juga tidak membaca novelnya, namun dari cara Sam Raimi membuka petualangan ini dapat dengan mudah untuk menerka hal tadi. Unik, Raimi menghadirkan layar rasio 4:3 berwarna hitam dan putih yang berhasil membuat saya bertanya, “dimana semua permainan penuh warna itu?”. Ya, itu berlangsung selama kurang lebih 20 menit, berhasil sedikit membuat frustasi, tapi setelah itu semuanya keindahan yang telah ia simpan itu dihadirkan.


Sejujurnya bagi saya Oz: the Great and Powerful adalah film fantasi yang pure mengandalkan tampilan visual untuk menghibur penontonnya. Benar, screenplay yang disusun oleh David Lindsay-Abaire dan Mitchell Kapner sangat jatuh nilainya dimata saya. Memang, seperti yang saya bahas tadi anda harus siap menerima hal-hal bodoh, dan film ini masih berada dalam batas toleransi. Tapi celakanya susunan cerita yang ia miliki tidak mampu mengundang rasa penasaran, dimana soul yang dimiliki film ini tidak mampu untuk muncul dengan gagah kepermukaan. Jika Jack the Giant Slayer mampu membuat saya ikut berfantasi melalui ceritanya, Oz tidak mampu melakukan itu.

Raimi memang mampu menghandle elemen-elemen teknis yang memberikan rasa puas. Kualitas visual dengan warna yang impresif, kostum yang indah, cinematography yang mumpuni, CGI yang cukup apik, dibalut rapi dengan kualitas 3D yang fantastis, semakin menambah nilai plus, harus rela upaya mereka terasa kurang berguna karena faktor non-teknis yang kurang begitu padu. Tempo naik dan turun yang ia terapkan kurang begitu berhasil bagi saya, yang bahkan sempat beberapa kali memejamkan mata karena merasa bosan. Durasinya terlalu lama karena dibumbui adegan-adegan kurang berguna yang cenderung terasa klise.

Yang paling mengecewakan berasal dari jajaran cast miliknya. Oz the Great and Powerful adalah milik James Franco. Franco memang mampu menunjukkan kepada anda ciri khas dari karakternya yang penuh tipu daya serta sedikit angkuh dan sombong dibalik kemampuannya yang tidak istimewa itu terasa sangat sangat pure. LOL. Senyum cheesy milik Franco oke, begitupula ketika ia memanfaatkan Finley (Zach Braff), monyet bersayap yang kemudian menjadi assisten-nya, sebagai objek penderita dengan segala joke yang ia lemparkan. Yang tidak ia miliki adalah daya tarik. Saya justru lebih tertarik pada tiga karakter pendukung.

Nah, disini kekecewaan itu semakin menumpuk. Terlalu fokus pada James Franco, Raimi justru tampak menjadikan kualitas dari tiga pemeran wanita pendukung (yang bahkan menurut saya masih lebih baik dari pemeran utamanya) yang ia punya terbuang percuma. Peran mereka pada cerita memang besar, namun terasa dibatasi dan tidak digali lebih dalam oleh Raimi. Kecewa memang, karena daya tarik utama film ini bagi saya adalah dua aktris favorit saya, Rachel Weisz dan Michelle Williams. Chemistry tiga wanita ini terasa kaku tanpa kehadiran Oz. Ya, mungkin ia takut jika nantinya karakter Oz justru akan tenggelam jika ia mencoba memberikan porsi cerita yang sedikit lebih besar kepada tiga pemeran pendukungnya.


Overall, Oz the Great and Powerful adalah film yang cukup memuaskan. Ya, bolehlah sebagai hiburan untuk sekedar menghabiskan waktu sambil menyantap popcorn dan segelas cola. Film ini ibarat sebuah pesta penuh warna yang ingin memanjakan mata para penontonnya sembari berupaya mengajak mereka ikut berfantasi bersama dongeng yang sudah sangat tua ini. Sangat menarik dari segi visual ($200 juta itu tidak sia-sia), sayang kurang diimbangi dengan cara ia menyampaikan cerita sehingga tidak mampu membuat saya ikut berfantasi lebih jauh bersamanya. Sebagai sebuah pondasi awal bagi film keduanya, Oz the Great and Powerful cukup berhasil memperkenalkan Oz kepada penontonnya, ya hanya memperkenalkan, karena jika tanpa bantuan tampilan visualnya film ini terasa datar. 


2 comments :

  1. James Franco was wonderful and subtle as the flawed Professor Oz. The story (and I am a HUGE Wizard of Oz fan) was great back story to the story we all know by heart. The visual effects and costumes were just right. Very entertaining. :)

    ReplyDelete
  2. @Daniel Benny Simanjuntak: Tiga wanita pendukung menjadikan Franco terasa biasa bagi saya. Sama halnya dengan screenplay, kurang punya unsur magic yang justru lebih banyak diberikan sektor visual. :)

    ReplyDelete