29 March 2013

Movie Review: The Host (2013)


Menjadi sebuah sejarah sebagai salah satu film yang berada di daftar black list saya tidak serta merta menunjukkan bahwa saya juga tidak menyukai novelnya. Twilight saga mengalami nasib tersebut, namun tidak dengan novelnya yang cukup enjoyable itu. Seolah tidak ingin kehilangan momentum, Stephenie Meyer langsung meluncurkan film berikutnya yang ia adaptasi dari novel dengan judul yang sama, The Host, novel yang katanya juga mendapatkan respon cukup baik dan tidak kalah dari Twilight, novel yang bisa jadi menjadi pembuka dari sebuah series baru dari Stephenie Meyer.

Masih dengan genre yang menjadi kegemarannya, fantasy, kali ini Meyer menghadirkan kasus utama lewat sebuah alien parasit yang bernama “Souls”, parasit yang mulai merasuki pikiran manusia ketika alien mulai menginvansi bumi. Mungkin dari luar mereka tampak seperti biasa, namun parasit yang dimasukkan lewat luka yang sengaja diciptakan itu akan menjadikan jiwa anda yang nyata tidak dapat lagi mengendalikan tubuh anda, yang fungsinya diambil alih oleh parasit tersebut. Satu tubuh, dua jiwa.

Salah satu korbannya adalah Melanie Stryder (Saoirse Ronan), yang tubuhnya diambil alih oleh parasit yang menyebut dirinya Wanderer/Wanda. Namun tidak seperti korban lainnya, meskipun ia telah terjebak dalam pikiran Wanda, Melanie ternyata memiliki power yang cukup kuat sehingga mampu menjadikan Wanda goyah dan mulai mengingat kembali ingatannya yang telah di invansi, dari adiknya Jamie Stryder (Chandler Canterbury), hingga pacarnya Jared Howe (Max Irons), dan memutuskan untuk kabur, meskipun harus mempertaruhkan nyawa dari kejaran The Seeker (Diane Kruger) dan pasukannya.


Segera buang jauh-jauh ekpektasi awal anda yang mengharapkan akan mendapatkan sebuah film romance yang berbalut action dengan sentuhan sci-fi yang tinggi. Ya, lupakan, karena ini adalah proyek dari Stephenie Meyer. Sangat keterlaluan jika anda tidak tahu siapa itu Stephenie Meyer, namun justru sangat memuja si vampire yang berkilau, manusia serigala dengan otot yang wow, hingga wanita biasa yang selalu berwajah sendu penuh rasa kasihan. Oke, jika anda telah tahu, anda juga harus mengerti bagaimana “cara” ia berekpresi dengan semua fantasi yang ia miliki, mellow, mellow, dan mellow.

Tidak seperti Twilight, dimana saya membaca novelnya terlebih dahulu, baru kemudian menyaksikan filmnya yang pertama, kasus berbeda terjadi pada The Host. Meskipun cukup menikmati waktu yang saya habiskan dari lembar pertama Twilight, hingga lembar terakhir Breaking Dawn, saya tidak memiliki keinginan untuk mencoba novel berikutnya dari Stephenie Meyer. Alasannya simple, saya sudah jenuh ikut berfantasi bersama Meyer. Lantas apakah The Host seolah menjadi lembaran baru yang mencoba untuk mengajak para fans twilight untuk masuk kedalam sebuah saga baru? Tidak.

Ya ya, memang masih sama, penuh dialog dan adegan klise yang mencoba untuk menunjukkan kepada penontonnya rasa cinta dari tiap karakter. Tapi, saya juga cukup terkejut ketika perlahan film ini mulai meninggalkan garis awalnya. Benar, tidak sampai hancur, seburuk, dan separah film vampire tersebut. Oke, pertama maaf jika ada diantara anda terganggu dengan banyaknya kata “Twilight” pada review kali ini, dan kuantitas dari saya membandingkannya dengan “film tersebut”. Sangat sulit untuk tidak menyinggung film tersebut karena ia punya kontraktor yang sama, begitupula dengan pattern yang cukup identik, fantasi menggunakan karakter supranatural, dan juga kisah cinta segitiga antar karakter.


Aneh, dia punya banyak adegan klise yang dibentuk sebagai kemasan yang mudah diterima target utama mereka, kaum remaja, dia juga punya beberapa kekurangan dan komposisi cerita yang terasa di gantung sejak awal hingga akhir, namun ia juga mampu menjadikan penontonnya untuk tetap fokus bersama karakter utamanya. Ya, ini adalah tentang Wanda, punya beberapa sub-plot namun selalu diarahkan kembali kepada Wanda. Ini yang saya suka, meskipun ia tetap menghadirkan kisah romance yang klise dan kurang menyentuh itu, tapi disisi lain Andrew Niccol tahu cara agar film ini tidak tampil terlalu konyol layaknya “film tersebut”. Porsi romance yang diberikan dalam kapasitas tepat (meskipun terkesan berlebihan dalam teknik penyampaian), justru menjadikan fokus lebih tertuju pada karakter Wanda, membuat kisah yang dialami Wanda menjadi menarik, dari apa, bagaimana, hingga siapa.

Lantas apakah film ini tidak memiliki banyak kekurangan? Nay, justru sangat banyak. Nilai minus terbesar hadir lewat kesempatan yang diberikan Niccol dengan menyediakan banyak ruang bagi penontonnya untuk semakin dekat dengan karakter, yang juga berupaya menjadikan karakter tersebut semakin kuat berkat waktu yang diberikan sebagai proses pendalaman. Terlalu banyak bagian yang tidak penting, seolah dihadirkan sebagai hiburan untuk membuat para remaja merasa fluttered dan berkata “oh, so sweet”. Pasti ada yang berhasil, namun ternyata tidak sedikit pula dari mereka yang kesal.

Nilai minus terbesar yang kedua, bukan terletak pada cerita yang seolah melayang-layang tanpa punya destinasi yang jelas, namun berasal dari pace cerita yang terasa sangat sangat lambat, terkesan ingin bermain-main dengan banyak scene yang justru punya tujuan yang sama, dan terlena sehingga lupa memberikan momen kejut yang berkesan. Warning, dia punya durasi 125 menit, dua jam lebih lima menit, yang mungkin akan terasa sangat mengesalkan dan muak pada mereka yang tidak siap, bahkan pada mereka yang sejak awal telah mengharapkan film sci-fi yang keren, mereka yang menjadi korban dari trailer. 

Hal terbaik yang dimiliki film ini, jelas, tanpa rasa ragu, Saoirse Ronan. Atonement, City of Ember, The Lovely Bones, The Way Back, hingga Hanna, memang hanya dua di antaranya yang saya cintai, namun sisanya tetap menjadi sebuah guilty pleasure. Hal tersebut terulang pada The Host (meskipun dengan intensitas yang sangat kecil), dimana letak keberhasilan utama Ronan berada pada cara ia menjadikan karakter Wanda yang punya potensi besar gagal untuk tampil menarik, namun sukses menjadikan saya tetap menaruh perhatian dan fokus padanya.


Overall, The Host adalah film yang kurang memuaskan. Ya, memang banyak nilai positif yang saya bahas, namun itu hanya sebagai ungkapan rasa bahagia saya ketika menemukan fakta bahwa film ini ternyata tidak selevel dengan Twiligth saga. Jika di kalkulasikan, nilai akhir yang didapat film ini tetap berada di kategori abu-abu, semua berasal pada begitu banyaknya adegan tidak penting yang dijalankan dengan pace yang lambat. Ia semakin tidak tertolong karena intensitas momen membosankan yang begitu banyak, meskipun fokus cerita tetap terjaga dengan destinasi yang terus menjadi misteri. At least The Host punya satu lagi keberhasilan, menjadikan saya berniat untuk membaca novelnya, dan bersiap menantikan sekuel yang dikatakan oleh Meyer punya potensi untuk hadir.


3 comments :

  1. "The Host, novel yang katanya juga mendapatkan respon cukup baik"

    Orang yang bilang pasti bohong. Buku ini itu menang Delete Key Award as The Worst Book of 2009. Google aja, saya nggak bohong kok...

    ReplyDelete
  2. @Shinta Devi: Acuan saya dalam penggunaan kalimat tersebut adalah page dari novel The Host di amazon(dot)com, bukan dari jumlah award yang ia peroleh. Disana terdapat lebih dari 2500 penilaian subjektif yang menilai novel tersebut baik. Terima kasih sudah berkunjung btw. :)

    ReplyDelete
  3. Review anda buruk. Bertele tele dan serabutan kesana kesini. Dari bagian awal sampai tengah orang yang baca review anda akan bingung sebenarnya anda mau membahas apa.

    ReplyDelete