04 March 2013

Movie Review: Electrick Children (2012)


Seorang wanita muda, tidak pernah melakukan hubungan seks, secara tiba-tiba membuat sebuah pernyataan mengejutkan, ia hamil karena Rock n’ Roll!! LOL, itu jelas salah satu premis paling konyol yang pernah saya baca. Namun tidak dapat di pungkiri jika pertanyaan yang film ini coba lempar kepada penontonnya akan menjadikan anda bertanya, “hal apa yang ingin disampaikan film ini?”, hamil karena mendengarkan music dari sebuah tape recorder, bahkan sampai menjuluki Electrick Children tersebut sebagai Son of God.

Rachel (Julia Garner), berasal dari keluarga Mormon yang sangat fundamental, di usianya yang ke-15 tahun menemukan sebuah kaset berwarna biru berisikan musik rock yang belum pernah ia dengar di lingkungan keluarganya yang sangat fanatik terhadap agama. Kaset itu  ternyata memberikan sebuah pengalaman baru baginya. Namun celakanya hal tersebut justru membawa ia ke sebuah pernyataan menggemparkan, dimana ia mengatakan bahwa ia telah hamil karena mendengarkan musik dari kaset tersebut.

Berawal dari rasa ingin tahunya pada alat tape recorder yang berada dibawah kendali abangnya Mr. Will (Liam Aiken), pada malam hari Rachel menyelinap kedalam gudang, tempat tape recorder itu disimpan. Namun ia tertangkap basah oleh Will, yang kemudian memaksanya untuk mengembalikan kaset tersebut. Tapi celakanya perdebatan mereka justru dinilai berbeda oleh Gay Lynn (Cynthia Watros), ibu mereka, dan ketika pernyataan dari Rachel itu muncul, Will secara otomatis dianggap sebagai tersangka oleh Paul (Billy Zane), ayah mereka, yang langsung menyusun rencana pernikahan bagi Rachel dengan orang lain. Tekanan itu membuat Rachel memutuskan untuk kabur, menuju Las Vegas untuk menemukan penyanyi dalam kaset tersebut, yang dia sebut sebagai ayah dari anak yang ia kandung. 


Rebecca Thomas memberikan sebuah paket hiburan yang cukup mengejutkan di debutnya sebagai sutradara. Wanita muda ini pintar dalam mengolah cerita yang ia susun sendiri itu dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki setiap elemen cerita. Ia punya premis yang kontroversial, ia juga punya pesan yang mungkin tidak kalah kontroversial, tapi Electrick Children justru menjadikan penontonnya untuk ikut merasakan apa yang kita sebut kebebasan, dengan cara meruntuhkan hal-hal kuno yang mungkin sangat memuakkan bagi beberapa orang.

Ya, ini bukan fim yang dapat diterima oleh semua orang. Jika anda adalah seorang yang fanatic terhadap semua aturan alam yang telah tercipta, termasuk didalamnya adalah agama, maka Electrick Children akan menjadi paket konyol bagi anda. Rebecca Thomas tidak menaruh target pada kalangan tersebut, karena apa yang ia ingin berikan di 96 menit kehadiran film ini adalah sebuah kenikmatan bagi anda yang memiliki pola pikir terbuka, mau menerima hal-hal baru tanpa tersiksa pada jeratan semua aturan yang diciptakan para pendahulu yang justru menjadikan anda seorang fanatic yang tertutup.

Electrick Children  adalah film yang unik. Disamping premis konyol yang ia punya, Rebecca Thomas justru menjadikan film ini sebagai bentuk protes kepada semua hal-hal kuno yang mulai terasa ketinggalan jaman, dan mengajak anda semakin terbuka dengan menawarkan sebuah konsep yang sebenarnya cukup mengganggu dengan sentilan manis dari tema kecil seperti agama, hingga kultur sosial. Ya, ini mengapa tadi saya mengatakan kaum fanatik sulit untuk menerima film ini karena meskipun disuntikkan secara tersirat dan lembut, pesan yang ia ingin sampaikan justru mungkin akan terasa berat. 


Rebecca Thomas tampak sangat memahami bagaimana cara membentuk serta mengeksploitasi kondisi pada cerita, mengkombinasi  beberapa plot misterius yang cukup menjengkelkan, tapi tetap memberikan output yang memiliki pesona menarik. Thomas juga dapat dikatakan  memiliki tingkat keberanian yang layak diacungi jempol, menggunakan proses coming-of-age yang belum stabil untuk mendorong sebuah premis misterius yang jika dicermati seolah menjadi sebuah pertanyaan pada apa yang Tuhan kerjakan kepada umatnya.

Diawal film ini membuat anda menilai ia konyol, namun kemudian mengejutkan dengan banyak plot-plot kontroversial. Tapi, Electrick Children justru mampu membuat pertanyaan utama yang ia usung tidak menjadi beban bagi penontonnya. Sangat tenang, pelan namun pasti semua coba ia uraikan tanpa mengurangi rasa penasaran. Menempatkan Rachel sebagai narator juga menjadi sebuah keputusan brilliant, karena selain mampu menggambarkan kondisi yang tercipta, Rachel juga sukses membuat saya terpaku, dan merasa melangkah lebih jauh dan lebih dalam bersamanya.

Saya tidak menemukan sebuah jawaban kuat yang dihasilkan film ini (mungkin saya kurang teliti), karena pesan yang ia ingin sampaikan secara merata ia sebar pada proses ketika ia menuju garis akhir. Cukup sulit untuk menemukan pesan kecil tersebut, karena ia sukses menjadikan fokus anda tertuju pada  karakter Rachel sehingga pertanyaan-pertanyaan skala kecil yang ia lemparkan ke penonton kurang mampu untuk mencuri perhatian. Nah, kembali, Rebecca Thomas cermat dalam hal ini.

Setelah sempat mencuri perhatian di Martha Marcy May Marlene, Julia Garner membuktikan ia layak mendapatkan kesempatan menjadi pemeran utama dengan karakternya Rachel. Diawal ia tampak konyol, namun rasa percaya diri yang tinggi tidak pernah sirna darinya. Perjuangan yang ia bangun sebagai sebuah pembuktian juga terbentuk dengan rapi. Garner sukses menjadi bintang utama di film ini. Kemudian ada Rory Culkin, yang berperan sebagai Clyde, kenalan baru Rachel, mampu sedikit mengimbangi Garner dengan chemistry menarik diantara keduanya meskipun tidak begitu kuat. Liam Aiken dan Billy Zane mampu menjadi scene stealer di beberapa bagian, namun sayang harus tertutupi porsi kecil yang mereka miliki.


Overall, Electrick Children adalah film yang memuaskan. Bukan film yang megah, namun Rebecca Thomas sukses menghadirkan hiburan bagi anda yang mampu berpikiran terbuka terhadap hal-hal baru. Electrick Children seperti sebuah paket yang sengaja membuat calon penonton menganggapnya konyol dan bodoh, namun kemudian menghentak mereka dengan memutar balikkan semua persepsi buruk tadi. Visualnya indah, musiknya asik, tapi yang paling memorable adalah keunikan pada cara ia menyampaikan pesannya, dan juga menuntun anda ke garis akhir. 


0 komentar :

Post a Comment