16 February 2013

Movie Review: The Master (2012)


Karya terbaru dari Paul Thomas Anderson ini sebenarnya adalah salah satu film yang saya paling nantikan tahun lalu. Mengakhiri istirahatnya sepanjang setengah dekade dengan mengangkat plot cerita yang cukup provokatif, Anderson akan kembali menunjukkan kepada anda alasan kenapa film-filmnya selalu dinantikan oleh banyak pecinta film.

Kali ini Anderson menggunakan karakter seorang pria veteran bernama Freddie Quell (Joaquin Phoenix) yang pasca perang dunia II mengalami trauma yang sangat dalam. Stress disorder kelas berat, doyan mabuk, serta obsesi terhadap seks yang dapat dengan mudah membakar pikirannya, membawa kehidupan Freddie kedalam jurang kegelapan akibat tingkah lakunya yang dapat dengan mudah berubah sehingga menimbulkan masalah dengan orang sekitarnya. Namun hal tersebut justru menuntun Freddie kedalam kehidupan baru.

Dengan penuh kepercayaan diri masuk kedalam kapal yang bahkan ia tidak tahu siapa pemiliknya, Freddie akhirnya berlayar menyeberangi lautan Atlantik menuju New York. Lancaster Dodd (Philip Seymour Hoffman), pemilik kapal yang juga merupakan seorang master dan pemimpin sebuah perkumpulan filsafat bernama “The Cause”, yang saat itu mencoba untuk menyebarkan sebuah “agama baru”, anehnya justru menerima kehadiran Freddie akibat sebuah alasan yang konyol. Bersama istrinya, Peggy Dodd (Amy Adams) dan keluarganya, Lancaster Dodd mencoba menuntun pria gila bernama Freddie itu menuju kehidupan yang lebih baik dengan teori yang mereka miliki, time travel hypnosis therapy.


The Master secara mengejutkan menampilkan 144 menit cerita yang tidak semegah ekspektasi awal saya (ya, mungkin ekspektasi saya yang sangat tinggi). Premis sempit yang ia sajikan diawal tidak mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tapi dia adalah Paul Thomas Anderson, yang mampu mengolah premis yang sempit itu untuk menjerat anda sejak awal. Sebuah studi karakter dalam durasi yang panjang punya potensi untuk perlahan mulai kehilangan atensi dari penontonnya, tapi tidak untuk The Master.

The Master memang mampu mengeksplorasi dengan cermat cerita yang ia miliki melalui cinematography yang indah, serta score yang mampu terus membantu membangun cerita. Tapi kunci utama kesuksesan film ini adalah screenplay yang ia miliki. Anderson akan menjadikan anda untuk terus menanti sembari bertanya kemana cerita itu akan berjalan. Karakteristik unik yang dimiliki oleh setiap karakter mampu menarik saya untuk merasa nyaman berjalan bersama mereka. Ya, aneh, karena dengan konflik utama yang provokatif, karakter utama yang dapat dikatakan “kurang normal”, film ini justru menciptakan sebuah ruang bebas dan “terang” bagi penontonnya.

Ya, terang. Anda tidak perlu merasa cemas yang berlebihan untuk menyaksikan film ini. The Master bahkan sedikitpun tidak memiliki power yang cukup kuat untuk melakukan brainwash seperti yang mungkin dicemaskan oleh beberapa orang. Konflik tersebut hanya digunakan sebagai jalan bagi film ini, karena tujuan utama yang film ini emban adalah untuk menunjukkan kepada anda sebuah proses dari transformasi seorang pecandu seks yang sangat akut menjadi pribadi yang lebih baik berkat bantuan orang disekitarnya.

Saya sangat suka pada cara Anderson membentuk The Master menjadi sebuah studi karakter yang sangat kuat. Anderson memberikan fokus yang sangat besar kepada tokoh utama yang ia miliki, sehingga meskipun beberapa konflik kecil ia selipkan akan tetapi tidak berdampak dari berkurangnya daya tarik saya kepada karakter utamanya. Ruang cerita yang tidak begitu luas itu ternyata mampu tampil impresif berkat bantuan dari kualitas akting yang diberikan oleh cast utamanya. Dipenuhi dengan dialog-dialog yang cukup berat, dijalankan dengan pelan dan penuh kesabaran, anda akan merasakan dengan jelas sebuah proses yang dibangun oleh  Anderson. Dan itu semua terbantu berkat kinerja yang sangat apik dari Joaquin Phoenix dan Philip Seymour Hoffman, yang tampak kompak saling mengisi, dan juga Amy Adams yang dengan tanggung jawab kecil yang ia miliki justru tetap mampu menusuk kedalam cerita.

Yep, ini adalah film yang segmented, dan mungkin akan sulit untuk meraih hati beberapa kalangan penikmat film. Hal tersebut dikarenakan The Master tidak punya “bumbu penyedap” yang setidaknya mampu untuk memberikan sedikit variasi warna. The Master sangat fokus pada satu cerita, dan cenderung akan membosankan bagi beberapa orang. Selain itu ia memang sangat menuntut anda untuk berjalan jauh lebih dalam bersamanya secara total, jika anda ingin mendapatkan klimaks dari semua pesan yang ia bangun sejak awal.


Overall, The Master adalah film yang memuaskan. The Master punya premis yang kontroversial namun menarik, mampu menyampaikan premis tersebut dengan cara yang memikat, punya cast utama dengan power yang sangat kuat, menuntut anda untuk sabar dan secara penuh berjalan bersamanya, karena diakhir cerita ada sebuah klimaks emosional yang sangat indah jika anda memenuhi apa yang ia minta sebelumnya. Semua proses yang dijalani dengan penuh keyakinan dan disertai kerja keras yang total selalu akan membawa anda kepada sebuah akhir yang menyenangkan.


0 komentar :

Post a Comment