14 December 2012

Movie Review: The Hobbit: An Unexpected Journey (2012)


Setelah tertidur hampir 9 tahun sejak terakhir kali ia muncul, akhirnya para hobbit itu kembali. Meraih 11 piala Oscar di film terakhirnya, menjadikan beban yang diemban The Hobbit sangat besar. Ini adalah prekuel dari The Lord of the Rings trilogy, kembali ke 60 tahun sebelum LOTR, dimana Bilbo Baggins (Martin Freeman) didatangi oleh Gandalf (Ian McKellen), dan diminta bergabung bersama 13 kurcaci lainnya untuk merebut kembali harta karun yang diambil oleh Smaug sang naga.

Semua bermula ketika Thorin Oakenshield (Richard Armitage) ingin merebut kembali kerajaan ayahnya yang jatuh ke dalam kekuasaan Smaug, sebuah perperangan dimana ia melihat Ayahnya Raja Thrór, dibunuh oleh Azog. Ya, sebuah misi yang berat karena Thorin kini hanya memiliki pasukan dalam wujud fisik yang kecil dan mungil. Oleh karena itu Gandalf merekrut Bilbo, dan memberikan tugas sebagai pencuri karena fisiknya yang lebih kecil dan geraknya yang lincah.

Ya, saya rasa penjelasan diatas sudah cukup untuk menggambarkan inti dari cerita yang dimiliki oleh The Hobbit, sebuah misi balas dendam. Sangat menarik memang, ketika diawal saya mengetahui bahwa Peter Jackson mengajak saya untuk mundur 60 tahun sebelum LOTR, diawali dengan ketika Bilbo yang sudah berusia 111 tahun menuliskan kisahnya dimasa lalu, dan menjaga agar tidak terlihat oleh keponakannya Frodo (ya, Elijah Wood Cuma hadir sebentar, namun mampu membuat wanita disamping saya histeris). Setelah itu anda akan langsung mundur 60 tahun, dan hadir Bilbo muda yang kaget ketika didatangi Gandalf.


Seperti judulnya, sebuah perjalanan yang tak terduga, Bilbo tidak pernah menduga akan didatangi oleh Gandalf, yang bahkan pada saat itu tidak ia kenal. Ini adalah bagian paling menarik kedua dari film ini, dimana Bilbo yang tidak tahu apa-apa, diserang oleh kurcaci-kurcaci yang bertamu kerumahnya, makan dan mengadakan pesta seenaknya tanpa permisi. Ya, disini mereka menyusun rencana, dan menjadi awal dari bergabungnya Bilbo kedalam kelompok mereka. Anda akan menemukan banyak momen lucu dibagian ini.

Sayangnya, setelah dibuka dengan menarik, dan seperti menjanjikan sesuatu yang besar akan datang, The Hobbit justru perlahan mulai kehilangan daya tariknya dari segi cerita. Lolos dari ancaman Troll di hutan belantara, bertemu Radagast the Brown (Sylvester McCoy), secara tidak sengaja terdampar di Rivendell dan bertemu Elrond (Hugo Weaving), Galadriel (Cate Blanchett), dan Saruman the White (Christopher Lee), dan akhirnya memutuskan kabur secara rahasia kedalam pegunungan berkabut, dan bertemu Bolg, anak dari Azog.

Untuk meraih Gunung Sunyi yang merupakan tujuan utama mereka, Bilbo dan para kurcaci harus melewati hal-hal yang saya sebutkan diatas tadi. Terlihat menarik bukan? Sayangnya itu tidak terjadi. Anda akan menemukan tensi yang naik dan turun dari film ini. Ketika mereka naik, saya akui memang sangat menarik, dibantu efek visual yang lagi-lagi masih memukau, dan juga score yang terus bergema, suasana mencekam yang dialami karakter berhasil divisualisasikan dengan baik. Sayangnya itu tidak terjadi ketika tensi cerita turun. Banyak bagian dimana tensi mulai sedikit turun, dan secara tiba-tiba saya kehilangan ketertarikan pada cerita. Ya, terlalu berputar-putar, dan mungkin terasa terlalu lama, dimana pesan dari setiap bagian dapat disampaikan dengan lebih singkat dan efektif.
   

Memang, ini adalah hidangan pembuka bagi dua film berikutnya, dan niat dari Peter Jackson jelas sudah benar, membangun pondasi yang kuat untuk bangunan yang akan ia ciptakan dua tahun selanjutnya. Tapi mungkin setelah 9 tahun tertidur, Peter Jackson ingin kembali mengingatkan anda kepada LOTR, pondasi utama film The Hobbit, dengan tampilan visual yang mengesankan. Hal tersebut bekerja dengan baik, mampu menciptakan penggambaran yang asyik ketika para kurcaci mulai bertarung dan kabur dari musuh. Namun, sepertinya saking asyiknya Peter Jackson seperti sedikit mengesampingkan kualitas dari cara ia menyampaikan cerita yang film ini miliki, seolah-olah seperti anda cukup tahu ceritanya seperti ini, dan mari bersenang-bersenang dengan gambar indah di layar.

“Hey, ini adalah bagian pembuka dari sebuah prekuel, mari maafkan beberapa kesalahan yang ia buat!” Ya ya, hal ini memang sudah sering dialami oleh mayoritas film yang bertugas sebagai pembuka sebuah trilogy. Apakah kekurangan yang dimiliki film ini dapat dimaafkan? Ya, sedikit, dengan pertimbangan ia baru bangkit kembali setelah menghilang selama hampir satu dekade. Namun, sebuah rasa kecewa jelas tidak bisa saya tutupi, karena The Hobbit merupakan bagian baru yang terpisah dari LOTR. Jelas, dan tentu saja ekpektasi awal saya sangat besar, dan apa yang diberikan film ini sungguh mengecewakan.   

Tanpa kehadiran Sean Astin dan singkatnya kemunculan Elijah WoodMartin Freeman berhasil memanfaatkan kesempatan yang ia miliki untuk tampil memikat. Freeman mampu menghadirkan tawa dengan cara memanfaatkan kepolosan yang dimiliki oleh karakternya. Sedangkan Ian McKellen masih tetap di standarnya, tidak begitu memukau, namun juga tidak buruk. Yang paling mencuri perhatian, dan mungkin bagi beberapa orang adalah karakter yang paling ditunggu (termasuk saya) adalah kehadiran Gollum (Andy Serkis). Yay, Gollum masih sangat memikat, berhasil mengundang tawa lewat dialog-dialog konyolnya yang dipengaruhi oleh imajinasinya.


Overall, The Hobbit: An Unexpected Journey adalah film yang cukup memuaskan. Ya, saya kecewa, namun juga dapat memaafkan kekurangan yang tercipta disektor cerita. Peter Jackson mampu mengajak saya untuk bersenang-senang di beberapa bagian dengan tampilan visual yang memikat (meskipun tidak di tiga terbaik tahun ini), dan juga score-nya yang sangat ciamik. Bagi yang memiliki ekpektasi tinggi mungkin akan sedikit tidak puas dari apa yang diberikan film ini, hidangan pembuka dengan sebuah perjalanan tanpa klimaks, memiliki cerita yang kurang mumpuni namun manis di elemen visual efek. 

Score: 7/10






0 komentar :

Post a Comment