21 September 2012

Movie Review: I Wish (Kiseki) (2011)


Apakah anda percaya dengan eksistensi “mantan saudara kandung?” Tidak bagi saya. Sejauh apapun anda terpisah, sekecil apapun kesempatan yang anda miliki untuk berkumpul kembali, dia tetaplah saudara anda. Koichi (Koki Maeda), 12 tahun, tinggal di Kagoshima bersama ibu beserta kakek dan neneknya. Ratusan mil diutara pulau Kyushu, tepatnya di Hakata, Fukuoka, Ryunosuke (Ohshirô Maeda), adik dari Koichi, tinggal bersama ayah mereka, yang berprofesi sebagai pemain band. Koichi mendapatkan info sebuah kereta listrik akan menghubungkan kedua kota tadi, yang kemudian menjadi awal dari proses mewujudkan harapan mereka.

Meskipun terpisah sangat jauh, Koichi dan Ryu tetap saling berkomunikasi via telepon, saling bertanya kabar, membahas abu gunung volcano yang terus keluar, dan tentu saja mimpi mereka untuk bersatu kembali. Koichi mendengar cerita dari temannya, jika anda membuat sebuah keinginan tepat ditengah pulau, pada titik dimana dua kereta saling bertemu, maka keinginan anda akan menjadi kenyataan. Koichi dan Ryu, bersama teman-teman mereka, mulai menyusun rencana untuk bertemu di titik tersebut. Dengan bantuan peta, dan dana yang mereka kumpulkan dengan usaha keras, mereka terus memupuk asa akan hadirnya sebuah keajaiban, ayah dan ibu mereka bersatu kembali.


Hirokazu Kore-eda masih memukau. Gaya yang ia berikan di film Still Walking, film yang memperkenalkan saya kepada  Hirokazu Kore-eda, masih saya temukan di I Wish. Film yang menyenangkan untuk anda ikuti, mengandalkan realisme diposisi terdepan, dibalut dengan nuansa lembut dan natural, semua berpadu untuk menyuntikkan rasa bahagia kepada penonton sepanjang film. Sebuah tantangan untuk film dengan durasi dua jam adalah jika tidak memilki cerita yang kuat, serta tidak dikemas dengan menarik, akan menjadi boomerang yang sangat telak. Hal tersebut tidak terjadi di film ini.

Elemen-elemen yang menjadi ciri khas dari anak-anak dimanfaatkan dengan baik oleh Hirokazu Kore-eda. Impian anak-anak yang selalu memikirkan hal-hal tentang kebahagian mereka, dengan khayalan tingkat tinggi (seperti menikahi penjaga perpustakaan yang jauh lebih tua darinya), selaras dengan kepolosan yang mereka miliki, contohnya Koichi yang berharap gunung meletus, sehingga ia bersama keluarganya dapat pindah dari Kagoshima, dan berkumpul kembali dengan ayah dan adiknya. Semua hal tersebut dieksekusi oleh Hirokazu Kore-eda tanpa terlalu memaksakan setiap karakter dengan begitu keras. Ini menjadikan akting yang diberikan para pemain muda tampak begitu natural, layaknya anak kecil di usia mereka, berkat kebebasan yang diberikan kepada mereka.

Tidak ada batasan yang sangat gamblang dari segi cerita. Diawal anda akan diberitahu bahwa mereka terpisah, dan ingin kembali bertemu. Selanjutnya, anda akan diajak untuk ikut menikmati gelak tawa, serta suka dan duka dari masing-masing karakter, tanpa harus berpikir terlalu keras kemana film ini akan berjalan selanjutnya. Yap, saya secara tiba-tiba merasakan hal tersebut, karena Hirokazu Kore-eda sukses menghipnotis saya bahwa keajaiban itu ada difilm ini, dan mari menikmati sisanya.


Overall, I Wish adalah film yang sangat memuaskan. Semua bagian dari kehidupan anak-anak ada di film ini. Rasa takut, cemas, bahagia, bimbang, kebebasan, kemudahan, serta harapan, semua menjadi satu paket lengkap yang lembut dan natural, karena tidak dipaksa dengan keras oleh Hirokazu Kore-eda. Koki Maeda, dan Ohshirô Maeda, yang merupakan saudara kandung di kehidupan aslinya, menjadi pion bagi Hirokazu Kore-eda untuk menyampaikan pesan kepada seluruh anak-anak didunia. Jika anda memiliki sebuah harapan yang disertai usaha keras, maka tidak ada yang bisa mengalahkan anda.

Score: 8,5/10

0 komentar :

Post a Comment