22 December 2016

Movie Review: Denial [2016]


"I think I called him a liar and also fire of history."

Salah satu hal yang menjadi bagian dari sejarah di masa lalu dan dapat kita temukan di kehidupan sekarang ini adalah mereka yang mencoba untuk “menolak” eksistensi dari berbagai peristiwa maupun aksi yang sebelumnya pernah terjadi. Memang ada arsip tapi hal tersebut tidak serta merta akan membuat opini dan ideologi dari semua orang otomatis akan sama sehingga akan selalu ada deniers di sana. Hal tersebut coba diceritakan oleh film ini, Denial, dengan menggunakan peristiwa Holocaust sebagai bahan utamanya dan berdasarkan dari sebuah kisah nyata yang berisikan moral integrity di dalamnya. It’s a compelling courtroom drama.

Deborah Lipstadt (Rachel Weisz) merupakan seorang Professor yang menaruh perhatian sangat besar pada korban dari aksi kejam bernama Holocaust. Tidak heran sosok yang menjadi target Lipstadt adalah pria bernama David Irving (Timothy Spall) yang mengatakan bahwa kekejaman yang mengerikan itu sebenarnya tidak pernah terjadi. Lipstadt mengatakan bahwa Irving membuat sebuah kebohongan dan aksinya itu berbuah perlawan dari Irving. David Irving menggugat Deborah Lipstadt atas tuduhan fitnah dan kasus tersebut ia masukkan ke pengadilan di Inggris yang menganut sistem hukum di mana terdakwa pencemaran nama baik wajib membuktikan kebenaran dari pernyataan atau tuduhan.


Denial merupakan sebuah drama yang mencoba menampilkan kekuatan yang dimiliki oleh truth dan kali ini hadir dengan menggunakan kasus terkati eksistensi Holocaust. Mengambil dasar cerita dari sebuah kisah nyata dari sebuah buku karya Deborah Lipstadt yang berjudul “History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier” di tangan Mick Jackson dan screenwriter David Hare film ini mencoba menyajikan sebuah proses hukum dengan menggunakan courtroom drama. Berisikan cukup banyak "silence" moments dan seolah mencoba memancing emosi penonton Mick Jackson berhasil “membakar” konflik utama menjadi sebuah perdebatan yang menarik untuk disaksikan. Ceritanya sendiri terasa mencoba langsung menuju ke sasaran tembak tapi cara Mick Jackson mewarnai bagian di sekitar konflik utama itu berhasil membuat Denial konsisten menunjukkan bahwa terdapat taruhan yang cukup tinggi di dalam cerita.


Sekedar membuktikan kebenaran mungkin akan terasa sepele tapi latar belakang masalah terkait Holocaust berhasil Mick Jackson gunakan untuk membentuk dramatisasi berisikan berbagai emosi yang oke. Kita tidak dibawa fokus pada kejadian masa lalu ketika Holocaust berlangsung tapi rasa sakit dan mengerikan dari aksi tersebut ditampilkan dengan baik pada perdebatan yang dipenuhi saling tatap antar karakter ini. Denial fokus membuat agar masalah tetap tergambarkan dari lensa hukum dengan menggunakan aksi ignorance karakter Irving sebagai api yang terus membakar emosi dan menjaga atensi. He’s a troll, seriously a really good troll, dan Mick Jackson pakai dia untuk membantu Deborah Lipstadt yang perlahan terus mencoba menampilkan unsur humanity yang dimiliki oleh courtroom drama ini, sebuah panggung yang menjadi tempat di mana ide dan opini seperti saling berusaha meraih atensi terbesar. 


Denial dapat dikatakan merupakan sebuah pertarungan ide, satu percaya pada truth sementara satunya lagi lebih percaya pada opini dan ideologi. Di sini Mick Jackson dan tim mencoba menunjukkan contoh dari salah satu pendekatan yang mungkin kita punya terhadap sejarah dengan mengikutsertakan demokrasi hingga kebebasan berpendapat di dalamnya. Karena subjek dan objek yang menarik daya tarik film ini terasa oke hingga akhir tapi harus menjelang akhir ‘Denial’ terasa seperti sedikit kehilangan daya cengkeramnya. Fokus pada rasa bingung dan frustasi Lipstadt ketika berhadapan dengan sistem legal di Inggris tidak ditemani dengan “detail” yang besar, emosi dari karakter dan juga masalah terasa menarik tapi karena porsi pada fokus utama sangat besar terutama pada hal refleksi itu pada akhirnya membuat di bagian akhir Denial terasa a bit jaded. 


Tapi itu bukan kekurangan yang terasa mengganggu terlebih jika kamu telah terpaku oleh pesona dari karakter yang diperankan dengan baik oleh para aktor. Denial film yang dapat dikategorikan “quiet” sehingga perlu aktor yang mampu “memancarkan” pesona karakter meskipun hanya dengan ekspresi wajah seperti tatapan mata. Sebagai bintang utama Rachel Weisz tampil memikat di sini, energi dan determinasi yang dimiliki Deborah Lipstadt berhasil ia tampilkan dengan baik. Supporting roles berhasil membantu Rachel Weisz dengan baik seperti Tom Wilkinson hingga Alex Jennings, mereka berhasil hadir di dalam cerita dengan “nyawa” yang terasa meyakinkan. Tapi yang paling memorable dari mereka semua adalah Timothy Spall, dia berhasil membentuk Irving sebagai a bigoted troll dengan sangat meyakinkan lewat sebuah performa akting yang terasa convincing. 


Denial bukan sebuah courtroom drama yang luarbiasa memang tapi berhasil menjadi sebuah drama yang well-made dengan kisah yang menggabungkan penggambaran terhadap sistem hukum serta usaha menjadi alarm agar penonton tidak melupakan berbagai horror yang dimiliki oleh sejarah di belakang mereka. Memiliki materi yang menarik Mick Jackson berhasil menjaga agar bagian tersebut terus menghadirkan api yang konsisten sejak awal hingga akhir dan itu ia gunakan dengan baik untuk membentuk sebuah panggung di mana para aktor dan aktris yang ia punya mencoba menghadirkan berbagai “punch” untuk diamati dan ditangkap oleh penontonnya. It’s a compelling courtroom drama. Segmented.










1 comment :