10 February 2022

Movie Review: Kukira Kau Rumah (2021)

“Apakah dua orang kesepian tidak berhak bersama?”

Kamu mungkin sudah tidak asing dengan kata dalam bahasa Inggris yakni bipolar atau mood swing, terlebih bagi Anak Jaksel di mana dua kata itu kerap dipakai untuk menggambarkan kondisi emosi yang tidak stabil dan sayangnya kini penggunaannya dibuat semakin luas, bahkan untuk perubahan suasana hati yang sederhana. Padahal seseorang dikatakan menderita gangguan bipolar jika mengalami ayunan perasaan yang ekstrem dengan pola yang mudah berubah secara drastis, mengalami episode dari awalnya merasa antusias berubah menjadi buruk, menjadi depresi, putus asa, bahkan sampai merasa ingin bunuh diri. Menggabungkannya dengan sebuah kisah cinta anak kuliahan film ini mencoba berbicara tentang itu dengan cara sederhana. ‘Kukira Kau Rumah’: healthy food about mental health awareness.


Cedera di bagian kepala yang ia alami ketika masih kecil mengubah hidup wanita muda bernama Niskala (Prilly Latuconsina), sosok yang tiap aksinya seolah membuat dua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Octavianus (Raim Laode) selalu cemas karena takut akan muncul “kejutan” yang tidak diinginkan dari teman mereka itu. Sebenarnya tidak ada yang aneh dari Niskala, ia bahkan memiliki minat yang tinggi di bidang akademis, namun sosok yang ternyata hanya mengantongi ijin dari sang Ibu, Mella (Unique Priscilla) untuk hadir di perkuliahan itu sulit mengatur emosinya. Hal itu terbukti di sebuah kegiatan debat ketika Niskala merasa tidak suka dengan argumen yang dilontarkan lawan, awal mula gejolak emosinya.

Hal tersebut yang sebenarnya sangat ditakutkan terjadi oleh sang Ayah, Dedi (Kiki Narendra) sehingga membatasi kegiatan Niskala. Tapi anaknya tidak mau menjalani hidup dengan “terkurung” di rumah, ia ingin menjalani hidup normal salah satunya dengan hangout di café, tempat di mana Niskala jatuh hati pada seorang pelayan bernama Pram (Jourdy Pranata), mahasiswa yang gemar bernyanyi dan selama ini telah diamati oleh Niskala. Berawal dari taruhan pada hasil nilai ujian dan berlanjut ketika Niskala menantang Pram bernyanyi di panggung café tempat ia bekerja, Pram perlahan mengisi ruang hati Niskala yang selama ini kosong, membuat Niskala merasa Pram mampu membuatnya merasa bahagia, lebih baik dari antidepresan.

Film yang menjadi debut penyutradaraan Umay Shahab ini mengambil inspirasi dari lagu karya Amigdala berjudul sama rilisan tahun 2017 yang lalu, secara garis besar dalam konteks kisah cinta yang diusung juga bermain tidak jauh dari apa yang coba disuarakan oleh lagu tersebut. Tidak ada lirik yang rumit di lagu itu tapi pendengar dibawa untuk ikut menyelami situasi yang dialami oleh sosok yang sedang berada dalam kondisi kehilangan, sebuah percintaan yang di awal tampak seperti cahaya di kala sinar senja telah redup namun justru pamit ketika purnama telah terbentuk penuh seutuhnya. Kamu dibawa oleh Amigdala untuk menyelami rasa sedih tersebut secara sederhana dan hal konsep tersebut juga diterapkan oleh Umay Shahab di sini di tema besarnya, yaitu kisah cinta tadi.


Tapi spotlight film ini justru bukan di sana melainkan kepiawaian Umay bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy dalam melakukan tweak menggunakan amigdala agar cerita punya suara lain di samping kisah cinta sederhana. Dalam dunia medis sendiri amigdala merupakan bagian dari otak yang berhubungan dengan proses emosional seseorang, memilik arti “almond” dari bahasa Yunani amygdale dan berperan dalam pengolahan serta ingatan terhadap reaksi emosi. Ini yang menarik, dari sebuah lagu sederhana tentang hilangnya cinta yang ternyata bukan rumah namun hanya disewa saja, Niskala digunakan oleh Umay Shahab dan tim penulis menjadi suara lantang untuk meningkatkan kesadaran terhadap gangguan mental yang di sini terarah pada gangguan bipolar. Menyelami itu dan merasakan.

Gangguan Bipolar sendiri adalah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi, berganti secara tiba-tiba antara dua sisi yang berlawanan yaitu perasaan bahagia (mania) dan perasaan sedih (depresi) yang berlebihan dengan pola dan waktu yang tidak pasti. "Ah, mood swing doang itu", mungkin kalimat sederhana seperti itu sering kamu dengar atau bahkan ucapkan di kehidupan sehari-hari dan sebenarnya merupakan sesuatu yang salah, karena segala sesuatu yang berurusan dengan emosi dan mental berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya jika tidak ditangani secara baik dan juga tepat. Niskala menjadi contohnya di sini dan melalui dia Umay Shahab mencoba mengajakmu untuk semakin sadar akan hal itu.


Membuat penonton menjadi semakin sadar dan peduli pada kesehatan mental, baik itu pada diri sendiri dan juga orang-orang sekitar menjadi pesan utama film ini, tidak mencoba bermain terlalu jauh dari sana namun pilihan yang tepat karena mendarat dengan baik di garis akhir. Mekarnya kisah cinta antara Niskala dan Pram digunakan untuk “mengangkut” penonton naik ke dalam perahu, lantas dari sana gejolak emosi seorang Niskala hadir menjadi berbagai gulungan ombak yang menerpa. Sejak awal kamu dibuat tertarik dan peduli dengan Niskala sembari merasakan vibe ganjil di balik sikapnya yang merasa dirinya sangat penting, mudah tersinggung dan mudah marah itu. Simpati dan empati penonton berhasil Niskala raih, lalu masuk Pram yang menjadi “cahaya” yang dipakai Umay untuk mengembangkan eksposisi ceritanya.

Hal tersebut yang membuat saya menaruh kagum pada ‘Kukira Kau Rumah’ karena di sini Umay menggunakan trik yang sederhana tapi manis, kisah cinta anak muda bersama isu dan pesan tentang mental health disorders ia buat duduk bersama tapi tidak saling sikut, justru berkombinasi dengan pergeseran fokus yang tertata dengan baik. Di awal ini tampak seperti kisah cinta biasa, apalagi bagi mereka yang menaruh ekspektasi dengan mengacu pada lagu karya Amigdala tadi, tapi siapa sangka ketika usai justru hal yang menarik diperbincangkan adalah pesan dan isu terkait gangguan bipolar yang dialami oleh Niskala. ‘Kukira Kau Rumah’ sukses menjalankan misinya dengan sangat baik karena saya melihat banyak penonton yang berbincang tentang itu ketika melangkah keluar studio bioskop. Sebuah respon emosi yang oke.


Memang di bagian akhir narasi seperti sedikit dikebut oleh Umay, ada kesan sedikit terburu-buru di sana yang seharusnya bisa diberi tambahan sedikit ruang kecil agar pergeseran fokus dapat dibangun lebih baik lagi sehingga “kejutan” yang disajikan itu memberikan klimaks yang kuat. Yang ditampilkan di sini justru berpotensi besar untuk terasa anti-klimaks bagi beberapa penonton meskipun kekurangan itu tidak sampai melukai sinar terang dari isu dan pesan yang berhasil didorong dengan baik oleh Umay. Bersama para aktor juga tentunya terutama Prilly Latuconsina, berhasil menampilkan tiga episode gangguan bipolar dengan baik, yakni mania, hipomania, dan depresi bipolar. Jourdy Pranata juga tampil oke sebagai Pram sedang Shenina Cinnamon dan Raim Laode menjalankan tugas mereka menyuntikan tawa dan juga emosi pendukung atau tambahan.

Overall, ‘Kukira Kau Rumah’ adalah film yang memuaskan. Di usianya yang masih sangat muda, 20 tahun, Umay Shahab menunjukkan bahwa ia punya vision yang oke dalam bercerita, tidak memilih jalan yang rumit namun dengan membawa penonton  menyelami suka dan duka secara sederhana justru berhasil mengajak penonton untuk semakin sadar akan bahaya gangguan bipolar jika tidak ditangani secara baik dan juga tepat. Menyelami itu dan merasakan, bermain bersama simpati, emosi, dan empati penonton dengan menaruh kisah cinta anak muda bersama isu dan pesan tentang mental health disorders untuk duduk bersama dan saling berkombinasi. Ini jelas makanan yang sehat.





1 comment :