"The ones who are the real danger are the self-contained types like you."
Bumi kini dihuni oleh
7,4 milyar manusia, dan pada tahun 2020 diprediksi 60% dari populasi di bumi
akan menjadi warga urban. Masing-masing akan memperbaiki kualitas diri mereka,
masing-masing akan menaikkan ambisi mereka, dan mungkin kekhawatiran peradaban
manusia akan jatuh dan “kerusakan” dengan cepat menyebar seperti wabah akan
segera terjadi. Potensi dari prediksi tadi coba ditampilkan oleh High-Rise ke dalam gedung setinggi 40
lantai, strata sosial menjadi medan perang yang dikemas dengan rasa Stanley Kubrick. The Towering Inferno meets Snowpiercer.
Funny and clever.
Setelah adik
perempuannya meninggal dunia seorang ahli fisiologi bernama Dr. Robert Laing (Tom Hiddleston) pindah
ke lantai 25 yang berada di bagian tengah sebuah apartemen mewah, High-Rise.
The high-rise merupakan kompleks rancangan arsitek Anthony Royal (Jeremy Irons) sebagai upaya menyatukan berbagai
kelas masyarakat bersama-sama, memberikan penyewa semua kemudahan dan komoditas
kehidupan seperti kolam renang, sekolah, hingga gym dan supermarket. Terisolasi
dari dunia luar satu-satu kepentingan penghuni untuk keluar dari high-rise
adalah hanya untuk bekerja. Keunikan high-rise tidak hanya sifatnya yang
tertutup namun juga penerapan sistem kelas, semakin kaya penghuni semakin
tinggi pula posisi lantai yang dapat ia huni, hal yang mengundang lahirnya
sifat buas dari penghuninya.
Impresi awal yang
diberikan oleh High-Rise adalah
menakutkan, cara Ben Wheatley (Kill List, Sightseers, The ABCs of Death, A Field in England) membentuk konsep tentang stabilitas tatanan sosial sangat mampu mewakili apa
yang kini banyak kita temukan di dunia nyata. Kisah yang berdasarkan novel
dengan judul sama karya J.G. Ballard
ini seperti yang saya sebutkan di awal tadi ingin bercerita tentang jatuhnya
peradaban tapi yang menyebabkan High-Rise
mudah untuk diterima adalah ia membuat tujuan itu agar tidak menghalangi rasa
“free” ketika ia bercerita. Simpati hingga etika yang hilang, kontrol yang
tidak lagi kuat dan pertempuran untuk meraih kemenangan, semua itu berhasil
dikonversi kedalam gedung-gedung tinggi, isu diarahkan dengan bobot yang pas
namun perang antar kelas akan memberimu ledakan-ledakan yang tidak kalah
panas.
Hal paling menarik dari
High-Rise sebenarnya bukan terletak
di konsep yang sejak sinopsis akan
mengingatkan kamu dengan rilisan terbaru Snowpiercer,
namun cara ia membuat cerita seperti naik perlahan untuk kemudian pecah di
puncak. Ya, build-up adalah hal terbaik dari film ini. Kita punya sindiran
terhadap kondisi sosial, dari hak istimewa, materialisme, hingga kegembiraan
dan kebiadaban serta aksi anarki, kita juga diberikan argument dasar tentang
kesetaraan yang kemudian berkembang ke berbagai arah, tapi ketika disampaikan
ke penonton mereka kental dengan kesan sarkasme sehingga tidak terasa frontal
dan menggurui malah terasa fun. Kombinasi itu yang menyebabkan sulit untuk
meletakkan film ini di satu kelas atau genre, ia sci-fi dengan bumbu drama serta misteri tapi penyampaian isunya ada
rasa art-house meskipun tidak
mendominasi karena elemen action dan thriller juga tampil sama baiknya.
Ketegangan yang terus
meningkat jadi kunci penting film ini untuk mengikat penonton, dari dimulai
dengan perlahan konflik dibangun dengan cermat tanpa membatasi interpretasi penonton.
Tidak heran berbagai isu yang disederhanakan dengan cara membuat beberapa
tingkatan yang terpisah itu terus mampu menghadirkan kegelisahan yang menarik,
meskipun sering bergantung pada montase cerita tidak pernah stuck dan terus
melangkah maju. Cara Ben Wheatley
menempatkan penonton seolah sedang mengamati kekacauan juga terasa padat,
berbagai kejutan bekerja dengan baik seperti halnya elemen teknis yang juga
selalu mampu mencuri atensi. Visual High-Rise
menyenangkan, fotografi memiliki komposisi framing yang manis. Desain produksi
juga mampu menciptakan “perbedaan” yang terdapat di dalam cerita, dan
penggunaan selingan musik juga berhasil klop dengan baik kedalam atmosfir
cerita.
Walaupun begitu High-Rise punya kelemahan yang dapat
dikatakan punya peluang cukup besar untuk mengganggu. Saya sendiri tidak begitu
mempermasalahkan hal ini tapi harus diakui pesona karakter di luar Robert Laing sering hilang dan datang.
Pesona karakter sebenarnya memiliki peran penting terhadap kekacauan dan pesta
pora yang High-Rise tampilkan karena
ini berkaitan dengan eksistensi karakter di dalam cerita. Terkadang sulit untuk
merasa peduli terhadap eksistensi dari beberapa karakter di samping karakter kunci Robert Liang. Kesan absurditas juga punya potensi mengganggu dengan membuat penonton menjadi merasa bingung, jika penonton tidak
klik dengan imajinasi yang ingin High-Rise
tawarkan bukan tidak mungkin ini akan berakhir sebagai hiburan konyol bagi
mereka. Oh, final punch terhadap isu
utama juga tidak segila kegilaan yang film ini berikan sebelumnya.
Namun sekali lagi, itu
minus minor meskipun besar kemungkinan untuk menjadi sesuatu yang mengganggu
bagi beberapa tipe penonton. High-Rise
merupakan tipe film ini menuntut penonton untuk mengamati tapi juga “engage” dengan apa yang terjadi di dalam
cerita, dan meskipun dari segi cerita ada beberapa lubang seperti tadi tapi
kualitas akting tidak menghadirkan hal serupa. Lima pemain utama, Tom Hiddleston, Jeremy Irons, Sienna Miller,
Luke Evans, dan Elisabeth Moss,
mereka tampil baik. Moss berhasil menjadi ibu rumah tangga yang sedang
“terperangkap”, Irons berhasil menjadi “Tuhan” yang mengunci perhatian, Miller
selalu berhasil memberikan rasa segar dengan sikap usil karakternya, dan Evans
tampil sebagai martir yang begitu meyakinkan dengan tatapan dinginnya. Bintang
utamanya tentu saja Tom Hiddleston, tatapan matanya seperti berbicara tentang
cinta dan bahaya, Dr. Robert Laing
memiliki pesona delusi yang menarik namun tetap terasa karismatik.
Meskipun not for all tastes dan a bit style over substance High-Rise berhasil memberikan sebuah
pengalaman menarik menyaksikan kisah tentang “kematian” umat manusia dengan
pendekatan layaknya sebuah puisi yang absurd. Ini seperti Snowpiercer di dalam
gedung apartemen, sebuah alarm bagi manusia bahwa sumber dari kepunahan yang
menanti mereka berasal dari kegagalan yang mereka ciptakan sendiri. Menggunakan
pemberontakan antar kelas dengan dipenuhi sindiran sosial, dari harta, tahta,
seks, obsesi, ambisi, hingga melahirkan kekacauan, tidak lupa membuat penonton
bergembira bersama visual yang manis dan aksi anarkis yang liar, dibantu dengan
arahan yang terkendali dari Ben Wheatley
serta kinerja cast yang oke, High-Rise
berhasil menjadi sebuah film dystopian yang
pintar dan lucu. Segmented.
Thanks to rory pinem
Kayanya menarik....
ReplyDelete