15 August 2022

Movie Review: Bullet Train (2022)

“If you don't control your fate, it controls you.”

Berawal dari ‘John Wick’ tahun 2014 yang lalu, David Leitch bersama Chad Stahelski memperkenalkan diri kepada para penikmat film setelah sebelumnya lebih dikenal lewat stuntwork mereka di bawah bendera 87Eleven, action design company yang mereka dirikan bersama dan punya reputasi oke di Hollywood sebagai pakar hand-to-hand combat choreography. Chad Stahelski lanjut menukangi film-film John Wick yang di tahun depan masuk ke jilid empat, sedangkan Leitch mencoba variasi baru dengan berbagai karakter: mengubah Charlize Theron menjadi top-level field agent, ditunjuk sebagai Sutradara ‘Deadpool 2’ dan spin-off Fast & Furious, ‘Hobbs & Shaw’, tahun lalu menjadi Produser film ‘Nobody’, a controlled and composed explosions carnival. ‘Bullet Train’: a roller coaster of infectious and mischievous joy.


Setelah sembuh dari trauma, pembunuh bayaran professional kembali menangani sebuah misi dan kali ini ia diberi codename Ladybug (Brad Pitt). Tugasnya tampak sederhana: menggantikan Carver untuk mencuri sebuah koper dari kereta cepat yang melakukan perjalanan dari Tokyo menuju Kyoto. Namun celakanya muncul berbagai rintangan yang harus ia hadapi. Berisikan uang tebusan, koper dengan sticker kereta di gagangnya itu dikuasai Tangerine (Aaron Taylor-Johnson) dan Lemon (Brian Tyree Henry), dua bersaudara yang disewa oleh White Death (Michael Shannon) juga untuk menyelamatkan anaknya, The Son (Logan Lerman).

Sedangkan di gerbong first class, assassin Yuichi Kimura (Andrew Koji) terpaksa membantu The Prince (Joey King) yang punya kendali penuh atas putra Yuichi yang sedang dirawat di Hospital. Misi utama The Prince adalah membunuh White Death, the Russian leader of a Japanese criminal organization yang ternyata bukan orang asing bagi keluarga Kimura. Sang Ayah, The Elder (Hiroyuki Sanada), punya masalah di masa lalu dengan White Death dan berusaha untuk melindungi anaknya. Berbagai macam sosok jahat dengan berbagai motif membuat tugas Ladybug jadi tidak semudah perkiraannya di awal.

Memang sudut pandang tiap orang akan berbeda tapi kereta api merupakan alat transportasi yang tergolong simple karena bergerak dengan cepat dan tidak terjebak kemacetan serta terasa aman, merupakan rangkaian gerbong yang panjang dan jelas karena melintas di daratan bukan seperti pesawat terbang. Kita berbicara dari segi fungsi di sini, bukan dari angka tingkat kecelakannya. Tapi di sisi lain kereta api juga merupakan setting tempat menarik untuk berputarnya cerita, seperti kisah Detektif ala novel Agatha Christie maupun serangan para zombie di ‘Train to Busan’, ruang kereta api yang medium itu menciptakan excitement tersebut bagi sebagai tempat berbagai kejahatan atau masalah terjadi, termasuk pula kisah cinta. Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Sutradara David Leitch di sini.


David Leitch dengan cerdik menggunakan setting kereta api yang sedang melaju kencang itu untuk menyajikan berbagai ketegangan yang menyenangkan. Kita tahu bahwa kereta api di negara Jepang dikenal tepat waktu hingga hitungan detik, akan berhenti tepat waktu di setiap titik pemberhentian. Di sini kamu diberitahu bahwa jika sudah menemukan koper yang ia cari maka Ladybug punya waktu satu menit untuk keluar dari kereta api, dan ketentuan tersebut berperan penting bagi narasi untuk bermain-main dengan ketegangan di ruang sempit di dalam gerbong kereta. Apakah Ladybug dapat turun tepat waktu sebelum pintu kereta menutup kembali? Pertanyaan itu menjadi semacam “threats” di awal namun ternyata fungsinya tidak terlalu konsisten sebagai motor ketegangan.

Karena ada saja “rintangan” lain yang harus dihadapi karakter utama kita di dalam adaptasi novel ‘Maria Beetle’ karya Kōtarō Isaka ini, baik itu yang terasa penting dan juga yang konyol. Script yang ditulis oleh Zak Olkewicz perlahan mengalami change of focus seiring bertambahnya masalah secara satu per satu yang perlahan mengarah pada konfrontasi kekerasan lebih lanjut antar karakter. Bukan cuma tugas awal dari Ladybug saja yang berubah menjadi rumit tapi juga narasi dengan berkumpulnya berbagai konflik kecil, yang menyuntikkan dramatic tension ke dalam kompartemen sempit kereta api yang kemudian diolah David Leitch bersama 87North Productions, to decorating coolness with a lot of action bombast, perkelahian jarak dekat yang intense dan brutal, pintu toilet hingga botol air, mereka dipentaskan dengan baik.


‘Bullet Train’ memang sering terasa lucu, terkesan seperti cerita tentang pembunuh bodoh dan komedi yang konyol,tapi pementasan di sini tergolong oke terutama pada berjalannya proses eksposisi di narasi. Tempat dan situasi memang membutuhkan waktu untuk terbentuk utuh, tentang siapa melawan siapa misalnya, tapi ketika itu telah terbentuk maka humor dan action itu menyajikan permainan cat and mouse with some of gory visuals yang terasa enak untuk diikuti. Jangan tertipu dengan aksi konyol para karakter yang seolah terus berusaha tampil kocak, karena ketika mereka tampak bersenang-senang tanpa beban itu script terus berkembang menjadi sesuatu yang rumit dan menarik. It has weaknesses, penjelasan di beberapa titik tidak terasa penuh, but what surprises me is that the screenplay has good power.

‘Bullet Train’ bukan tanpa kekurangan, seperti narasi misalnya yang kadang terasa seperti berputar-putar di sebuah lingkaran cerita saja, beberapa topik dan alur cerita juga tiba-tiba hilang tanpa konklusi, dan cerita tentang ironi yang dialami beberapa karakter secara berulang sempat tiba di titik yang melelahkan. Itu belum menghitung kualitas efek CGI yang tidak semuanya “berhasil”. Tapi kekurangan tersebut berhasil tertutupi berkat kemampuan naskah dalam mengembangkan cerita, secara bertahap menjelaskan sebab dan akibat mengapa berbagai karakter dengan agenda mereka masing-masing itu bisa berkumpul di dalam kereta lengkap dengan background yang oke pula. Itu membuat cerita dan narasi punya sesuatu yang penting, bahkan cerita Thomas the Tank Engine juga becomes pretty important.


Pola ditambahkan satu per satu tadi membuat cerita tidak pernah menyentuh level membosankan, karena ada saja variasi excitement yang disuntikkan dan membuat energi pada narasi terus terjaga konstan sehingga berbagai kelemahan kecil dapat diatasi. Excitement itu juga berhasil hadir karena kinerja akting ensemble cast, yang diperankan dengan baik oleh masing-masing Aktor. They are a bunch of exaggerated characters actually tapi pesonanya tidak menjengkelkan, justru sebaliknya berhasil meraih dan mengunci atensi penonton. Aaron Taylor-Johnson dan Brian Tyree Henry tampil oke dengan constant bickering, Joey King membentuk karakter psikopat yang manipulatif miliknya dengan baik, sedangkan Andrew Koji serta Hiroyuki Sanada oke sebagai sumber emosi. Bintang utamanya tentu saja Brad Pitt, tampaknya sangat enjoy dalam menebar kegembiraan yang menular dari karakternya.

Overall, ‘Bullet Train’ adalah film yang cukup memuaskan. Terasa generic dengan CGI yang tidak begitu impresif, ketika selesai menonton saya juga merasakan hal itu. But it doesn't matter that much, beberapa kekurangan justru terasa sepele setelah film selesai berkat kemampuan David Leitch, Zak Olkewicz, ensemble cast, dan juga tim teknis di belakang mereka membentuk hal-hal konyol itu menjadi sebuah sajian permainan Tom and Jerry dengan energi menyenangkan, high-speed di dalam ruang sempit dengan memadukan action bersama komedi. Effectively staged fun high-speed action ride with an infectiously mischievous joy, ‘Bullet Train’ is a must-see for action fans. Segmented.





1 comment :