05 February 2022

Movie Review: The Lost Daughter (2021)

"We are obliged to do so many stupid things. From childhood, even."

Seorang anak adalah pusaran kecemasan, dan hal tersulit untuk dibicarakan adalah hal-hal yang kita sendiri tidak dapat mengerti. Kombinasi itu berpotensi membawa masalah bagi wanita yang baru saja menyandang status sebagai seorang Ibu, berawal dari baby blues kemudian depresi postpartum dan berakhir di psikosis postpartum, wanita akan terkejut ketika ia harus menjadi seorang anak perempuan namun juga Ibu secara bersamaan, struggling to be both. Titik awalnya adalah rasa tidak percaya diri namun jika perasaan seperti itu berkepanjangan maka dapat menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan depresi dan berujung pada masalah mental. Film ini mencoba membawamu mengamati hal tersebut dengan menggunakan cermin dan kilas balik. The Lost Daughter’: a dodgy drama.


Leda Caruso (Olivia Colman) adalah seorang Professor yang sepertinya ingin sejenak melepaskan diri dari hiruk pikuk kesehariannya yang penat dan berlibur ke sebuah pulau dengan pantai indah di Yunani. Sesampainya di sana Leda disambut oleh Lyle (Ed Harris) yang memang bukan pria asli dari daerah tersebut namun telah memiliki pengalaman yang sangat banyak sebagai seorang hotel's caretaker dan meminta Leda untuk menghubunginya jika membutuhkan bantuan. Namun Leda tampaknya lebih merasa nyaman dengan Will (Paul Mescal), asisten di resor tempat ia menginap dan dengan ramah menawarkan es krim pada Leda ketika ia sedang bersantai di tepian pantai yang tenang sembari menikmati beberapa buku.

Sayangnya situasi tenang dan damai tersebut tidak berlangsung lama karena setelah itu tiba sebuah keluarga yang ingin mengadakan perayaan kecil di tepian pantai itu, momen yang juga sempat memantik emosi antara Callie (Dagmara Domińczyk) dan Leda. Alhasil image Leda langsung jelek di keluarga besar itu, kecuali Nina (Dakota Johnson) yang sangat berterimakasih kepada Leda atas bantuannya terhadap anak perempuannya. Leda merasa seperti melihat dirinya sendiri pada sosok yang sedang punya masalah dengan suaminya Toni (Oliver Jackson-Cohen), melihat Nina seolah membawa kenangan buruk Leda muncul lagi, momen saat dirinya (Jessie Buckley) kehilangan arah akibat hubungannya dengan Professor Hardy (Peter Sarsgaard).

Kisah yang menjadi debut penyutradaraan Maggie Gyllenhaal ini ia ambil dari novel berjudul La figlia oscura rilisan tahun 2006 karya penulis bernama Elena Ferrante, sosok yang meskipun telah dikenal luas dalam skala internasional namun memilih untuk tetap merahasiakan identitasnya sejak novel pertamanya terbit di tiga dekade yang lalu. Tapi bukan Ferrante yang akan kita bahas di sini melainkan kemampuan Maggie Gyllenhaal dalam memainkan topik yang sebenarnya tidak super spesial tapi ketika film ini telah usai justru berhasil membuat perdebatan itu muncul, baik itu dengan sesama penonton maupun dengan diri sendiri. Cukup banyak hal menarik yang coba Gyllenhaal dorong di sini dengan menggabungkan konsekuensi bersama family dan society, tapi jelas kenikmatan utamanya ada di permainan asumsi.


Keberadaan dan status dua anak Leda, yakni Martha dan Bianca ditempatkan sebagai misteri hingga babak akhir sehingga tidak heran gejolak batin yang terpancar dengan baik dari ekspresi serta gerak tubuh Leda menggiring penonton untuk berasumsi bahwa wanita berusia 48 tahun itu kehilangan kedua anaknya. Apalagi hal tersebut dibantu dengan sebuah scene di tepian pantai ketika Leda kehilangan salah satu dari anak perempuannya tadi, lantas dari sana dibangun koneksi dengan karakter Nina yang posisinya ternyata serupa tapi tak sama dengan apa yang dahulu pernah Leda rasakan. Kita dibawa melihat Leda konsisten mengamati sosok Nina di babak awal, seolah-olah wanita muda itu menjadi cerminan dari diri Leda. Maggie Gyllenhaal tata itu agar terus meraih spotlight dengan menyertakan sedikit bumbu balas dendam.

Sebuah bumbu yang sebenarnya berfungsi untuk membungkus gejolak batin yang di sini terjadi di dalam diri tiga karakter wanita, yang membuat jalannya narasi seperti terbagi menjadi tiga bagian. Tidak sama rata memang tapi tidak butuh ruang ekstra bagi Maggie Gyllenhaal karena yang terjadi pada young Leda adalah cerminan situasi yang sedang dialami oleh Nina, lantas apa yang ia lihat pada Nina membangkitkan kembali “trauma” yang pernah Leda rasakan ketika ia masih muda dahulu. Lingkaran ini menjadi arena utama dan ada koneksi yang baik di sana, punya power yang oke berkat kemampuan Maggie Gyllenhaal dalam mengkombinasikan tragedi dan misteri dari karakter. Meskipun pada dasarnya ini merupakan sebuah psychological drama dan sejak awal fokus sebenarnya sudah terkunci di sana.


Anak perempuan yang hilang jelas dapat diartikan secara luas, Martha dan Bianca misalnya namun juga dapat diasosiasikan dengan kondisi hilang yang dirasakan oleh Leda dan Nina. Sebagai wanita muda young Leda dan Nina kesulitan dalam mengatur emosi mereka, terlebih ketika anak perempuan mereka merengek manja, meskipun latar belakang masalah tidak sama namun isunya jelas identik. Maggie Gyllenhaal mencoba mendorong isu tersebut dengan menggunakan pendekatan yang terasa oke serta segar, sedikit memutar memang tapi ekposisi berisikan proses membangun trauma berupa anxiety itu menghasilkan buah jeruk yang manis di akhir berupa satu pesan yang sederhana: ada kemerdekaan yang hilang ketika anda menjadi orangtua. Banyak yang tidak siap akan hal itu, dealing with ambivalence and wanting to escape.

Tema utama film ini sebenarnya adalah upaya melarikan diri. Kehadiran Nina seperti membawa lagi kenangan kelam Leda akan sikapnya yang kasar sebagai seorang ibu, dikatakan kontemplatif juga sulit memang tapi jelas Maggie Gyllenhaal membentuk dua karakter utama ke arah sana, bagaimana makna Ibu yang sebenarnya dimainkan antara sebagai pribadi atau sebagai fungsi. Para wanita itu meragukan dan putus ada dengan peran mereka sebagai seorang Ibu, merasa bahwa peluang untuk meraih apa yang mereka impikan seketika hilang, harapan masa muda mereka hancur. Anakpun menjadi tempat pelampiasan dan Maggie Gyllenhaal pastikan hal tersebut menjadi sesuatu yang menarik untuk “diperiksa” para penontonnya yang di sini seperti tidak dibatasi kesempatan mereka untuk bermain dengan interpretasi. Dan diskusi.


Apakah luka di punggung Leda murni akibat buah pohon cemara yang jatuh atau justru dilempar oleh salah satu anggota keluarga Nina? Dengan sedikit nafas thriller kita juga dibawa menyaksikan Leda kerap bingung dengan apa yang sebenarnya dia inginkan. Motif seperti itu mengalami pengulangan dan Maggie Gyllenhaal gunakan untuk membuat kisah dua ibu yang diperankan oleh tiga aktris ini menjadi semakin kompleks, meskipun memang narasi kerap terlalu larut bermain dengan simbolisme dan flashback dalam balutan cinematography yang percaya diri itu. Alhasil kejutan muncul dari performance Jessie Buckley, justru seperti berbagi posisi utama dengan Olivia Colman yang kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menyajikan emosi yang subtle namun tajam. Trio itu dilengkapi oleh kinerja akting Dakota Johnson, ia menjadikan Nina sebagai cerminan yang menarik bagi Leda.

Overall, ‘The Lost Daughter adalah film yang memuaskan. Debut penyutradaraannya dipakai Maggie Gyllenhaal dengan baik untuk menata topik yang tidak super spesial menjadi sebuah observasi menarik berujung diskusi, menggiring penonton untuk berasumsi dan bermain dengan interpretasi pada sebuah psychological drama yang sejak awal fokus sebenarnya sudah terkunci pada hal sederhana, yakni gejolak batin dan juga upaya "melarikan diri" yang menarik untuk diperiksa. Ditunjang dengan kinerja akting memikat dari tiga aktrisnya, gritty and sometimes uncomfortable ‘The Lost Daughter’ is undeniably a gripping redemption. A dodgy drama.








1 comment :