06 February 2022

Movie Review: Lamb (2021)

“It's not a child. It's an animal.”

Anak jelas merupakan anugerah terindah bagi setiap orangtua yang normal, tidak heran banyak orangtua yang rela untuk melakukan apa saja untuk dapat membuat anak mereka bahagia, termasuk pula dengan menerima kekurangan sang anak yang mungkin dianggap rendah oleh orang lain namun merupakan hal indah bagi sang orangtua. Namun pertanyaannya adalah sebenarnya sejauh mana hak yang dimiliki orangtua untuk "menggunakan" sang anak untuk meraih kebahagiaan? Kisah tentang hubungan antara orang tua dan anak coba disajikan film ini dalam kombinasi antara family drama dan folk tale bertopengkan horror. ‘Lamb’: a slickly staged horror-masked marital drama.


Mereka tampak tidak banyak bertukar kata satu sama lain namun koordinasi antara Maria (Noomi Rapace) and Ingvar (Hilmir Snær Guðnason) selalu berjalan lancar saat berurusan dengan tiap pekerjaan di peternakan domba yang mereka kelola bersama, Terletak di daerah pegunungan Islandia tidak ada yang terasa aneh dari peternakan tersebut karena berkat kecermatan Ingvar dan Maria dalam mengawasi makanan dan kesehatan para domba, tapi berbeda dengan hubungan pernikahan mereka. Ingvar dan Maria tampak dingin satu sama, seperti ada sesuatu yang tidak dapat diucapkan dan menjadi dinding pembatas di antara mereka di luar aktifitas di peternakan tadi. Salah satunya dari putri mereka yang telah meninggal dunia. Sebuah keajaiban muncul.

Seekor domba lahir berkat bantuan Ingvar dan Maria tapi anehnya ketika domba itu telah keluar dari induknya Ingvar dan Maria saling bertukar pandang dan terdiam, dan setelah itu Maria langsung membawa anak domba tersebut menuju rumah untuk diberikan perawatan yang tidak biasa. Tidak hanya selimut tapi anak domba yang ternyata “hybrid” tersebut bahkan diberikan tempat tidur khusus di dalam kamar milik Maria dan Ingvar, pasangan yang kemudian mulai “berubah” sejak anak domba itu lahir. Maria dan Ingvar tampak lebih bahagia dalam menjalani keseharian mereka hingga Pétur (Björn Hlynur Haraldsson), saudara laki-laki dari Ingvar datang, ia terdiam bercampur bingung saat melihat anak domba yang diberi nama Ada itu.

Dijual sebagai film folk horror perwakilan negara Islandia di ajang the 94th Academy Awards kategori Best International Feature Film ini mungkin akan mengejutkanmu. Bukan berasal dari para setan dan hantu tentunya namun bagaimana kisah diawali oleh Sutradara Valdimar Jóhannsson dengan membawa penonton melihat aktifitas sehari-hari dua karakter utama dalam mengelola peternakan domba. Ada momen ketika kamera tidak ragu untuk statis menyoroti kandang domba dan menunjukkan Maria bersama Ingvar merawat para domba, bahkan membantu domba melahirkan yang disorot langsung. Seolah ada upaya dari Valdimar Jóhannsson untuk membuat cerita yang ia tulis bersama Sjón tidak hanya sekedar mampu menarik atensi namun juga membuat penonton merasa intim dengan karakter dan penasaran.


Yang terakhir tadi powernya cukup besar, di 20 menit pertama saja saya yakin bukan hanya saya tapi mayoritas penonton pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin Valdimar Jóhannsson tunjukkan di sini. Ketika pertanyaan dan rasa penasaran tadi terus tumbuh semakin besar secara perlahan di sisi lain Valdimar Jóhannsson juga mendorong agar kesan ganjil juga terasa semakin mencolok dan mencuri perhatian. Kamu dibuat bermain dengan asumsi di sana, saya di bagian awal beranggapan bahwa Maria dan Ingvar merupakan pasangan yang sedang mencoba menemukan lagi kebahagiaan, seperti ada sebuah peristiwa yang telah menimpa mereka dan lalu meninggalkan duka yang mendalam. Itu terpancar dari sorotan mata Maria, terutama ketika domba “spesial” yang mereka namai Ada itu lahir.

Ada metafora yang cantik di sana, bagaimana kemunculan Ada diibaratkan sebagai sebuah berkah bagi Maria dan Ingvar tapi tanpa mereka sadari juga melukai hati seekor yang domba yang terus ingin bertemu Ada, domba yang notabene merupakan induk dari Ada. Skenario yang coba didorong Valdimar Jóhannsson ternyata sedikit lebih rumit yakni tentang refleksi antara motherhood, manusia, dan alam, berputar di tidak tema central tersebut dua karakter utama ditempatkan sebagai penjaga bagi Ada sedangkan di sisi lain juga mencoba untuk “memanipulasi” lingkungan mereka. Masalah keluarga dan kisah cinta disebar tapi akses penonton untuk mengenal lebih jauh karakter dibatasi, terasa intim memang tapi Jóhannsson menaruh environment yang ganjil itu sebagai latar horror untuk mengembangkan cerita.


Pada akhirnya ‘Lamb’ tampak seperti drama yang menyimpan rahasia, membuatmu berasumsi ada sesuatu yang menyeramkan mengintai di sana, something dark yang bersembunyi dan tidak berani untuk berbicara. Hal itu yang akan membelah respon dari penonton mengingat Jóhannsson menuntut rasa sabar penonton tapi di sisi lain ia juga “keras kepala” dalam mengurai cerita, seperti tidak tertarik untuk terlalu jauh bermain dengan horror dan meninggalkan narasi penuh dengan somber ambiguity filled with hopelessness and melancholy. Mudah untuk langsung menilai bahwa ini film yang aneh tapi buah dari build-up yang lambat itu ternyata berupa punch yang tergolong tepat sasaran, setelah membawamu tenggelam dalam impressive Icelandic landscape bersama humor absurd yang menemani unusual story berat dan lambat.

Valdimar Jóhannsson piawai dalam membentuk permainan atmosfir serta gambar yang tepat untuk membentuk screenplay, ia seperti menebar jala yang tanpa disadari penonton secara konsisten terus mengencang sehingga the seriousness immerses himself. Landscapes memang berbicara tapi ditata dengan rapi Jóhannsson juga menyelingi petunjuk kecil yang menuntunmu menuju ke eskalasi lebih besar, final punch that seems as impressive as it is banal. Saya juga berpikir di akhir mengapa butuh waktu lama untuk kisah sederhana seperti ini tapi di sisi lain merasa senang karena kagum dengan kemampuan Jóhannsson membentuk kesederhanaan tersebut tadi menjadi sebuah vacuum dengan daya besar, menghipnotis saya menggunakan supernatural element yang dipentaskan dengan baik.


Supernatural element terintegrasi dengan baik ke dalam plot yang memakai kondisi pernikahan Maria dan Ingvar sebagai sebuah metafora tanggung jawab orang tua terhadap anak mereka, hadir dalam dramaturgi yang meyakinkan dan disokong pula dengan kinerja akting mumpuni dari para aktor. Hilmir Snær Guðnason menjadikan Ingvar sebagai suami yang sangat supportif, sangat mudah untuk menyukainya dan merasa waspada ketika Pétur muncul, yang juga diperankan dengan baik oleh Björn Hlynur Haraldsson. Tapi bintang utamanya di sini tentu saja Noomi Rapace, sebuah sensitive acting yang memainkan dengan baik wanita yang menyembunyikan luka emosionalnya narasi ‘Lamb’ mampu terus bertahan hidup berkat kemampuan Noomi Rapace dalam bermain tarik ulur dengan rasa penasaran penonton, which in the end will be rewarded for their patience.

Overall, ‘Lamb (Dýrið)’ adalah film yang memuaskan. Pernah ambil bagian memoles special effect film-film seperti ‘Prometheus’, ‘Transformers: Age of Extinction’, ‘The Tomorrow War’ dan juga ‘Rogue One: A Star Wars Story’ tidak heran jika Valdimar Jóhannsson sangat piawai menggunakan gambar dan atmosfir untuk berbicara pada debut penyutradaraannya ini, sebuah kisah tentang hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka yang hadir dalam bentuk kombinasi family drama bersama folk tale bertopengkan horror. Menarik atensi sejak awal, membuatmu penasaran, latar horror terus menebar impresi ganjil seolah menyimpan rahasia dalam slow build-up exposition, ‘Lamb’ adalah marital drama bertopengkan horor yang tahu bagaimana cara meyakinkan penonton dengan gambar, atmosfir, akting, dan tentu saja cerita, meskipun tidak semua akan suka dengan hasil akhirnya. Segmented.







1 comment :