07 February 2022

Movie Review: Aloners (2021)

“I prefer to be alone.”

Merasa sepi saat berada di tengah keramaian merupakan salah satu hal paling tidak menyenangkan yang mungkin bisa dirasakan seseorang, tapi tidak sedikit pula yang justru senang berteman dengan sepi, mereka yang “menolak” untuk memiliki banyak koneksi teman misalnya karena merasa banyak teman maka banyak pula masalah. Salah satu faktor penyebabnya adalah the fear of rejection, rasa takut akan potensi merasa “sakit” sehingga memilih untuk menjalani kehidupannya tanpa merasa wajib bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Rasa takut akan penolakan itu berpotensi membuat orang mengalami kegelisahan ketika berada di situasi yang tidak sepi tadi, sesuatu yang jika dibiarkan terlalu lama dapat membuat hidup si penderita semakin tersiksa. ‘Aloners’: my loneliness is killing me.


Team leader (Kim Hae-na) di sebuah call center tidak pernah meragukan kemampuan wanita bernama Yoo Jin-ah (Gong Seung-yeon), sosok pendiam yang setiap makan siang selalu sendirian itu memang kurang populer di antara rekan-rekan sekantor dalam urusan interaksi sosial, namun hal berbeda jika berbicara tentang prestasinya ketika menangani keluhan dan kebutuhan para pelanggan melalui panggilan telepon. Jin-ah tampak menikmati pekerjaannya tersebut karena ketika tiba dikantor ia langsung fokus pada pekerjaan yang notabene dapat ia kerjakan sendiri, tidak butuh bantuan dan koordinasi dengan orang lain. Sikap tertutup Jin-ah ternyata merupakan bagian dari pola hidupnya sehari-hari.

Tidak heran earphone dan smartphone jadi dua sahabat terbaiknya karena ketika berada di luar apartement baik itu saat makan siang maupun di dalam bus dua benda tersebut dipakai Jin-ah untuk menyibukkan diri. Salah satunya untuk melihat secara langsung CCTV yang terpasang di ruang tamu rumah orangtuanya, Jin-ah mengawasi aktifitas sang Ayah (Park Jung-hak) yang baru kehilangan Istrinya. Jin-ah memang tidak punya hubungan hangat dengan orang lain namun jelas sang Ayah memberi rasa kesal yang lebih besar pada Jin-ah, hingga suatu ketika muncul wanita bernama Soo-jin (Jung Da-eun). Peristiwa nahas yang menimpa tetangganya (Kim Mo-beom) dan tetangga baru, Seong-hoon (Seo Hyun-woo) juga menjadi polemik bagi Jin-ah.

Di debut penyutradaraannya ini Hong Sung-eun menyajikan sebuah insight tentang sesuatu yang mungkin tampak sepele dan saat ini mulai terasa normal eksistensinya, yakni sikap terlalu bahagia berteman dengan sepi. Konteks sepi di sini secara garis besar adalah apa yang saya sampaikan di bagian pembuka tadi yaitu dampak dari rasa takut seseorang untuk merasakan sakit sehingga memilih untuk menutup pintu akan hal-hal lain yang ia anggap dapat mengganggu rutinitas berisikan hal-hal yang membuatnya merasa nyaman. Salah satunya menolak untuk berteman dan mencoba menjalin “interaksi” dengan orang-orang di sekitarnya. Jin-ah tidak masalah untuk sekedar menyapa tetangga yang mencoba berteman dengannya atau menyampaikan penolakannya kepada atasannya, tapi semua dikemas singkat dan seadanya.


Saya sendiri tidak merasa aneh dengan keinginan Jin-ah untuk menjalani hidupnya sesuai dengan “pola” yang ia rasa nyaman, karena hidup yang terlalu banyak bumbu juga punya potensi jadi terasa tidak enak untuk dijalani. Namun sikap introvert Jin-ah jelas berada di atas normal, yakni kesendirian yang dapat menghantui dan lebih parahnya justru dapat membuat orang tersebut merasa sakit akibat sikapnya yang tertutup itu. Dibalik beberapa konflik yang membuat cerita jadi terasa berwarna itu hubungan antara Jin-ah dengan sang Ayah yang kurang harmonis jelas menjadi titik mula atau pondasi utama masalah, Hong Sung-eun pakai untuk menunjukkan bahwa pilihan hidup Jin-ah yang “menolak untuk rumit” dan terbuka justru membuat usaha yang ia lakukan untuk berdamai dengan sang Ayah menjadi buntu.

Hal tersebut yang kemudian dieksplorasi serta dieksploitasi secara lembut di sini oleh Hong Sung-eun. Dia gunakan sistem domino, seperti luka setelah luka dengan upaya merelakan sang Ibu jadi isu lain yang menarik perhatian. Dan berangkat dari sana penonton dibuat mengerti alasan di balik sikap Jin-ah tersebut, kehilangan yang membuatnya merasa cemas dan takut akan masa depan dan memilih mengisolasi diri sehingga kekurangan percikan “cinta” dalam hidupnya. Saya tidak mengatakan pilihan Jin-ah untuk tertutup itu salah karena dengan begitu ia mengurangi masalah dalam hidupnya, lagipula ia tampak bahagia menjalaninya, pun demikian dengan Hong Sung-eun yang tidak mencoba menggoreng pandangan bahwa yang dilakukan oleh Jin-ah itu salah, yang ia sorot adalah dampak ketika sikap tersebut diterapkan secara berlebihan.


Itu yang membuat ‘Aloners’ berhasil tampil menarik, sebuah character study yang tidak hanya mencoba menyentil isu kapitalisme dan society saja namun menaruh fokusnya pada proses self-healing untuk lepas dari perasaan sepi yang berbahaya. Implisit memang namun dengan mengamati bagaimana karakter utama berhadapan dengan berbagai rintangan yang notabene dampak dari sikap tertutupnya dan sadar bahwa that loneliness is killing her. Memiliki prinsip dalam hidup memang penting tapi di sini lewat karakter Jin-ah penonton diajak oleh Hong Sung-eun untuk melihat pentingnya “mengevaluasi kembali” untuk diterapkan, karena terkadang rintangan membuat kamu belajar dan membuka matamu akan hal-hal yang seharusnya terjadi. Di sini Jin-ah belajar untuk mengucapkan selamat tinggal pada kenangan kelam.

Ya, kehilangan sang Ibu menciptakan trauma bagi Jin-ah, dari sana dengan dibantu atasan, tetangga, pelanggan, dan rekan kerja barunya Jin-ah belajar berdamai dengan masa lalu, move on, dan mencoba lagi. Tidak ada koneksi di dalam hidupnya berawal dari ketakutan wanita dengan emosi rapuh itu pada rasa sakit akan kehilangan, tapi sikapnya bukan satu-satunya loneliness yang coba didorong oleh Hong Sung-eun di sini. Ada beberapa panggilan telepon yang berhasil menarik perhatian salah satunya adalah seorang costumer yang berkata bahwa ia memiliki mesin waktu, salah satu penggambaran bahwa cara setiap orang menunjukkan perasaan sepi yang mereka alami berbeda-beda, yang mereka butuhkan adalah sikap mau untuk berkomunikasi dan juga berbagi dengan orang lain. Panggilan telepon Jin-ah kepada Soo-jin adalah contoh sederhananya.


Semuanya ditampilkan Hong Sung-eun dalam presentasi yang tidak terlalu kontras tapi memiliki keseimbangan porsi dan komposisi yang tepat di tiap bagian, koneksi antar bagian cerita terjalin rapi begitupula dengan daya tarik secara individual, yang ketika digabungkan jadi satu membuat kisah Jin-ah terasa impresif. Permainan kata dan gambar di sini juga terasa manis, sederhana dan menyokong terbentuknya vibe dan atmosfir misterius dalam diri Jin-ah, yang diperankan dengan sangat baik oleh Gong Seung-yeon di debut akting film layar lebarnya ini. Jin-ah adalah karakter yang dibentuk dengan baik, ia tidak “ribut” tapi ketenangan yang ia tampilkan membuat penonton terikat dan hanyut bersama gejolak di dalam batinnya, Gong Seung-yeon hadirkan kinerja akting yang subtle untuk itu.

Overall, ‘Aloners (Honja Saneun Salamdeul)’ adalah film yang memuaskan. Sebuah insight tentang sesuatu yang mungkin tampak sepele namun berbahaya jika dilakukan secara berlebihan, di debut penyutradaraannya ini Hong Sung-eun membawa penonton bertemu karakter yang “menolak untuk rumit” namun justru harus bertemu luka setelah luka akibat sikapnya, introvert yang bahagia berteman dengan sepi. Hadir dalam bentuk character study yang tenang namun misterius, 'Aloners' berhasil menampilkan proses berisikan belajar berdamai dengan masa lalu, move on, dan mencoba lagi yang dilakukan oleh seorang wanita untuk lepas dari sebuah "jeratan" berbahaya, yakni the fear of rejection. Me time itu penting untuk kesehatan mental, tapi jelas segala sesuatu yang berlebihan tentunya tidak baik. Segmented.






3 comments :