26 January 2022

Movie Review: Till We Meet Again (2021)

“Why do you want me to fall for another guy?”

Film You Are the Apple of My Eye satu dekade yang lalu sukses mencatatkan rekor sebagai film Taiwan pertama yang meraup lebih dari NT$20 juta sebelum tanggal rilis resminya, yang kemudian menjadi sepuluh kali lipat after its official opening di tahun 2011. Sebuah pencapaian yang terasa sangat wajar memang karena coming-of-age romance yang bermain dengan materi klasik genrenya itu berhasil menyajikan satu hal penting yang ingin penonton dapatkan, yakni emosi dengan hati, a teenage romance yang mampu menarik penonton masuk ke dalam cerita dan ikut merasakan suka dan duka yang dihadapi oleh karakter. Sutradara Giddens Ko mencoba menghadirkan kembali formula dan teknik tersebut tapi kali ini dengan bermain di dua dunia. Till We Meet Again (Yue Lao)’: when laugh and emotions hangout.


Pria muda bernama Shi Xiao Lun (Kai Ko) sangat kaget ketika bangun dan melihat ia berada di sebuah ruangan interogasi, seperti sedang diwawancarai tentang hidupnya yang ternyata baru saja usai. Sosok yang kemudian mendapat nama Aaron tersebut tewas setelah disambar petir saat sedang bermain basket bersama rekan-rekannya, ia kini dihadapkan pada pilihan akan menjalani reinkarnasi menjadi apa dengan opsi yang membuatnya tidak senang. Hal yang sama juga dirasakan oleh Huang Wen Zi (Gingle Wang) yang dikenal dengan panggilan Pinky, meskipun tidak seperti Aaron ia tidak kehilangan ingatan akan hidupnya. Xiao Lun, Wen Zi, dan beberapa arwah lain beruntung karena mereka ternyata punya kesempatan.

Kesempatan itu adalah kembali ke bumi dan melakukan perbuatan baik, pencapaian mereka dihitung berdasarkan jumlah butir warna putih pada gelang yang dikenakan oleh masing-masing arwah. Jika berhasil menjalankan misi arwah tersebut diijinkan reinkarnasi kembali menjadi manusia. Xiao Lun bersama Wen Zi harus bekerja sama sebagai dewa cinta, dengan benang warna merah menyatukan orang-orang belum menemukan pasangan yang tepat. Celaka bagi Xiao Lun karena ia bertemu kembali dengan Xiao Mi (Vivian Sung), wanita yang dahulu ketika ia masih hidup sangat Xiao Lun sayangi. Dibantu Wen Zi dan rekan arwah lain Xiao Lun mencoba menemukan sosok untuk menemani hidup Xiao Mi, yang masih bersedih atas kematian Xiao Lun.

Judul asli film ini adalah Yuè lǎo yang merupakan dewa pernikahan dan cinta dalam mitologi masyarakat Tiongkok, akan muncul dalam wujud seorang kakek di bawah rembulan dan menyatukan semua pasangan yang sudah ditakdirkan dengan seutas benang sutra, di mana setelahnya tidak ada yang bisa mencegah penyatuan mereka. Legenda tersebut serve as the basis for an East Asian belief originating from Chinese mythology, the Red thread of fate, sebuah keyakinan yang mirip dengan konsep soulmate or a destined partner to the Western. Konsep tersebut sendiri sebenarnya sudah terasa sangat potensial untuk dieksplorasi dengan cara learning by googling bagi mereka yang tertarik dengan hal-hal demikian, potensi besar yang juga disadari oleh Sutradara dan Screenwriter Giddens Ko.


Dan hasilnya terasa manis di awal. Pria asal Taiwan yang juga punya writing career itu mengembangkan legenda tadi menjadi arena untuk berbicara tentang berbagai hal menarik, dari creation hingga tentu saja cinta sejati, akan langsung membuatmu merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam cerita. Sejak ledakan di awal itu saya penasaran dengan design yang coba dibentuk Giddens Ko, sesekali memang ia mendorong kondisi karakter di kehidupan nyata tapi spotlight dominan mengarah pada upaya membangun fantasy world. Itu adalah bagian yang menuntut rasa sabar penonton, perlu beberapa saat untuk memahami cerita tapi menyenangkan karena dikemas dengan lincah oleh Giddens Ko, membentuk cerita dengan mengandalkan komedi dengan balutan energi yang menarik pula.

Pintarnya Giddens Ko di babak awal saat membentuk koneksi antara real world dan fantasy world adalah ia menyembunyikan kejutan lain dalam bentuk emosi terhadap situasi menyedihkan yang dialami oleh para karakter. Aaron dan Pinky ditempatkan pada situasi di mana mereka harus menjadi sebuah tim, sedangkan di sisi lain Xiao Mi tampak sedang berusaha keluar dari kesedihan, lalu keduanya digabungkan lewat sebuah misi yang tampak sederhana. Perhatian para penonton terkunci pada proses tersebut sehingga ketika emosi bergeser menjadi sedikit lebih rumit hadir semacam sengatan di sana. Memang sesekali hadir aksi jenaka konyol terutama dari fantasy world itu tapi berawal dari perjuangan reinkarnasi ‘Till We Meet Again’ berkembang menjadi semakin menyenangkan di tiap menitnya, hingga masalah itu muncul.


Giddens Ko sangat oke ketika membentuk “dunia” bagi ceritanya, dan menarik emosi penonton untuk merasa ikut berinvenstasi pada perjuangan cinta yang terhalang dunia berbeda, tapi ada ambisi besar yang diusungnya di sini dan kemudian menjadi boomerang. Giddens Ko mencoba mencampur romance dengan comedy, horror, dan sedikit suspense, and that takes a lot of time untuk dibentuk tapi sayangnya polanya justru diminimalisir oleh Giddens Ko. Design yang terasa atraktif di awal dan lantas disambung dengan eksposisi dengan pacing yang cepat itu mulai terasa kehilangan arah sedikit di bagian tengah akibat terlalu banyak ambisi tadi. Narasi terus bermain nakal serta tetap terasa menyenangkan but the core loses its grasp, terasa sesak and unsteady meskipun tidak pernah terkesan terburu-buru.

‘Till We Meet Again’ terasa turun di bagian itu meskipun untungnya memanfaatkan pesona karakter berhasil naik kembali mendekati level di bagian awal, ketika plot kembali menjadi lebih sederhana. Serupa tapi tak sama dengan ‘Along with the Gods: The Two Worlds’ film ini juga mengusung berbagai macam isu dan pesan kehidupan yang dikemas dengan baik oleh Giddens Ko, about life and love, carpe diem and also human relationships. Untuk bagian ini eksekusi Giddens Ko terasa oke dan banyak membantunya terhindar dari kekurangan di bagian tengah tadi, penonton yang larut dalam emosi perjuangan para karakter tidak akan merasa terganggu dengan minus tipis tadi, apalagi mereka yang sejak awal telah terikat dalam plot yang engaging itu, sebuah fakta meskipun harusnya bisa lebih memberikan character depth.


Hal terakhir tadi yang membuat hasil akhir film ini terasa kurang kuat buat saya, memang keluar bioskop with a lot of thoughts namun penyelesaian yang disajikan terasa kekurangan sengatan. Ini memang bergantung pada ekspektasi tiap penonton tapi mengingat setting di awal yang mencoba mendorong pentingnya misi di dunia nyata bagi para “arwah” untuk dapat reinkarnasi maka saya menyayangkan posisi Pinky yang justru terpinggirkan dari tengah hingga akhir, sebatas jadi pion meski konklusi memberikan akhir yang manis. Padahal aktris Gingle Wang sudah memberi pesona yang sangat baik bagi Pinky, ia harus rela sebagai penonton saja di akhir saat Vivian Sung dan Kai Ko yang juga tampil baik mulai lebih mendominasi. Saya rasa Giddens Ko dan Kai Ko ini memang perfect combo, Aaron seperti versi dewasa dari Ko Ching-teng.

Overall, ‘Till We Meet Again’ adalah film yang cukup memuaskan. Ambisinya besar dan terasa goyah di bagian tengah, tapi dengan memanfaatkan legenda rakyat di sini Giddens Ko berhasil berbicara tentang cukup banyak hal menarik tentang hidup dan ia kemas dalam sebuah drama fantasy dengan energi yang terasa candu. The story is really good meski kualitas narasi kurang mampu untuk konsisten sama baiknya, tapi itu sangat mudah untuk dimaafkan karena di sisi lain Giddens Ko dengan cerdik membuat storyline terasa engaging dalam gerak lincah dan terkadang nakal, fantasy berbalut komedi yang menariknya terhitung oke pula dalam memainkan emosi, saya tertawa tapi keluar cinema with a lot of thoughts. Good one.






1 comment :

  1. "Some things will never change, even after 10000 years."

    ReplyDelete