23 January 2022

Movie Review: The King's Man (2021)

“Let's end this as gentlemen! After all, manners maketh man.”

Istilah dalam bahasa Inggris kuno “Manners Maketh Man” melambung tinggi ketika diucapkan oleh karakter Harry Hart di film Kingsman: The Secret Service, ia pakai untuk menunjukkan kepada beberapa orang anak muda London pelajaran tentang bagaimana cara bersikap sebagai seorang gentlemen. Momen tersebut terasa sangat berkesan karena hadir dalam bentuk adegan action yang mempertontonkan pesona posh British yang lantas berkembang menjadi sajian action spy comedy stylish serta lucu meskipun di beberapa bagian terasa sedikit over-the-top. Dan yang terpenting adalah film itu sukses secara komersial, and what is profitable must be exploited, that's how Hollywood wants it. Back story sounded like a good idea, which always comes with a certain risk. The King's Man’ : a concentrated nonsense.


Duke of Oxford, Orlando (Ralph Fiennes) marah besar ketika istri tercintanya Emily (Alexandra Maria Lara) menjadi korban penembakan saat sedang mengunjungi kamp konsentrasi Palang Merah di Afrika Selatan, yang memang kala itu sedang bergulir the Boer War. Orlando kemudian bersumpah pada Emily untuk melakukan segalanya demi menjaga anak mereka. Untuk mewujudkan hal itu 12 tahun kemudian Orlando mempertahankan jaringan mata-mata yang ia kelola dengan merekrut Shola (Djimon Hounsou) serta Polly (Gemma Arterton) dan beberapa pekerja lain. Tujuan mereka adalah untuk melindungi the United Kingdom dan the British Empire dari bahaya Perang Dunia Pertama.

Hingga suatu hari kejutan lain tiba saat Conrad Oxford (Harris Dickinson), anak dari Orlando meminta kepada sang Ayah agar ia diijinkan ikut serta berjuang menjaga tanah airnya. Dengan berat hati Orlando mengabulkan permintaan anaknya tersebut. Sedangkan di sisi lain momen Perang Dunia Pertama dimanfaatkan oleh beberapa pihak, seperti peramal Nazi bernama Erik Jan Hanussen (Daniel Brühl), sosok mistik yang menyebut dirinya orang suci asal Rusia, Grigori Rasputin (Rhys Ifans), serta mata-mata bernama Mata Hari (Valerie Pachner). Target mereka adalah tiga sosok penguasa Eropa kala itu, George V (Tom Hollander), William II (Tom Hollander) dan Nicholas II (Tom Hollander).

Kembali menggandeng tandem kesayangannya Jane Goldman untuk menulis ulang komik berjudul ‘The Secret Service’ karya Mark Millar dan Dave Gibbons ke dalam bentuk script film, tujuh tahun lalu Sutradara Matthew Vaughn berhasil membawa  ‘Kingsman: The Secret Service’ meraih hati banyak penonton. Perkenalan Harry Hart, Eggsy, serta karakter lain kala itu seperti menggabungkan hal-hal baik dua buah film yang scriptnya juga Vaughn dan Goldman tulis bersama, gerak lincah dengan pesona nakal seperti film ‘Kick-Ass’ yang digabung dengan pesona tangguh dan intimidatif seperti X-Men. Wild and sometimes insane, ‘Kingsman: The Secret Service’ berhasil menjadi semacam “imitasi” dan juga homage pada genre anti-spy. Kesuksesan coba dilanjutkan lewat ‘Kingsman: The Golden Circle’, but lags behind the predecessor.


Empat tahun jeda antara film kedua dan film ketiganya ini tentu sudah menandakan bahwa ada sikap hati-hati yang diambil oleh Matthew Vaughn dan Produser, karena meskipun tetap mampu mencatatkan pencapaian box office yang tidak terlalu buruk namun ‘Kingsman: The Golden Circle’ menunjukkan dengan jelas degradasi kualitas kisah tentang private intelligence service itu. Fakta bahwa film ketiga tidak menjadi follow-up dari film kedua juga membuat tanda tanya semakin besar, apakah Matthew Vaughn dan Jane Goldman butuh waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan lanjutan? Posisi Goldman kini diganti Karl Gajdusek dan mereka memutuskan untuk membawa “sejenak” penonton mundur satu dekade ke belakang untuk menelusuri how the Kingsman Association came about in the first place.

Ya, again, what is profitable must be exploited dan ide untuk membawa pengisahan mundur ke belakang juga sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk namun jelas ada resiko yang exist di sana. Setting waktu sendiri berlangsung di Perang Dunia I dan itu dieksplorasi dengan baik, Matthew Vaughn dan Karl Gajdusek mencampur fakta sejarah bersama elemen fiksi buatan dengan cukup baik, cerdik dalam menciptakan cukup banyak ruang sebagai jalan menceritakan proses terbentuknya the original Kingsman. Ada pertarungan militer, aksi pembunuhan Archduke Franz Ferdinand of Austria, serta tentu saja permainan politik luar negeri, kisah yang awalnya tampak mencoba bercerita tentang keinginan seorang Ayah melindungi anaknya kemudian berkembang menjadi semakin luas, kritik kolonialisme penuh kaum aristocrats.


Mengisinya dengan teori konspirasi, kredit layak diberikan kepada Vaughn dalam mendorong design baru terhadap kisah the King’s Man, at least cukup kreatif serta mampu membuat penonton tertarik meski didominasi dengan weird entertainment value. Kerangka naratif yang ia dorong oke sedangkan strategi menggunakan sosok misterius sebagai salah satu peluru juga tidak buruk, tapi sayangnya pesona aneh yang oke di awal lama-lama justru membuat narasi jadi terasa bumpy, silly, and also cheap. Kombinasi yang coba disajikan semakin lama terasa semakin kurang klik satu sama lain, punya koneksi but not enough fun! Posisi fokus memang tidak lari tapi motif terasa semakin lemah, punya durasi yang panjang ruang yang tersedia bagi karakter untuk berkembang terbatas, sedangkan kejutan ditangani tergesa-gesa.

The fun factor is not missing tapi jelas jika ditarik garis dari film pertamanya maka kualitasnya kembali turun di film ini. Masalahnya sederhana: overloaded with too little to do, dan menariknya dengan durasi yang panjang serta berbagai macam isu dan pesan yang coba ia dorong Matthew Vaughn can only touch upon a few. Mungkin dapat sedikit lebih baik jika konsisten berfokus pada kekuatan waralaba yang sudah mapan meskipun memang settingnya berbeda, jadi excitement itu tidak hanya hadir di bagian akhir ketika goals telah berhasil dicapai. Mengapa The Kingsman menarik? Karena ia punya wild core yang sayangnya absen di sini, pesona nakal itu digantikan dramatisasi yang mungkin Vaughn anggap dapat membuat cerita terasa semakin deeper, which for some reason didn't end well.


Tidak semuanya minus tentunya, ada beberapa action sequences yang terhitung oke dalam memacu adrenalin untuk sesaat sebagai potongan (that moment when British meets German is good), begitupula dengan kinerja akting para aktor. Ralph Fiennes memberikan pesona yang oke bagi Orlando sedangkan sebagai pembantu karakter Gemma Arterton terasa quiet appealing. Yang paling memorable adalah Rhys Ifans sebagai Grigori Rasputin, sedikit over-the-top but still work walaupun sayang sekali kesempatannya muncul terbatas sebagai kayu yang terus membakar misteri. Teknik yang tidak lagi segar memang tapi tidak buruk hasil akhirnya, berhasil mengantar  nonsense prequel ini setidaknya tidak kehabisan nafas dan berhasil menyentuh garis akhir, at least berhasil menyajikan apa yang ingin ia sampaikan sejak awal.

Overall, ‘The King's Man adalah film yang kurang memuaskan. Beberapa action sequences yang oke tetap tidak mampu menolong hasil akhir film ketiga Kingsman ini, sebuah penulusuran terhadap asal mula the Kingsman Association terbentuk yang membawa kualitas franchise kembali turun tingkat meskipun dari segi cerita memang berhasil mencapai target utamanya. Arahnya jelas tapi dengan motif yang tidak kuat sejak awal di bawah arahan Matthew Vaughn film ini justru lebih sering berputar-putar dengan kesan jauh dari kata solid, mendorong ambisi besar namun kelimpungan saat menata dan mengurai, completely overloaded and also extremely inconsistent tonally dalam menyajikan pondasi awal Kingsman, yang sebenarnya bisa disampaikan bahkan dalam bentuk short film saja, jika memang dibutuhkan.






1 comment :

  1. "Son, the truth is, the world is ruled by corruption and greed."

    ReplyDelete