09 March 2021

Movie Review: The Mauritanian (2021)

“You can't win a case if you don't believe your own shit.”

Tragedi 11 September 2001 meninggalkan tugas berat bagi pemerintah USA kala itu di mana salah satunya tidak hanya tentang bagaimana secepat mungkin menemukan pelaku dari aksi terorisme tersebut namun juga upaya memulihkan situasi negara yang mungkin diselimuti dengan rasa panik dan rasa takut. Salah satu cara yang kala itu diambil oleh George W. Bush sebagai Presiden USA adalah dengan mendirikan The Guantanamo Bay detention camp, berlokasi di negara Kuba dan menjadi tempat “menampung” orang-orang yang dicurigai terlibat terorisme. Celakanya sistem yang berlaku di sana adalah rough justice, penahanan tanpa batas waktu karena memang tidak ada pengadilan. A major breach of human rights. ‘The Mauritanian’ : terms and conditions apply.


Ketika ia sedang hadir di sebuah acara pria bernama Mohamedou Ould Salahi (Tahar Rahim) tiba-tiba didatangi oleh pihak kepolisian yang meminta dirinya untuk ikut dengan mereka. Salahi tidak mencoba melakukan perlawanan dan tunduk dengan permintaan tersebut, namun sesaat sebelum pergi meninggalkan Ibu tercinta, Salahi menghapus semua data yang tersimpan di dalam telepon genggam miliknya, benda yang kemudian ia serahkan ke pihak kepolisian Mauritania. Salahi ditangkap pada bulan November tahun 2001, dua bulan setelah serangan 11 September 2001.

Salahi diduga menjadi bagian dari tim yang menyusun rencana penyerangan dengan target Menara Kembar World Trade Center. Salahi berulang kali menyangkal tuduhan tersebut dan perlahan mulai kehilangan harapan untuk bisa keluar dari Guantanamo Bay detention camp. Namun suatu ketika harapan bagi Salahi muncul lewat sosok lawyer bernama Nancy Hollander (Jodie Foster) yang bersama dengan associate Teri Duncan (Shailene Woodley) memutuskan untuk membantu Salahi keluar dari GTMO via jalur hukum. Celakanya jalan mereka tidak mudah.

Judulnya memang menggunakan latar belakang dari karakter utama Salahi tapi isu yang paling mencolok dan langsung mencuri perhatian sejak awal justru terletak pada ketidakadilan yang sepertinya tidak eksis di dalam Guantanamo Bay detention camp. Sutradara Kevin Macdonald bersama tiga orang Screenwriter M.B. Traven, Rory Haines, dan Sohrab Noshirvani seperti paham akan “senjata” yang mereka miliki itu sehingga tidak heran isu tersebut yang langsung didorong dengan cepatnya menuju ke hadapan penonton. Ada “aura” negatif yang begitu kuat dari Guantanamo Bay yang kemudian dieksploitasi secara perlahan oleh Kevin Macdonald lewat berbagai rintangan yang harus dihadapi tidak hanya oleh Salahi namun juga Nancy dan Teri.

Saya suka cara narasi menempatkan penonton, di satu sisi kita digiring untuk secara perlahan percaya bahwa sosok Salahi ini bukan seorang terdakwa yang bersalah. Belum tentu benar tentu saja, namun asumsi semacam ini selalu penting untuk didorong agar berdiri tegak di samping penonton, menjaga penonton untuk secara perlahan masuk di dalam asumsi tersebut tadi. Caranya sendiri terasa simple namun cukup efektif, yakni dengan mendorong pihak lain yang ada di sisi seberangnya untuk tampak seperti antagonis, yaitu pemerintah USA yang di sini punya wakil pada sosok Lt. Colonel Stuart Couch (Benedict Cumberbatch). Meskipun dia terasa kurang digunakan lebih jauh tapi Stuart Couch oke sebagai jangkar bagi sisi antagonis.

Sebagai jangkar untuk menjaga agar kesan mengerikan yang dimiliki Guantanamo Bay terus terjaga. Guantanamo Bay, lengkap dengan segala macam “keistimewaan” yang ia punya itu merupakan bagian dari rencana pemerintah USA untuk mencoba meningkatkan sistem keamanan mereka pasca tragedi 9/11. Ini tentu saja tidak akan mudah untuk diterima oleh banyak orang namun dengan kekuasaan yang mereka punya tentu yang dilakukan oleh pemerintah USA kala itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, ada alasan untuk melindungi negara, mereka tangkap lalu jebloskan siapa saja orang yang mereka curigai ikut maupun sekedar memiliki koneksi dengan Osama bin Laden dan organisasi Al-Qaeda.

Tidak ada eksploitasi yang berlebihan dari Kevin Macdonald di sana, terutama pada bagian awal ketika ia sukses menggiring penonton pada penilaian “negatif” terhadap pemerintah USA tadi. Sudah ada antagonis maka harus dilengkapi dengan sedikit memeras karakter pusat untuk mencuri atensi bahkan simpati penonton terhadap situasi yang ia sedang hadapi. Itu dilakukan dengan baik oleh Mohamedou Ould Salahi dengan menjalani berbagai macam tindak kekerasan baik secara fisik maupun juga psikis, sangat mudah untuk percaya bahwa Salahi bukan orang yang bersalah, bahwa ia tidak terlibat di dalam rencana keji yang disusun oleh sekutu Taliban itu. 

Kombinasi akan dua hal di atas merupakan sesuatu yang sangat diincar oleh Kevin Macdonald dan tim penulis sejak awal, membuat kamu terkepung dan kemudian bermain-main bersama rasa ragu akan hal siapa sebenarnya “penjahat” di dalam kasus ini. Situasi tersebut yang pada akhirnya membuat peran Nancy Hollander sempat terasa begitu menonjol, proses interogasi ia bangun secara perlahan berhasil menghancurkan dinding yang menghalangi terungkapnya fakta sesungguhnya. Saya juga suka beberapa materi komedi yang diselipkan, cukup oke menjaga agar tone cerita tidak terasa terlalu dark. Tapi hal terakhir itu juga yang menghadirkan sedikit masalah bagi ‘The Mauritanian’, yakni tidak ada bagian yang terasa sangat kuat.

Ya, ini terasa kurang dinamis jika menilik isu yang tersimpan di dalam materi cerita. Proses dan proses, semua dikemas dengan baik terutama pada runtutan bagaimana pada akhirnya Salahi mau “terbuka” dengan Nancy, tapi ada satu momen di mana penonton dibawa untuk beralih dari mode investigasi menuju proses peradilan, pintu masuknya melalui sebuah pengakuan dari Salahi. Momen tersebut seharusnya menghadirkan ledakan yang kuat dan besar tapi sayangnya punch yang saya rasakan biasa saja. Dan itu belum menambahkan bagaimana momen tersebut seharusnya menjadi puncak kehancuran psikis seorang Salahi, seharusnya ada dramatisasi yang lebih kuat lagi di sana.

Tapi anehnya kualitas yang hadir dari momen tersebut tidak terasa mengejutkan  karena tidak peduli seberapa dalam saya merasa terlibat dan kemudian tertarik di dalam kasus Salahi ini, yang tentu berhasil dikemas dengan baik, tapi di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa semua berjalan dengan irama yang cenderung terlalu stabil. Dramatisasi ada tapi di tiap kemunculannya tidak membawa irama narasi menciptakan loncatan yang besar, seperti musik metal yang digunakan dalam cerita itu misalnya. Saya juga kurang begitu suka dengan cara Kevin Macdonald dan tim penulis memperlakukan karakter Lt. Colonel Stuart Couch, mereka “menjinakkan” karakter yang punya potensi besar untuk menunjukkan tajinya, walau untuk sesaat.

Kombinasi berbagai minus kecil tadi yang membuat ‘The Mauritanian’ tidak terasa terlalu memorable, ia hadir mendorong sebuah isu, memaparkannya dengan baik kepada penonton, membuat penonton merasakan isu tersebut tapi tidak mencoba untuk “membakar” emosi penonton dengan menggunakan isu tentang ketidakadilan yang ada di dalam cerita. Salahi mereka siksa tapi di sisi lain image pemerintah USA yang merupakan dalang di balik sistem aneh di dalam Guantanamo Bay itu terasa seperti mereka jaga pula. Saya tidak suka dengan punch akhir, cenderung standard, tidak heran jika secara kumulatif setelah mereka semua digabungkan, well, tidak ada yang terasa spesial, tidak seperti kinerja akting dari Rahim dan Foster.

Overall, ‘The Mauritanian’ adalah film yang cukup memuaskan. Sebagai sebuah biografi dari salah satu korban “rough justice” sebuah pemerintahan film ini telah menjalankan tugasnya dengan baik, tertata dengan efektif terutama ketika bercerita tentang kronologis dari “penyiksaan” yang dialami oleh Salahi di dalam Guantanamo Bay. Ditunjang dengan kinerja akting mumpuni dari para aktor, terutama dari Tahir Rahim dan Jodie Foster, ini mencapai sasaran yang ingin ia capai. Sayangnya hal itu tanpa disertai dengan dramatisasi yang sedikit lebih tajam lagi, yang tidak hanya sekedar works fine saja. Oke.






1 comment :

  1. “How can you defend me if you don't even know what I'm charged with?”

    ReplyDelete