11 December 2020

Movie Review: On the Rocks (2020)

“Can a man ever be satisfied with one woman?”

Sofia Coppola movies are always tricky. Wanita ini memiliki keunikan tersendiri pada pendekatan yang ia terapkan pada tiap isu yang coba ia sajikan, tampak terlalu biasa sudah menjadi pemandangan yang lazim dari fillm-filmnya. Namun tampak biasa bukan berarti tidak luar biasa. Di film terbarunya ini Sofia Coppola tidak menyajikan konflik tingkat tinggi, kita bertemu dengan seorang wanita yang menjadi mayoritas wanita pada umumnya, menggunakan perasaan mereka ketimbang logika kemudian hanyut di dalam aksi overthinking. Oh, no! ‘On the Rocks’ : a beauty in minor key.


Tinggal di sebuah apartement di kawasan Manhattan, New York, wanita bernama Laura Keane (Rashida Jones) merupakan seorang penulis yang kini menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga, kesehariannya berisikan aktifitas mengasuh kedua anak perempuannya. Kehidupan Laura tampak jauh dari kata membosankan karena dia memang selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan yang telah rutin, berbeda jauh dengan keseharian yang dimiliki sang suami, Dean (Marlon Wayans). Dean adalah seorang entrepreneur di bidang teknologi start-up yang sedang gencar mencoba untuk berkembang menjadi semakin besar.

Tidak tampak sesuatu yang aneh di hubungan pernikahan Laura dan Dean, hingga suatu ketika Dean menunjukkan “sikap aneh” yang tidak biasa di atas tempat tidur. Celakanya sikap tersebut membuka pintu masuk bagi rasa curiga Laura terhadap suaminya tersebut, terlebih kini Dean lebih sering menghabiskan waktunya bersama rekan kerjanya, Fiona Saunders (Jessica Henwick). Awalnya Laura yakin bahwa dia terlalu melebih-lebihkan hal kecil tersebut, namun arah pemikiran Laura tersebut berubah ketika ia bertemu dengan sang Ayah, Felix Keane (Bill Murray), pria paruh baya yang gemar menggoda wanita, ia yakin bahwa Dean menyembunyikan sesuatu dari Laura.  

Hanya butuh waktu tiga menit bagi seorang Sofia Coppola untuk membuat penonton merasakan ada sesuatu yang “ganjil” sedang terjadi di dalam pernikahan Laura dan Dean. Menariknya titik start itu hadir lewat cara yang terasa sangat sederhana, lebih dahulu memperlihatkan kepada kita Laura dan Dean pada saat mereka menikah yang sukses membuat saya merasa bahwa mereka pasangan yang tidak terlalu kaku. Dari sana kemudian kita dibawa berpindah menuju scene di malam hari, di atas kasur Laura sedang menonton acara komedi di televisi, lalu Dean datang menghampirinya dan kemudian mereka bercumbu. Kuncinya ada pada kondisi Dean saat itu, mungkin ia sedang mabuk, atau memang dia sedang sangat lelah dan kantuk berat.


Tapi dari sana muncul gejolak di dalam diri Laura. Ya, di sini Sofia Coppola bermain dengan cantik, ia menggunakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh para wanita pada umumnya: terkadang lebih sering mengandalkan perasaan ketimbang logika mereka. Konflik utamanya sendiri sebenarnya sangat sederhana, yaitu rasa curiga yang semakin tidak terkendali, namun dari plot utama itu kemudian hadir berbagai sub-plot manis lainnya. Dean sendiri merupakan karakter yang dibentuk oleh Sofia untuk meninggalkan kesan tidak “dipoles” berlebihan, ada kesan sedikit mentah di dalam Dean, lampu sorot sangat jarang terlalu lama mengarah padanya. Tapi di sini ia menjadi seorang poacher, bukan seorang troublemaker.

Berbagai aksi dari Dean digunakan oleh Sofia Coppola untuk memantulkan berbagai asumsi yang hadir, tumbuh, dan mulai berkecamuk di dalam pikiran dan hati Laura. Dan untuk membuat Laura “runtuh” lebih cepat Sofia Coppola kemudian masukkan karakter Felix Keane sebagai kompatriot. Awalnya saya mengira bahwa sebagai Ayah maka Felix akan membantu Laura untuk berpikiran positif, tapi celakanya yang ia lakukan justru sebaliknya. Tapi hal itu justru membuat cerita berkembang menjadi semakin menarik dan dinamis. Bayangkan saja seorang wanita yang sedang galau dengan perasaannya justru terus “dibakar” emosinya oleh Ayahnya yang merupakan seorang playboy dan gemar merayu wanita.


Felix percaya bahwa setiap pria secara biologis telah terikat dengan hasrat untuk berselingkuh. Felix adalah senjata mematikan milik Sofia Coppola, ia adalah motor utama serangan di dalam cerita yang juga membuat Luara dapat fokus menyajikan gejolak emosinya yang semakin tinggi. Bergerak perlahan, ‘On the Rocks’ merupakan film Sofia Coppola yang bermain dengan cara Sofia Coppola, sebuah potret tentang manusia yang tenggelam di dalam palet emosi berisikan rasa manis dan tentu saja pahit. Ya, bittersweet, bersama dengan isu overthinking ia terkadang sedikit terbang dengan kesan dreamy lalu kemudian mendarat dan kembali menjadi melankolis, terasa bijak dan tenang, menciptakan kombinasi manis dan nakal yang terasa charming.

Dan saya suka dengan keputusan Sofia Coppola untuk tidak menggali terlalu dalam permasalahan yang berputar di dalam cerita, ada aksi investigasi namun itu lebih ke arah upaya menciptakan jalan bagi isu dan pesan lain yang sebenarnya tidak kalah menarik, yaitu hubungan antara ayah dan anaknya. A dad is a daughter's first love, lihat cara Felix mendorong Laura dengan kuat bukan karena ia membenci Dean tapi karena indera keenam Felix bergerak untuk melindungi anak perempuannya. Kita tidak butuh eksposisi bagaimana Felix dapat mengetahui banyak hal tentang Dean, namun kita dapat rasakan kasih sayang yang ia miliki terhadap anak perempuannya itu. Masalah yang Felix bawa justru membuat Luara masuk ke dalam sebuah mature meditation.


Masalah barunya itu memaksa Laura untuk memperbaiki dan membangun kembali koneksi dengan orang-orang di sekitarnya yang sangat ia cintai. Sofia tidak dorong itu terlalu jauh namun ia mainkan dengan minor key, tidak tampak di posisi depan namun terasa standout. Ketika jam di tangan Laura itu berganti di penghujung cerita ada punch yang tidak terlalu kuat tapi sangat bulat dan padat, membuat perjalanan yang ia lakukan sebelumnya seperti sebuah proses yang harus ia lalui untuk dapat melangkah maiju lebih jauh lagi. Sofia Coppola kembali menggunakan visual dengan sangat baik, tidak hanya pada detail kecil seperti tadi tapi juga membantu karakter menyampaikan apa yang mereka rasakan sembari terus bermain di dalam kepedihan yang bittersweet. 

Ya, itu mengapa film-film Sofia Coppola merupakan hiburan yang tricky, karena ia tidak gemar menancapkan ide utama dengan kuat di tengah dan lalu menjadi pusat yang kaku bagi cerita berputar. Yang ia lakukan justru menciptakan kisah yang tampak simple dipenuhi dengan pergerakan narasi di mana konflik tampak seperti menggantung dan penuh misteri, tapi di sisi lain mempersilahkan penonton bermain dengan berbagai interpretasi menarik yang lahir dari setting cantik yang ia ciptakan untuk kemudian bertemu dengan bittersweet poignancy. Ada act of life defining di sini, baik itu pada diri Laura, Felix, dan bahkan Dean, bagaimana berawal dari rasa curiga itu mereka diingatkan kembali pada betapa manis orang-orang yang mereka sayangi tersebut.


Dan perjalanan itu berhasil tercipta bukan hanya karena kepiawaian Sofia Coppola dalam menyusun script dan menatanya ke dalam rangkaian cerita yang tenang tapi dinamis, namun juga karena didukung kinerja akting yang memikat dari para aktor. Sebagai karakter utama tugas Laura adalah menjadi wanita yang goyah emosinya, hal itu ditampilkan dengan baik oleh Rashida Jones terutama pada cara ia membuat Laura terus terbelenggu di dalam rasa ragu. Marlon Wayans tampil oke sebagai Dean dan Jenny Slate punya kesempatan yang ia gunakan dengan baik. Ya, Bill Murray adalah yang paling bersinar, sebagai Felix ia terasa nyaman, santai, mampu tampil lucu saat dibutuhkan, dan membuat Felix memiliki pesona yang sangat irresistible.

Overall, ‘On the Rocks’ adalah film yang sangat memuaskan. Sebuah potret tentang manusia yang tenggelam di dalam palet emosi, Sofia Coppola menciptakan sebuah mature meditation yang terasa charming dengan bergerak nakal dalam ritme yang tenang dan santai. Mendorong misteri yang akan membuatmu ikut bermain dengan interpretasi, ‘On the Rocks’ merupakan sebuah kesedihan bittersweet yang menjadi penggambaran bagaimana we all just want to be loved. Sofia Coppola hadirkan itu dengan cara yang sederhana, tidak ia dorong terlalu jauh namun ia mainkan dengan minor key yang terasa mencolok, mereka tidak tampak di posisi depan namun sukses terasa standout melengkapi an act of life defining with a bittersweet poignancy. Segmented.







1 comment :

  1. "Women, you can't live with 'em, you can't live without 'em. That doesn't mean you have to live with 'em."

    ReplyDelete