20 December 2020

Movie Review: I'm No Longer Here (2019)

“Make the star, man.”

Dari poster-nya mungkin kamu akan langsung teringat dengan salah satu istilah gaul yang sempat trend beberapa waktu yang lalu, yaitu istilah jamet, mereka yang tampil dengan menggunakan pakaian yang mungkin bagi mayoritas orang akan terkesan “aneh”, meskipun pasti ada pula yang menilai mereka unik. Karakter utama di film ini berada di kelas yang sama dengan orang-orang yang bergoyang menggunakan lagu Dindin Badindin itu, sebuah kisah anak muda yang mencintai sebuah genre dan memegang teguh prinsipnya di dalam proses pencarian jati diri yang sedang dijalani. ‘I'm No Longer Here (Ya no estoy aquí)’: I’m sorry Guillermo del Toro, I’m sorry too Alfonso Cuarón.


Tahun 2011, remaja berusia 17 tahun yang sedang beranjak dewasa bernama Ulises Sampiero (Juan Daniel Garcia Treviño) bersama dengan beberapa orang temannya membentuk sebuah perkumpulan music yang mereka beri nama "Los Terkos." Yang mereka usung adalah sebuah counter-culture bernama Kolombia, sebuah gaya hidup yang menikmati musik dengan menari mengikuti irama Cumbia rebajada, subgenre dari Cumbia dengan irama yang lebih lambat. Tidak heran jika Ulises dan anggota Los Terkos memulai tarian mereka dengan cara yang lambat dan kemudian akan bertambah cepat mengikuti irama.

Kelompok Los Terkos sendiri mudah untuk dikenali, mereka identik dengan pakaian longgar dan nyentrik serta rambut yang sangat eksentrik, rutinitas mereka adalah menghadiri berbagai pesta untuk memperkenalkan kelompok mereka. Tapi celaka bagi Ulises ketika ia dan kelompoknya bertemu dengan organisasi kriminal Los F, sebuah aksi jahilnya membuat Ulises menjadi target dan keselamatan keluarganya menjadi terancam. Ulises memutuskan untuk pergi dari Monterrey dan mencoba memulai hidup baru, hal yang sayangnya tidak ia temukan dengan mudah.

Sutradara sekaligus Screenwriter Fernando Frías de la Parra (di review kali ini akan disebut sebagai Frias) mendorong sebuah ide yang sangat menarik di film ini di mana ada kisah tentang sebuah pencarian jati diri dari manusia yang dapat dikategorikan sedikit “berbeda” dari masyarakat di sekitarnya. Yang coba dilakukan oleh Ulises jelas bukan sesuatu yang salah, ia menikmati sesuatu yang hadir dalam bentuk irama musik Cumbia rebajada lalu mencoba untuk “menunjukkan” pada dunia tidak hanya eksistensi namun juga keindahan yang dimiliki hal yang ia sukai tersebut tadi. Itu adalah premis yang oke, ada tantangan di sana yang tentu saja akan ditemani dengan berbagai rintangan, bagi Ulises itu datang dari penilaian orang-orang di sekitarnya.


Frias membentuk premis tadi dengan baik di awal, ia langsung menarik saya untuk tertarik dengan keunikan yang dimiliki Ulises serta anggota Los Terkos, tidak hanya sekedar pada tarian dan gaya berbusana mereka yang terasa mencolok saja namun juga pada aksi mereka yang cenderung sedikit anarkis untuk dapat bertahan hidup. Untuk hal ini Frias melakukan pekerjaan yang baik, ia tidak membuat Ulises sebagai boneka untuk mengagungkan aksi kekerasan, ia juga tidak mengeksplotasi tragedi yang dimiliki oleh Los Terkos dengan kondisi mereka yang minor jika dibandingkan dengan lingkungan sekitar mereka. Frias justru mencoba mendorong perdebatan terhadap stigma bagaimana kaum marjinal seperti Ulises dan Los Terkos lebih sering dianggap sebelah mata ketika mereka mencoba “menawarkan” hal baru pada dunia.

Kesempatan bagi orang-orang seperti Ulises dan Los Terkos cenderung kecil di era seperti sekarang ini, bukan pada mendapatkan perhatian tapi untuk dapat memaku eksistensi mereka sebagai bagian penting di dalam kehidupan bermasyarakat secara luas. Stereotip “negatif” lebih mudah melekat pada orang-orang seperti Ulises dan Los Terkos, Frias dorong realita yang juga terjadi saat ini itu agar menjadi spotlight sembari memberi kesempatan yang menurut saya cukup besar dan luas bagi Ulises dan Los Terkos untuk menunjukkan hal yang mereka sukai tersebut. Itu membuat narasi menggunakan cukup banyak waktu untuk mengeksplorasi proses membentuk jati diri serta mempertahankan identitas yang dilakukan oleh Ulises dan Los Terkos.


Jalan yang digunakan oleh Frias tergolong umum yakni dengan memasukkan Ulises ke dalam sebuah lingkungan baru dan membuatnya merasa sepi karena perbedaan yang ia punya. Jika di paruh pertama Frias mencoba membentuk agar cerita dan juga karakternya memiliki kesan authentic yang kental maka di paruh kedua ia mencoba membawa Ulises naik satu level dengan tantangan baru, bertemu dengan dunia yang lebih keras lengkap dengan berbagai kesulitan yang tidak ia temui saat di Monterrey. Simpati terhadap Ulises yang telah eksis sejak awal semakin dikuras oleh Frias, ia seolah ingin agar penonton memiliki koneksi yang semakin kuat dengan karakter utamanya itu. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.

Saya menikmati tiap detik saat Ulises bersama Los Terkos mencoba menunjukkan pada penonton siapa mereka, apa yang mereka suka, dan juga apa yang ingin mereka capai, sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana. Tapi ketika mereka mulai masuk ke babak baru di mana seharusnya perjuangan tersebut mereka poles agar tampak semakin menarik, Ulises goyah. Setting lingkungan baru membawa Ulises seperti lost in translation, pesona dari perjuangan di awal perlahan mulai membisu dan tidak menciptakan impact yang kuat di tiap bagiannya. Memang di paruh kedua itu Frias mencoba menggeser fokus cerita ke arah proses bagi Ulises mulai “belajar” betapa kerasnya dunia asing yang baru ia kenal tersebut. Tapi kesan disjointed justru hadir.


Masih tetap ditemani dengan gambar-gambar yang manis dari Damian Garcia, Frias mengisi paruh kedua dengan hal-hal yang kurang impactful dalam pace yang kendor. Niatnya mungkin agar perjuangan Ulises semakin meresap ke dalam pikiran dan hati penonton, tapi yang hadir justru sebuah aksi menunggu cerita yang ternyata menjadi overstretched sembari menyaksikan beberapa pengulangan yang terasa seperti filler belaka. Itu membuat punch emosi yang dihasilkan oleh pesan utama terkait identitas misal terasa kurang kuat, sekalipun Ulises yang diperankan dengan baik oleh Juan Daniel Garcia Treviño tetap berhasil menggenggam atensi penonton namun pesan hanya sebatas tiba di garis finish, tanpa sesuatu yang kuat untuk dirayakan.

Overall, ‘I'm No Longer Here (Ya no estoy aquí)’ adalah film yang cukup memuaskan. Perwakilan Meksiko di kategori "Best International Feature Film" Oscars edisi ke-93 ini merupakan sebuah penggambaran proses pencarian jati diri yang dari segi materi serta pengemasan terasa berani, tapi sayangnya untuk hal yang terakhir tadi hanya muncul di paruh pertama. Dimulai dengan kuat berkat pesona eksentrik dan unik yang dimiliki karakter, Frias menampilkan sebuah surat cinta untuk musik (?), kebangkitan yang berawal dari kekuatan musik ditemani dengan proses pencarian identitas atau jati diri karakter utamanya. Tapi output yang dihasilkan kurang kuat, terutama terkait emosi yang berputar di dalam perjuangan tersebut, bermain terlalu jauh dengan hal-hal cheesy serta membuat jalannya cerita jadi terasa disjointed. Hasilnya, sebuah penggambaran bittersweet tentang budaya dan kehidupan yang mencapai garis finish saja, tanpa sesuatu yang terasa kuat untuk dirayakan di sana. Segmented.










1 comment :