25 October 2020

Movie Review: Judy & Punch (2019)


“He won't be winning anymore because I'm going to kill him.”

Manusia tidak diciptakan untuk selalu hidup dengan rasa bahagia, ada perasaan lain yang juga eksis di sampingnya dan untuk mengatur semua itu kita dibekali dengan kemampuan mengelola impuls, emosi, dan perilaku yang disebut dengan self-control. Karena potensi hadirnya godaan serta dorongan hati yang dapat membawa manusia ke dalam masalah selalu ada dan di sana fungsi eksekutif tadi bekerja sebagai pengatur. Tampak berat? Tidak, justru pendekatan yang digunakan film ini terasa ringan, berawal dari pertunjukkan boneka hingga bertemu dengan tragedi ada amarah dan tawa di sana, semua dikemas simple dan tajam. ‘Judy & Punch’ : an effective punchy and smashy tragedy.


Punch (Damon Herriman) merupakan seorang puppeteers atau dalang pertunjukkan boneka yang tinggal di kota Seaside, sosok dengan ambisi yang sangat besar dan sangat optimis bahwa ia dapat membawa pertunjukkan boneka tidak hanya kembali mendapat perhatian penduduk kota terpencil di Inggris itu, namun juga naik level ke tingkat nasional. Celakanya kelihaian sosok yang dikenal sebagai Professor Punch itu tidak mencerminkan kepribadian yang layak menjadi panutan, citranya yang oke berkat kepintarannya dalam bertutur kata ternyata tidak eksis di kehidupan Punch sehari-hari.

Punch memiliki drinking problem dan hal tersebut selalu terasa merepotkan bagi Istrinya, Judy (Mia Wasikowska). Tinggal bersama Punch dan juga anak mereka, wanita yang selalu berhasil meraih atensi dan hati dari para penonton itu kesulitan jika harus berhadapan dengan Punch yang sedang mabuk, karena otak dan emosi Punch akan tidak terkendali serta ia akan melakukan tindak kekerasan. Dan suatu hari pria yang sangat menyukai sausage itu menciptakan bencana besar, berawal dari ketika ia diminta untuk merawat anak mereka ketika Judy harus membersihkan teater pertunjukkan.

Catatan yang paling menonjol dari film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Mirrah Foulkes ini adalah bagaimana ia mampu to keep it simple secara konsisten sejak awal hingga akhir. Yang coba ia ceritakan dari naskah yang juga ia tulis sendiri itu sebenarnya cukup beragam, seperti awalan sebuah pertunjukkan boneka dengan berbagai kisah kelam di balik industri tersebut, sesuatu yang mungkin coba dibentuk sebagai sebuah sindiran terkait hal serupa yang masih eksis hingga kini. Dari sana kita kemudian dibawa menyaksikan begitu banyaknya batu kerikil yang menghiasi pernikahan dua karakter utama, dari koordinasi untuk saling membantu satu sama lain serta makna dari sebuah pernikahan di mana dua insan saling membutuhkan.


Tentu ada emosi pada isu-isu tersebut dan mereka dihadirkan oleh Mirrah Foulkes dalam bentuk “pertunjukkan emosi” penuh ledakan. Meminjam kalimat dari Punch maka emosi dihadirkan secara punchy and smashy, memanfaatkan setting waktu period drama pada cerita penonton disajikan berbagai aksi kekerasan baik secara fisik maupun verbal yang tidak tanggung-tanggung, mereka terasa tajam. Jelas sekali posisi Judy adalah sebagai pihak tertindas di sini sedangkan Punch berlaku sebagai antagonis dengan self-control ability yang sangat buruk. Namun yang coba disorot oleh Foulkes tidak hanya itu, dari sana ia kembangkan masalah menjadi semakin luas di mana salah satunya adalah mencoba melakukan tackle pada isu sosial.

Salah satunya adalah bagaimana mudahnya orang-orang jatuh ke dalam berita palsu dan kemudian bersikap menghakimi dalam kondisi mata tertutup, menolak untuk mencari tahu atau sekedar memilah mana yang benar dan mana yang salah. Selain memiliki pesona pria dengan ambisi dan mimpi yang besar, di sisi lain Punch juga punya pesona maniputalif yang menarik, he’s the real puppeteer. Itu yang digunakan oleh Mirrah Foulkes sebagai senjata utama dalam menghadirkan transisi dari yang awalnya tampak seperti sebuah black comedy menjadi sebuah drama penuh tragedi. Di awal adalah tentang pertunjukkan boneka yang tampak memiliki potensi besar tapi kemudian bergeser menjadi dramatisasi tentang sosial dengan cara yang ringan.


Ya, ringan. Tone cerita yang terasa santai dan ringan sejak kita berkenalan dengan Judy dan Punch itu mampu dipertahankan dengan baik hingga akhir, termasuk pada momen di mana isu terasa lebih berat dan emosi juga dituntut lebih kelam. Mirrah Foulkes mampu menata pesona dari tiap karakter termasuk mereka yang berada di sekitar Judy dan Punch untuk juga memiliki kesan comical yang menarik. Itu yang membuat gerak dari narasi menjadi tidak terlalu terbebani saat bercerita, di bagian yang peruntukannya menjadi lucu ia terasa ringan begitupula saat cerita yang hadir sedikit lebih tragic. Geraknya yang halus membuat terasa mudah bagi penonton untuk mengikuti irama bercerita yang Mirrah Foulkes hadirkan.

Hal tersebut pula yang membuat kualitas overall dari kesan tragic pada kisah ini terasa oke. Punch merupakan seorang dalang boneka, penonton bersorak gembira saat menyaksikan ia “memanipulasi” mereka lewat gerakan-gerakan menarik dari para boneka, terutama pada konsep kekerasan yang ia usung. Tidak heran ketika hal tersebut terjadi di dunia nyata semua warga otomatis menjadi boneka bagi Punch. Termasuk di dalamnya adalah karakter Judy yang di sisi lain kesempatannya tidak terlalu dominan ketimbang Punch. Judy ibarat boneka yang akhirnya mendapatkan kembali nyawa yang selama ini telah direnggut darinya, dan hal itu ia gunakan untuk membalaskan dendam kepada orang yang menyakitinya.


Tidak ada upaya menggali terlalu dalam di tiap bagian cerita oleh Mirrah Foulkes, yang ia lakukan justru menjaga agar setiap isu dan pesan sederhana yang dibawa hadir lewat konflik yang juga dikemas secara sederhana. Alhasil ketika film berakhir tidak ada punch yang terasa sangat kuat di sana, namun lebih kepada kumpulan dari berbagai isu dan pesan sederhana yang tiba di garis finish dan berhasil “diterima” oleh para penontonnya ketika kamera bergerak menjauh dari pertunjukkan boneka itu. Hal yang sama juga Mirrah Foulkes terapkan di departemen akting di mana Mia Wasikowska dan Damon Herriman memberikan kinerja akting yang terasa efektif, sama seperti score dari François Tétaz.

Overall, ‘Judy & Punch’ adalah film yang cukup memuaskan. Membawa berbagai isu dan pesan yang membuat ceritanya jadi terasa variatif, Mirrah Foulkes berhasil melakukan sebuah debut penyutradaraan yang jelas berhasil membuat mata orang tertuju pada dirinya sebagai Sutradara. Sebuah kumpulan tragedi yang bersembunyi dengan manis di balik topeng black comedy, ‘Judy & Punch’ adalah sebuah simple drama yang tidak membuat penonton bertemu dengan punch sangat kuat di bagian akhir, karena berbagai “pukulan” tersebut telah ia sebar merata di dalam cerita dengan kualitas yang oke. Menariknya ‘Judy & Punch’ punya pesona unik yang mungkin akan membuatnya sangat mudah untuk terasa memorable.








1 comment :

  1. “Just keep moving forward and hope the rest of the world catches up.”

    ReplyDelete