22 October 2020

Movie Review: Deliver Us from Evil (2020)

“You’ll die in my hands if you keep chasing me.”

Ketika berbicara tentang dunia kriminal berisikan penjahat dalam wujud gangster maka kesan kejam dan mengerikan menjadi dua hal yang terpatri di pikiran kita sebagai penonton. Darah di mana-mana, tembakan peluru hingga sayatan pisau dan juga pedang yang seolah tanpa pandang bulu melibas mangsa yang telah diincar. Menggunakan konsep hukum pembalasan an eye for an eye and a tooth for a tooth film ini mencoba mengulik kehidupan dunia hitam para pemain di dunia kriminal itu namun tentu saja dengan sentuhan a la film-film Korea Selatan, yaitu bersama dengan permainan emosi di dalamnya. ‘Deliver Us from Evil’ : a hollow sorrow with a lot of blow.


Pria bernama Kim In-nam (Hwang Jung-min) merupakan seorang hitman yang sangat terkenal dan dapat diandalkan, tidak heran jika ia digunakan oleh Shimida (Park Myung-hoon) untuk membunuh pimpinan mafia Jepang, Koraeda (Kōsuke Toyohara). Usai menjalankan tugasnya tersebut In-nam yang senang menyendiri itu telah menyusun sebuah rencana besar, yaitu ia ingin pensiun menjadi seorang hitman. Keinginan tersebut bahkan telah In-nam persiapkan di mana ia memiliki Panama sebagai tujuan akhirnya.

Di Thailand wanita bernama Seo Young-joo (Choi Hee-seo) dihadapkan pada situasi pelik di mana sang anak, Yoo-min (Park So-yi) menjadi korban penculikan. In-nam dan Young-joo ternyata memiliki sejarah bersama, hal yang memaksa In-nam untuk melupakan sejenak keinginannya tadi dan kemudian terbang ke Thailand dan segera menyelamatkan Yoo-min. Celakanya di sana jalan In-nam tidak mudah karena di saat bersamaan ia bertemu dengan sosok liar bernama Ray (Lee Jung-jae) yang punya banyak cara dan akal untuk membunuh targetnya.

Pada scene pembuka penonton sudah dibawa oleh Sutradara dan Screenwriter Hong Won-chan untuk langsung terjun ke dalam “dunia kotor” yang dipenuhi dengan aksi keji serta kriminalitas. Gangster mungkin kalimat yang paling mewakili, pertarungan yang kemudian lahir berasal dari gesekan yang bermula dari pride para gangster itu sendiri. Cara Hong Won-chan memperkenalkan karakter utama Kim In-nam terasa kuat, ia sosok yang tampak dingin dan normal jika dilihat sepintas namun ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa ketika berurusan dengan tugasnya sebagai hitman. In-nam tidak pandang bulu, ia punya target dan hal tersebut yang akan terus ia kejar dan selesaikan, sosok jahat dengan pesona yang kuat.


Karakteristik tangguh yang dimiliki oleh In-nam tersebut yang digunakan oleh Hong Won-chan sebagai senjata utamanya dalam mengembangkan cerita yang kemudian akan membawa penonton terbang ke Thailand. Konsepnya sendiri tidak terasa baru dan spesial yaitu menggunakan pola aksi balas dendam yang berasal dari dua arah yang berbeda. Aksi kejar kemudian mendominasi narasi, ditata dengan baik oleh Hong Won-chan berkat kemampuannya membentuk agar target utama In-nam terasa menarik, ia selipkan latar belakang yang cukup oke sebagai pondasi bagi emosi yang bermain di dalam cerita. Ini menarik karena sosok yang biasanya bekerja dengan cara “menekan” habis-habisan mangsanya kini justru berada di posisi tertekan.

Pencapaian tersebut juga tidak lepas dari pesona yang oke dari Ray, sosok berdarah dingin yang langsung menyita perhatian, karena ia terasa lebih buas ketimbang In-nam. Kombinasi keduanya menciptakan aksi kejar yang terasa kontras karena walau terus mendorong sisi “cool” yang dimiliki oleh dua karakter yang menjadi tumpuan utamanya itu, di sisi lain Hong Won-chan juga mencoba agar emosi di dalam cerita juga ikut berkembang menjadi semakin kuat dan besar. Tidak heran jika meskipun sangat didominasi dengan elemen action namun ‘Deliver Us from Evil’ juga memiliki pesona sebuah studi karakter walau terasa sangat tipis. Kuncinya ada pada niat yang dimiliki In-nam untuk pensiun menjadi hitman, menambah dalam sisi tragis cerita.


Tapi sayangnya dramatisasi ‘Deliver Us from Evil’ ini terasa kurang kuat cenderung hampa. Ketika berurusan dengan adegan aksi Hong Won-chan berhasil memadukan berbagai pukulan dan tembakan agar menjadi kombinasi yang fun to follow, tapi saat berurusan dengan elemen drama eksekusinya terasa kurang engaging. Memang tidak sampai terasa datar dan hambar namun elemen drama yang sebenarnya punya tugas sangat penting bagi impact di bagian akhir itu terasa lack of energy. Karena memang di bagian ini karakter Kim In-nam tidak mendapat sokongan dari karakter lain, Yoo-min adalah karakter pasif yang kesempatannya sangat terbatas, sedangkan Seo Young-joo juga waktu tampilnya sangat minim.

Hasilnya cerita sangat bertumpu pada sosok In-nam dan juga Ray, dan tidak dapat dipungkiri ada bagian di mana mereka tampak kelelahan setelah melakoni berbagai adegan yang memompa adrenalin itu. Mereka bergerak layaknya mesin pembunuh yang kemudian menggerus sisi “manusia” yang mereka punya, punch yang mereka sajikan di tiap pukulan dan ledakan terasa kuat tapi sayangnya punch serupa tidak hadir ketika narasi mulai mendorong maju sisi cerita yang berkaitan dengan emosi. Adegan kecelakan yang kemudian melibatkan granat dan Yui itu seharusnya dapat membuat emosi penonton terpukul, tapi sayangnya yang terjadi justru dramatisasi yang terasa klise belaka.


Hong Won-chan terhitung beruntung karena kelemahan tersebut yang menurut saya merupakan sebuah kegagalan yang sangat disayangkan untung saja tidak sampai membuat ‘Deliver Us from Evil’ jadi terasa monoton dan membosankan. Dramatisasi yang ia punya memang tidak mencapai potensinya namun tidak dengan adegan aksi yang punya visualisasi mumpuni. Tone cerita juga terhitung tidak buruk terutama dalam menyokong karakter yang diperankan dengan baik oleh para aktor. Sebagai jangkar Hwang Jung-min terasa kuat dan mantap sedangkan pesona liar seorang Ray berhasil dimainkan dengan baik oleh Lee Jung-jae. Yang mengejutkan adalah Park Jung-min, ia sukses membuat Yui menjadi the real human di balik pekerjaan yang ia pilih itu. 

Overall, ‘Deliver Us from Evil (Daman Akeseo Goohasoseo)' adalah film yang cukup memuaskan. Ini tentu tidak membosankan, tapi dengan keberadaan sosok Yoo-min di dalam cerita membuat saya menaruh ekspektasi akan hadirnya elemen drama yang punya power untuk berbagi spotlight dengan elemen action yang terus digeber dengan visualisasi yang oke itu. Pertarungan antar karakter sebenarnya sudah menunjukkan sisi tragis dari manusia dan sebenarnya dapat menjadi lebih menarik lagi seandainya kualitas emosi yang dihasilkan dapat lebih baik dari ini. Dari segi action ini menghibur dan engaging, tapi sayangnya tidak dari segi drama sehingga membuat cerita yang menyedihkan itu terasa cukup hampa. Ya, saya akui, dengan adanya Hwang Jung-min dan Lee Jung-jae ekspektasi yang saya pasang di awal terlalu tinggi.









1 comment :

  1. “He’s out for blood to find the person that killed his brother.”

    ReplyDelete