25 October 2020

Movie Review: Blackbird (2019)

“You're here now, but tomorrow, you'll be dead. And we know.”

Mungkin akan terkesan aneh tapi di dunia ini eksis konsep yang mendasari bahwa manusia berhak mengakhiri hidupnya dengan menjalani eutanasia secara sukarela. Namanya hak untuk mati. Jika dipikir secara logika pasti akan terkesan aneh tapi jika ditelisik lebih jauh maka akan muncul perdebatan yang menarik. Hak tersebut tadi legal di beberapa negara seperti Australia, Belgia, Belanda, dan Kanada. Film ini mencoba menggunakan konsep tersebut sebagai kerangka utama cerita bagi berbagai isu dan pesan yang lebih luas dari sekedar praktik pencabutan nyawa manusia. ‘Blackbird’ : a quite meaningful and comprehensible drama.


Lily (Susan Sarandon) bangun dari tidurnya di pagi hari, mencoba mengenakan baju dan juga sepatunya tapi dengan nada sedikit marah ia justru mengusir suaminya, Paul (Sam Neill), yang datang ke kamar dan hendak membantunya. Lily tidak suka diperlakukan layaknya seorang wanita yang lumpuh dan tidak bisa apa-apa, walaupun kini gerak tubuhnya telah sangat terbatas ia mencoba untuk tetap melakukan semua aktivitasnya sehari-hari tanpa bantuan suaminya itu. Paul dan Lily di hari itu sedang bersiap menyambut kedatangan kedua anak perempuan mereka, Jennifer (Kate Winslet) dan juga Anna (Mia Wasikowska) di rumah mereka.

Jennifer tiba bersama suaminya Michael (Rainn Wilson) dan anak mereka Jonathan (Anson Boon), menyusul kemudian sahabat Lily yang bernama Elizabeth (Lindsay Duncan), sosok yang selalu ada di samping Paul dan Lily saat dibutuhkan. Anna tiba paling akhir bersama dengan pasangannya, Chris (Bex Taylor-Klaus) dan kedatangan mereka adalah yang paling dinanti mengingat hubungan Anna dan keluarganya itu yang kurang harmonis. Mereka semua berkumpul di rumah yang dibangun oleh Lily itu dengan mengantongi satu informasi yang sama, yaitu bahwa Lily ingin mengisi hari terakhirnya bersama mereka sebelum ia mencabut nyawanya sendiri.

Jujur saja saya sedikit ragu dalam menulis sinopsis di atas dengan pertimbangan utama ada pada apakah oke atau tidak menyelipkan informasi bahwa karakter utama memiliki niat untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Karena hal tersebut tidak secara gamblang langsung muncul di bagian paling awal cerita, mungkin di seperempat dari durasi total, namun masalahnya adalah isu tersebut kemudian akan sangat dominan dan mengisi hampir keseluruhan narasi hingga garis akhir. Sebelum tiba di momen terungkapnya fakta tersebut penonton terlebih dahulu dibawa berkenalan dengan karakter serta tentu mengidentifikasi bahwa ada masalah yang eksis di keluarga itu.


Masalah tersebut adalah hubungan yang tidak lagi harmonis, mungkin kesibukan masing-masing membuat mereka saling melupakan satu sama lain sehingga kualitas ikatan persaudaraan mereka menjadi renggang. Tapi isu tersebut merupakan salah satu bagian paling menarik dari cerita yang ditulis oleh Christian Torpe dari novel ‘Silent Heart’ yang juga telah diadaptasi ke dalam bentuk film Denmark dengan judul sama. Apakah ketika kelak kamu telah menikah dan mulai membangun keluargamu yang baru bersama pasanganmu maka keluargamu yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan juga saudara serta-merta akan kamu lupakan begitu saja?

Ada upaya menelisik isu tersebut di sini yang ditangani dengan baik oleh Sutradara Roger Michell (Notting Hill, Morning Glory, Le Week-End, My Cousin Rachel). Satu hal yang paling sukses meninggalkan kesan kuat ialah kesuksesan Roger Michell dalam membentuk tone dan atmosfir “ganjil” sejak pertama kali kita bertemu dengan para karakter, lalu kemudian mempertahankan kualitasnya sembari secara perlahan juga menambah kuantitas potensi akan hadirnya gesekan atau friksi di antara karakter. Family meeting bukan sesuatu yang “mudah” bagi semua orang dan kita dapat lihat serta rasakan bagaimana antar karakter ada situasi uncomfortable sangat kuat.


Sangat jelas terasa bahwa keluarga itu memiliki beberapa masalah satu sama lain yang coba mereka sembunyikan di balik senyum palsu, demi acara sang ibu. Mereka berjuang untuk sama-sama menciptakan suasana bahagia demi memenuhi keinginan Sang Ibu yang kondisinya sendiri banyak membantu atmosfir yang uncomfortable tadi terus bergulir. Lily tersenyum tapi ada aura dingin, dia juga tahu bahwa semua senyum dari anggota keluarga yang hadir adalah senyum palsu. Dari sana Roger Michell kemudian mulai mendorong masuk berbagai konflik penuh gesekan secara halus, membangun cerita semakin luas secara perlahan tapi dengan pesona “dark” yang semakin mencengkeram.

Penonton dibuat terperangkap bersama kesedihan yang sebenarnya sudah memiliki sebuah goals yang jelas itu, membuat kita bertanya-tanya pada motif utama yang tersimpan di balik keputusan Lily tersebut. Tapi Roger Michell tidak terlalu terpaku pada satu fokus saja, ia juga mendorong pula berbagai pesan tentang makna sebuah keluarga untuk dirasakan oleh para penontonnya. Menyaksikan keluarga Lily dan Paul berkumpul seperti melihat taburan garam yang jatuh di atas luka, terasa perih dan menyakitkan. Tapi apakah luka tersebut masih dapat sembuh? Ya, tentu saja bisa namun di keluarga Lily jelas akan meninggalkan bekas luka yang sangat dalam dan sulit untuk dilupakan.


Roger Michell tidak menggali terlalu jauh isu utama tadi, ia membentuk agar tetap bermain di ruang yang kecil serta terbatas namun di sisi lain melakukan dramatisasi untuk menggali emosi. Mungkin akan terkesan malas tapi hasilnya cerita jadi terasa fokus walau memang dampaknya tidak semua bagian di dalam narasi yang generik itu berhasil bersinar. Punch di bagian akhir juga tidak terlalu kuat meski dihantar dengan baik. Tapi kekurangan itu tidak menggerus kualitas fun overall ‘Blackbird’ apalagi jika mengingat kembali keberhasilan aktor seperti Susan Sarandon, Kate Winslet, dan Mia Wasikowska dalam membentuk karakter mereka masing-masing agar membuat penonton merasakan seolah Lily, Jennifer, dan Anna adalah sosok yang eksis atau nyata.

Overall, ‘Blackbird’ adalah film yang cukup memuaskan. Berbicara tentang kualitas dalam hal mencengkeram atensi penonton sejak awal hingga akhir maka ‘Blackbird’ adalah salah satu yang terbaik di tahun ini. Tidak semua bagian cerita terasa kuat dan juga sempurna namun Sutradara Roger Michell mampu membuat pesona simple namun kuat yang menjadi andalannya itu agar hadir di dalam keluarga Lily, menarik masuk penonton ke dalam permasalahan yang berputar semakin dekat menuju titik akhir. Sederhana namun oke dalam menghantarkan pesan terkait makna dari sebuah keluarga, ‘Blackbird’ mungkin tidak outstanding namun jelas salah satu meaningful and comprehensible drama di tahun ini. Jaga kesehatan fisik dan juga mentalmu, begitupula hubunganmu dengan keluarga, jaga itu. 






1 comment :

  1. “Now you can think of me whenever you put salt on your wounds. Or pepper.”

    ReplyDelete