24 September 2020

Movie Review: The Babysitter: Killer Queen (2020)


“Getting what you want without actually working for it is ultimately unrewarding. Especially with love.”

‘The Babysitter’ merupakan sebuah kejutan yang manis di tahun 2017 di mana kala itu charm terbesar yang membuatnya terasa memorable adalah bagaimana materi klasik dan familiar dari genre horror berhasil digabungkan bersama teen comedy penuh dengan okultisme dan slasher yang lucu serta mengerikan dalam gerak yang terasa energik. Tidak heran jika akhirnya muncul kisah lanjutannya di film ini, upaya melanjutkan seraya eksploitasi terhadap celah yang masih tersisa di dalam cerita. ‘The Babysitter: Killer Queen’ : why are you so late, Bee?


Dua tahun setelah peristiwa di film pertama, Cole (Judah Lewis) kini telah duduk di bangku sekolah menengah atas tapi ternyata hanya itu yang berkembang di kehidupannya. Cole masih sama di mata orang-orang di sekitarnya, bahkan kedua orangtuanya Archie (Ken Marino) dan Phyliss (Leslie Bibb) juga masih beranggapan bahwa kisah tentang kultus setan yang dipimpin oleh mantan babysitter-nya yang bernama Bee (Samara Weaving) merupakan fantasi belaka yang dimiliki oleh anak mereka itu. Dan hanya Melanie (Emily Alyn Lind) yang percaya pada cerita tersebut.

Archie dan Phyliss cemas akan kesehatan jiwa Cole dan mereka memutuskan untuk mengirim Cole ke sekolah psikiatri. Cole menolak rencana tersebut dan melarikan diri bersama Melanie, Jimmy (Maximilian Acevedo), Diego (Juliocesar Chavez), dan Boom Boom (Jennifer Foster) ke sebuah pesta di danau. Sayangnya keputusan itu justru membawa Cole masuk ke dalam sebuah bahaya yang sudah familiar baginya, ia “kembali ke masa lalunya” dan bertemu dengan Sonya (Hana Mae Lee), Max (Robbie Amell), John (Andrew Bachelor), dan Allison (Bella Thorne).

Saya rasa akan menarik untuk membahas terlebih dahulu film pertamanya karena apa yang disajikan oleh film kedua ini merupakan kebalikan dari apa yang dahulu berhasil ditampilkan oleh film pertamanya, dalam hal pesona. Memang tidak original namun kala itu Screenwriter Brian Duffield berhasil mengolah kembali berbagai materi dan bumbu klasik dari sebuah horror comedy dengan cara tepat, script terasa menarik terutama pada narasi yang memutar cerita dan juga konflik. Unsur fun terus digenjot namun secara mengejutkan ada keterlibatan emosi di dalam cerita yang terasa oke. Tidak heran pada akhirnya di balik beberapa kekurangan yang ia punya di bawah arahan Sutradara McG ‘The Babysitter’ menjadi sebuah guilty-pleasure.


McG sendiri kembali duduk di bangku Sutradara pada film kedua ini namun kali ini script tidak lagi ditangani oleh Brian Duffield. Lanjutan pertarungan Cole melawan para setan itu kini ditulis oleh McG bersama Dan Lagana, Brad Morris, Jimmy Warden dan sepertinya banyak ide yang tertuang di dalam naskah. Alur utama cerita terasa oke terutama pada bagaimana membuat Cole kembali terjebak di dalam pertemuan dengan para setan tersebut, dari rencana orangtuanya lalu kemudian kabur hingga akhirnya terkurung di arena bermain yang sempit. Goals yang dicanangkan terasa simple begitu pula dengan solusi untuk mencapai konklusi pada cerita, juga terasa simple. So, apa masalahnya?

Masalahnya adalah ‘The Babysitter: Killer Queen’ kehilangan pesona yang tiga tahun lalu merupakan daya tarik terbesar dari film pertamanya, baik itu dari segi cerita maupun para karakter yang bermain di dalamnya. Cara McG membentuk cerita tidak lagi menelurkan narasi yang energik, memang kali ini Cole sebagai karakter utama terus ditempatkan dalam situasi genting yang membuatnya harus berpacu dengan waktu, namun sayangnya meski bergerak cepat tapi energi tidak kuat. Naskah sendiri memang tidak banyak membantu dalam hal ini, karakter tidak dibekali dengan materi yang dapat membuat mereka mencuri atensi penonton sampai titik tertinggi dan meninggalkan punch kuat. Yang mereka lakukan justru terasa setengah matang, bahkan untuk karakter Melanie.


Sebenarnya tim penulis sudah mencoba melakukan tweak di dalam cerita terkait karakter, yaitu dengan menghadirkan karakter Phoebe (Jenna Ortega) yang berhasil membawa kejutan dan nafas segar. Karakter satu ini terasa oke, bertugas sebagai pion penting bagi cerita ia memiliki kesan tangguh di dalam dirinya, tapi sayangnya tidak berkembang dan hanya jatuh menjadi love-interest sederhana saja. Ini yang hilang dari film kedua, yaitu karakter utama yang dapar “memimpin” serta mengemban tugas besar, hal yang berhasil dilakukan dengan sangat baik oleh karakter Bee di film pertama dahulu, ia menjadi pendamping bagi Cole dan juga berperan sebagai pemimpin yang membuat karakter-karakter ikut bersinar.

Alhasil film pertama memiliki cast yang terasa killer, sedangkan film kedua ini tidak. Cole tidak mampu menjadi leader, Phoebe memiliki ruang dan peran yang terasa terbatasi untuk dapat terlibat lebih jauh meskipun dari segi charm dia sudah terasa oke, sedangkan Melanie tidak lebih dari sekedar twist maker saja. Ketiadaan karakter yang mampu mengeksekusi berbagai aksi liar, nakal, dan brutal untuk menghasilkan punch yang kuat dari sektor karakter membuat jalannya cerita jadi terasa kurang menarik. Tidak ada kesan berbahaya yang terus dipompa secara konsisten, narasi terasa lesu dan itu terasa unik karena hadir dalam bentuk berbagai aksi dipenuhi tumpahan darah yang sadis serta komedi yang punya potensi untuk terasa sangat lucu.


Yang lucu justru bagaimana judul film ini menciptakan kontradiksi. Penambahan kata Killer Queen terasa menggelikan ketika di jajaran karakter justru tidak ada Ratu yang dapat menjadi killer yang mumpuni. Ya, film ini merindukan Samara Weaving di bangku Pilot karena tidak ada karakter lain yang mampu menjalankan tugas tersebut. Di tangan Judah Lewis karakter Cole yang sekarang masih sama seperti Cole yang tiga tahun lalu, Emily Alyn Lind sukses menghadirkan kejutan namun hanya sesaat, sedangkan Jenna Ortega kurang mendapat kesempatan untuk berperan lebih besar. Pemeran lain juga mendapat kesempatan yang terbatas untuk bersinar terutama Hana Mae Lee dan Bella Thorne.

Overall, ‘The Babysitter: Killer Queen’ adalah film yang kurang memuaskan. Tidak ada yang salah dengan cara film ini menumpahkan berbagai elemen horror di mana ia mencoba untuk menjadi sebuah slasher comedy yang mengerikan namun tetap terasa lucu. Target tersebut tidak semua miss, mayoritas mencapai sasaran namun dengan punch yang terasa lemah, mereka terasa ompong dan juga kurang mengigit. Penyebabnya adalah pesona dari karakter yang kurang kuat, mereka merupakan sebuah tim yang tidak memiliki pemimpin di dalamnya. Alhasil yang mereka lakukan hanyalah aksi saling kejar lalu kemudian selesai. No longer a guilty pleasure. Segmented. 







2 comments :

  1. "Tonight, I realize that strength is measured by the lengths you'll go to for the people you love."

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete