14 June 2020

Movie Review: Microhabitat (So-gong-nyeo) (2018)


Cigarette, whiskey, and you.”

Apakah kini kamu hidup dengan kebahagiaan yang kamu inginkan? Karakter utama film ini merupakan seorang wanita yang sangat mencintai whisky dan rokok, dua benda yang mungkin adalah arti bahagia baginya. Suatu ketika harga dua barang favoritnya tersebut naik dan membuatnya harus mengatur kembali manajemen keuangannya. Tapi ketika orang-orang “normal” mungkin akan memilih untuk merelakan slot dana “kebahagian” mereka, wanita itu justru memaksa slot dana untuk menyewa tempat tinggal menghilang dari daftar “a must” yang ia punya. Kenapa dia sangat mencintai whisky dan rokok? ‘Microhabitat (So-gong-nyeo)’ : a beautiful examination of life and being alive.

Miso (Esom) merupakan seorang housekeeper yang bekerja membersihkan rumah, dari dapur hingga jendela, berada di kelas ekonomi bawah dirinya sangat bergantung pada bayaran yang ia peroleh untuk dapat bertahan hidup, dia bahkan tidak bisa berhubungan seks dengan pacarnya Han-sol (Ahn Jae-hong) karena tempat tinggal yang ia sewa tidak memiliki air heater. Han-sol sendiri sama seperti Miso, ia pria yang sedang mencoba meniti karirnya dan mereka berdua sepakat untuk hidup sederhana. Tapi bagi Miso tidak untuk dua hal yang sangat ia cintai, whisky dan rokok.

Suatu ketika harga barang di Korea Selatan mengalami kenaikan, termasuk whisky dan juga rokok. Dengan gajinya yang tidak mengalami kenaikan Miso justru mengambil keputusan yang unik, ia memilih mempertahankan slot dana untuk kebutuhan whisky dan rokok yang ia cintai itu dan memilih untuk merelakan uang tabungan yang ia sisihkan untuk sewa tempat tinggal dan kesehatan. Alhasil Miso tidak punya tempat tinggal dan ia memutuskan untuk mendatangi teman-temannya mantan anggota band, satu per satu.
Salah satu hal paling menarik dari sebuah film yang melakukan “pemeriksaan” pada arti hidup tidak hanya terletak pada seberapa mampu ia menghantarkan berbagai isu klasik tentang hidup yang sebenarnya sederhana, tapi juga bagaimana cara penyajian dan pendekatan yang ia gunakan. Di debut penyutradaraannya ini Jeon Go-woon menggunakan cara yang unik, ia menaruh seorang wanita yang dapat dikategorikan “keras kepala” terhadap prinsip yang ia punya tentang arti menjadi bahagia untuk berkelana bertahan hidup bersama prinsip tadi yang sepintas terasa egois itu. Miso adalah wanita yang kurang mampu secara ekonomi, lalu kenapa ia tidak hidup sesuai dengan kemampuannya?

Itu pertanyaan yang paling menarik dari film ini, tentang arti menjalani hidup secara bahagia yang pasti akan berbeda untuk setiap orang. Di sini Miso menolak untuk merelakan kebahagiaannya, ia tidak mau untuk menjauh dari whiskey dan rokok karena dua benda tersebut mampu membuatnya merasa sangat bahagia. Sadar akan resiko yang harus ia hadapi kemudian Miso justru memilih “mencoba” untuk meraih belas kasih dari orang-orang yang ia kenal. Action tersebut adalah pengejawantahan yang digunakan oleh Jeon Go-woon untuk menunjukkan posisi gengsi di dalam hidup Miso, ia tidak malu untuk “mengemis” tempat tinggal kepada orang lain.
Mengemis demi mempertahankan kebahagiaan yang ia cintai. Ini menarik, ada semacam pertarungan antara gengsi dan ego di dalam diri Miso karena bisa saja dia tetap mempertahankan tempat tinggalnya itu namun dengan syarat merelakan atau mengurangi dana untuk membeli whiskey dan rokok. Pertarungan tersebut merupakan jalan yang sangat bagus dari Jeon Go-woon untuk kemudian membuat ‘Microhabitat’ semakin berwarna. Mencari tempat tinggal yang dilakukan Miso lantas mempertemukan dirinya dan juga kita sebagai penonton dengan berbagai hal menarik lainnya tentang hidup. Dan tentang arti dari sebuah kebahagiaan tadi lewat isu yang dimiliki masing-masing teman band Miso.

Masing-masing teman yang didatangi Miso ternyata memiliki permasalahan atau isu mereka sendiri, yang jika ditarik ke dalam konteks yang paling umum tentu saja tentang perasaan bahagia dalam menjalani hidup mereka kini. Hidup Miso tampak berat? Ternyata ada yang lebih berat, dan mereka berada di dalam kategori tersebut justru setelah mereka merelakan “kebahagiaan” mereka. Jeon Go-woon mengemas hal tersebut secara halus dan cenderung implisit tapi terasa sangat tajam, ia tidak menampilkan mereka secara in-your-face tapi secara tersirat menunjukkan eksistensinya kepada penonton dan membuat mereka bertanya, apakah sekarang saya hidup dengan kebahagiaan yang saya inginkan?
Hal tersebut yang membuat action dari Miso tampak sangat “keren” karena ia memilih untuk menikmati hal-hal yang ia yakini akan membuatnya merasa bahagia dalam menjalani hidupnya. Yang penting bagi dirinya adalah kebahagiaan dirinya sendiri, bukan untuk membuat bahagia pikiran dan juga mata orang lain. Yang dilakukan oleh Miso memang sesuatu yang sangat sulit untuk dipraktekkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari, contohnya ada pada karakter Han-sol, ia mengambil keputusan untuk merelakan “kebahagiaan” yang kini ia rasakan agar dapat hidup bahagia beberapa tahun kemudian, hal yang telah menjadi warna paling mencolok di dalam present society, berkorban untuk kebahagiaan di masa depan.

Hal-hal menarik tadi hadir di dalam narasi yang terus bergerak natural dengan pendekatan yang simple, tanpa dramatisasi yang terasa eksploitatif. Jeon Go-woon berhasil membuat tone cerita tetap seimbang, elemen drama sebagai fokus utama namun ditemani dengan berbagai humor satire yang terasa lucu, kualitas emosi dari cerita dan karakter juga dikontrol dengan baik hingga akhir sehingga penonton dapat ikut menaruh simpati dan mungkin berempati pada situasi yang dialami tiap karakter. Pencapaian tersebut juga dibantu tatanan visual bergaya arthouse yang manis, editing yang smooth, serta kinerja akting para pemerannya yang mumpuni, terutama Esom yang membuat Miso menjadi sosok dengan pesona eksentrik yang menarik, juga menjadi mata bagi penontonnya.
Overall, ‘Microhabitat (So-gong-nyeo)’ adalah film yang sangat memuaskan. Apakah pernah mendengar keluarga, teman, atau orang asing yang berkata padamu bahwa jangan terlalu memusingkan masa depan, nikmati hidupmu sekarang? Itu pelajaran yang coba dihadirkan oleh Jeon Go-woon di film ini, sebuah arti menjadi bahagia lewat rokok dan whiskey sebagai jalan namun bersama berbagai friksi yang cantik terkait present society. Terasa uplifting namun juga menakutkan, ‘Microhabitat’ sukses mengingatkan penontonnya bahwa mereka bisa hidup tanpa rumah tapi tidak bisa "hidup" tanpa perasaan bahagia. Tidak peduli seberapa besar ambisi dan mimpi yang kamu punya, jangan pernah lupa untuk menjadi bahagia, bukan nanti, tapi hari ini. Beautiful.












1 comment :