17 April 2020

Movie Review: A Good Woman Is Hard to Find (2019)


“If you want to get anywhere in this life, you’ll have to be a bit of a bitch.”

Ada alasan mengapa ketika seseorang sedang dirundung perasaan sedih, tidak peduli itu ringan maupun berat, orang-orang akan mencoba untuk menghiburnya dan membawanya keluar dari kesedihan tersebut. Dengan segera. Mengapa? Karena terjebak di dalam kesedihan dapat membuat seseorang kehilangan arah tentu saja dengan potensi terburuk yaitu dapat membawanya masuk ke dalam kekacauan yang bahkan bersifat menghancurkan. ‘A Good Woman Is Hard to Find’ : a simple but punchy thriller.

Wanita bernama Sarah (Sarah Bolger) sedang dihadapkan dengan berbagai masalah di dalam hidupnya, yang kemudian membuatnya tampak tidak bersemangat dalam menjalani kehidupannya. Hidupnya penuh dengan rasa sepi dan juga depresi akibat kehilangan suaminya, Steven Collins. Kini dengan uang yang terbatas Sarah harus menghidupi dua anaknya, Lucy (Macie McCauley) dan Ben (Rudy Doherty), di mana nama terakhir diduga mengalami masalah mental karena menolak bicara setelah menjadi bagian dari tragedi yang menimpa sang Ayah.

Sarah tidak terima dengan keputusan Polisi untuk tidak melakukan investigasi terhadap kasus yang menimpa suaminya. Masalah Sarah bertambah ketika suatu hari seorang pria bernama Tito (Andrew Simpson) masuk ke dalam rumahnya. Tito memberikan penawaran yang menguntungkan bagi Sarah dengan syarat ia diberikan ijin untuk menggunakan rumah Sarah. Celakanya hal tersebut justru membawa Sarah masuk ke dalam masalah baru yang kali ini lebih berat, tidak hanya dari Tito namun juga dari seorang pria berdarah dingin bernama Leo Miller (Edward Hogg).
Menulis sinopsis di atas jujur saja membutuhkan atensi yang sedikit lebih ektra jika dibandingkan dengan menulis sinopsis untuk review-review lainnya, karena tidak hanya karena lingkup masalah yang tersimpan di dalam cerita tidak terlalu luas namun juga karena berbagai materi yang digunakan oleh screenwriter Ronan Blaney untuk menciptakan punch pada dasarnya adalah materi-materi yang klasik serta sederhana. Dan materi tersebut dieksekusi pula secara sederhana oleh Abner Pastoll. Bagiamana bagian pembuka berperan pada keseluruhan film terasa cukup besar, karakter utama menyapa penonton dengan membasuh badannya disertai perasaan bingung yang tampak sukses mengguncang pikiran dan emosinya kala itu.

Dari sana kemudian hadir sebuah proses membangun masalah yang terasa padat dan lagi, terasa simple. Ketika telah berhasil membuat penonton bertanya-tanya serta penasaran dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan Sarah, kemudian Abner Pastoll membangun rangkaian masalah yang membawa penonton ke titik awal tersebut. Jelas sekali wanita itu sedang terperangkap rasa sedih yang mendalam, bercampur dengan rasa kesepian yang terus melanda kita punya karakter utama yang tampak berada dalam kondisi cukup rentan. Dari sana kemudian cerita menghadirkan kejutan di dalam hidupnya, sebuah kejutan dalam bentuk pukulan yang sebenarnya tidak langsung menghujam kuat.
Memang kemunculan Tito pertama kali di dalam kehidupan Sarah memberikan efek kejut yang terasa cukup kuat, namun itu lebih kepada pintu masuk bagi berbagai masalah bagi Sarah yang seolah terus mencoba menempatkan dirinya di tepi jurang terjal. Thrill yang dihasilkan dari momen-momen tersebut terasa oke, presentasinya terasa simple dengan mempermainkan situasi genting dan tersudutkan yang dialami oleh karakter utama. Abner Pastoll menata berbagai momen thrilling tersebut dalam kuantitas yang terasa oke, tidak pernah terasa coba diekploitasi terlalu dalam namun dibentuk secara padat, surprise – singkat – geser, surprise – singkat – geser, metode yang efektif sembari tetap membawa gejolak batin di dalam diri Sarah juga terus tumbuh semakin besar.

Apa yang ada di dalam pikiran Sarah adalah hal terbaik dari film ini, dan itu sangat membantu kualitas cerita yang sebenarnya ada di dalam kategori predictable. Tapi di sini Abner Pastoll membuktikan bahwa menjadi predictable bukanlah sesuatu yang buruk, secara perlahan ia rangkai runtutan masalah yang secara tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan Sarah itu dengan ritme yang menarik dan terasa stabil. Excitement yang dihasilkan cerita tidak ditempatkan pada posisi yang selalu siap meledak, namun dengan tenang secara kumulatif terus bertumbuh menjadi semakin besar. Hasilnya Sarah yang awalnya tampak rentan itu kemudian mengalami perubahan akibat tekanan yang ia rasakan, terutama konsekuensi dari aksi yang ia lakukan. 
Ceritanya tidak rumit, berbagai point dan isu klasik yang coba dipresentasikan juga tidak terasa berat, namun seperti judulnya sendiri ‘A Good Woman Is Hard to Find’ adalah sebuah feminist thiller yang berhasil menggambarkan bagaimana beratnya kehidupan Sarah yang harus merawat dua orang anak, terintimidasi, dan tidak memiliki power untuk melawan. Bahkan caranya memperlakukan vibrator layaknya narkoba yang dapat memberinya kepuasan yang ia inginkan adalah sesuatu yang tampak miris dan terasa menyedihkan. Menariknya Abner Pastoll tampilkan isu-isu tadi secara implisit, ia tetap mampu meninggalkan punch yang kuat namun tanpa mengorbankan thrill bahkan kesan gore yang tersimpan di dalam cerita.

Abner Pastoll menciptakan banyak ruang di mana ia dapat menampilkan kekejaman yang dialami oleh Sarah serta konsekuensi menakutkan yang kemudian Sarah harus hadapi. Di sisi lain ia juga memberikan kesempatan yang besar bagi para aktor untuk menampilkan pesona yang dimiliki oleh karakter mereka, bahkan untuk Tito yang diperankan dengan baik oleh Andrew Simpson, sedangkan sebagai pemeran karakter antagonis utama Edward Hogg menjalankan tugasnya dengan baik. Bintang utamanya tentu saja Sarah Bolger. Bolger membuat karakter Sarah menjadi fokus utama yang cantik, development yang ia hadirkan terasa exciting dengan kemampuan membentuk nuansa atau feel dari karakternya, dari cara ia berbicara hingga ekspresi, Sarah terasa seperti wanita nyata yang sedang lemah dan dipenuhi ketakutan.
Overall, ‘A Good Woman Is Hard to Find’ adalah film yang memuaskan. Sejak awal Abner Pastoll seolah telah memilih untuk bermain bersama berbagai konflik dan isu dengan cara yang simple, namun dengan kemampuannya menata materi klasik dan simple tersebut cerita yang pada dasarnya terasa predictable itu juga berhasil menyajikan sebuah perpaduan yang menarik, antara sebuah social drama dengan sorotan utama pada kondisi psikologis karakter utama dengan pesona dan daya tarik yang memikat serta sebuah revenge thriller yang cukup frontal dan menyenangkan serta terasa engaging. It’s simple, but yeah, it’s punchy. Segmented. 









1 comment :