14 December 2016

Review: Miss Sloane (2016)


"It’s about making sure you surprise them, and they don’t surprise you."

Menaruh harap bahwa politik dapat 100% bersih dan pro-rakyat itu ibarat berusaha mencari beberapa jarum pada setumpukan jerami, mungkin dapat ketemu tapi pasti akan sangat sulit. Mengapa? Karena politik tidak hanya sebuah panggung sandiwara saja tapi juga berisikan sebuah permainan dengan banyak peserta yang masing-masing membawa agenda yang tentu berbeda-beda. Politik lebih sering dipenuhi usaha untuk saling menjatuhkan dengan melakukan berbagai cara salah satunya seperti sabotase, hasilnya pihak yang baik bisa kalah dan mereka yang "kurang baik" justru bisa menjadi pemenang. Hal tersebut menjadi dasar dari film ini, sebuah permainan antara politik, agenda, dan lobbyists berjudul ‘Miss Sloane’. It’s a chilling and engaging political thriller.

Elizabeth Sloane (Jessica Chastain) merupakan seorang lobbyist handal dan tangguh, status yang ia punya adalah “most wanted” karena meskipun high priced ia merupakan master di bidang yang ia geluti itu dan sosok yang ditakuti oleh lawan-lawannya. Suatu ketika Elizabeth Sloane membuat kejutan, dia mundur dari tempat ia bekerja dan memilih bergabung dengan philanthropist bernama Rodolfo Schmidt (Mark Strong). Celakanya kasus yang harus ia tangani adalah masalah terkait penjualan dan kepemilikan senjata, hal yang menciptakan kontras karena sebelumnya Elizabeth Sloane pernah berada di sisi sebaliknya. 


Seorang lobbyist tidak dapat dikatakan sepenuhnya sama seperti seorang pengacara, mereka serupa namun tak sama dan salah satu kesamaan yang mereka punya adalah kemungkinan untuk berada di sisi atau pihak yang sebelumnya pernah menjadi target untuk dia kalahkan. Itu situasi yang harus dihadapi oleh karakter Elizabeth Sloane, sosok yang punya motto bahwa ia akan melakukan apapun untuk dapat meraih kemenangan. Tentu ada alasan mengapa film ini menggunakan nama karakter utamanya sebagai judul karena fokus kita para penonton benar-benar diarahkan pada perjuangan Miss Sloane untuk meraih kemenangan termasuk ketika ia harus berhadapan dengan berbagai rintangan yang berpotensi besar menjadi boomerang mematikan baginya. Di sini karir dan image moral Miss Sloane dipertaruhkan di dalam sebuah permainan politik penuh intrik yang dikemas secara menarik oleh John Madden (Shakespeare in Love, The Best Exotic Marigold Hotel, The Second Best Exotic Marigold Hotel). 


Skenario yang ditulis oleh Jonathan Perera mencoba membawa penonton menyaksikan sebuah drama yang dipenuhi manuver politik di dalamnya kental dengan Aaron Sorkin style, penuh teknis manipulasi dari kedua belah pihak yang sedang bertarung. Terdapat debat di dalam cerita yang kemudian menjadi force yang membuat narasi terus bergerak dengan kecepatan yang cukup oke, politikus mencoba mempertahankan posisi mereka sementara aksi "sabotase" hadir di dalamnya. Perlahan konflik yang awalnya berpusat pada “gun rights” itu justru berkembang menjadi penggambaran tentang kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam politik. Yang menarik dari mereka adalah John Madden berhasil membuat perjuangan Miss Sloane terasa “real” ketika disaksikan, dia berhasil membuat konflik tersebut terasa chilling dan membuat sisi dark dari politik itu terasa creepy, berbagai sikap sinis di dalam cerita berhasil John Madden bentuk menjadi sebuah materi untuk mengisi pertarungan dengan cara yang lincah. 


Hasilnya positif meskipun tidak berakhir di posisi yang sangat tinggi. Screenplay dari Jonathan Perera menggunakan political debates sebagai pusat, berbagai poin di dalam cerita dibentuk dengan oke dan tampak punya potensi untuk menggigit, dialog dan cerita bergerak lincah a bit like sebuah orchestra. Ini tentang dua buah kampanye yang mencoba meraih kemenangan dan screenplay juga berhasil menciptakan kesan misterius di dalam proses yang cukup prosedurial itu. Penonton dibuat bertanya terhadap karakter Miss Sloane, apa sebenarnya niat utama yang ia punya dari keputusan mengejutkan yang ia buat itu? Ceritanya sendiri seperti tidak mencoba berusaha tampak super kompleks tapi tetap berhasil mengeksplorasi proses lobbying itu untuk berisikan berbagai power dan kontrol dengan kualitas kesan manipulatif yang terasa oke. Hal itu pula yang membuat cerita yang tampak predictable itu mampu menjaga atensi penontonnya, penonton seperti merasa terlibat di dalam cerita. 


Sebagai sebuah drama thriller ‘Miss Sloane’ wajib untuk menjaga penonton agar tetap merasa terlibat dan tertarik pada cerita, itu berhasil film ini lakukan dengan baik. Terdapat tricks and trade yang digunakan dengan baik oleh John Madden di sini, dari uang dan juga kontak ia coba menunjukkan bagaimana sikap “cynicism” yang dimiliki publik terhadap sistem yang bekerja di dalam pemerintahan. They feel authentic sama seperti performa akting dari bintang utama kita yaitu Jessica Chastain. She’s a powerhouse here, seorang career-obsessed lobbyist yang smart and slick Chastain mengekspresikan karakternya secara sangat efektif, semangat menang Sloane ia tampilkan secara halus, sulit untuk berpaling darinya ketika ia muncul di layar. Karakter pendukung lainnya berhasil menjalankan tugas mereka sebagai pendukung, dari Mark Strong, Allison Pill, John Lithgow dan Jake Lacy, Sam Waterston sebagai lawan yang “vulgar”, Michael Stuhlbarg sebagai pria yang “kotor”, serta Gugu Mbatha-Raw sebagai wanita yang sensitive dan terasa cukup magnetic. Ini ensembles yang terasa compact. 


Setelah third act yang not-so-strong itu bagian akhir mungkin akan membelah opini penonton, namun dengan tricks and trade serta twist and turns John Madden berhasil menghadirkan sebuah political thriller yang terasa menghibur. ‘Miss Sloane’ punya beberapa minus tapi berhasil ditutup secara efektif dengan permainan hitam dan putih yang terasa chilling dan engaging itu, terasa pragmatis karena tidak mencoba “memukul” isu utama secara kuat tapi tetap meninggalkan kesan yang kuat lewat penggambaran yang “raw” terhadap sistem yang terdapat di dunia politik. Kecuali bagian akhir harus diakui ini terasa predictable tapi ‘Miss Sloane’ menyajikan sebuah aksi mengamati yang mampu menjaga excitement, sebuah permainan cat-and-mouse dengan Oscar-worthy performance dari still-Oscar-less Jessica Chastain. Segmented.










8 comments :

  1. Kayaknya peluang Chastain udh kecil banget nih kak stlh gak dpt nominasi SAG.:((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terakhir kali nominee Best Actress Oscars dan SAG identik itu tahun 2009, setelah itu selalu beda. Jadi Chastain dan kandidat lainnya masih punya peluang. :)

      Delete
    2. Oh oke lah kalo gitu. Aku masih ngarep Huppert bisa dpt nominasi plus Chastain atau Vikander buat gantiin Emily atau Streep. Aku gak terlalu suka FFJ. Blm nonton The girl on the train sih tapi rating RT kecil gitu jd ragu. :(

      Delete
    3. Meryl Streep? Imo sih meskipun bukan her best tapi di FFJ Streep termasuk oke, paling memorable setelah August: Osage County. Tapi untuk Blunt setuju, dia oke di The Girl on the Train tapi masih kalah jika dibandingkan dengan Chastain, Bening, dan juga Negga. :)

      Delete
    4. Kakak udh nonton 20th Century Women? Feeling aku sih Meryl Streep gak dpt nominasi tahun ini. hehehe. :))

      Delete
    5. Awards seasons lesson number seven: do not bet against Meryl Streep to get an Oscars nomination! Just don’t. Mungkin maksud Gina itu Huppert ya karena 20thCW baru tayang 27/12 di US. :)

      Delete
    6. lol. Menurut kakak peluang Emily Blunt gimana tuh kak secara di RT The Girl on the Train rotten.

      Delete
    7. Saya belum nonton The Girl on the Train jadi belum bisa prediksi, tapi anything can happen kok, tidak berpengaruh itu score RT terhadap kategori akting, Meryl Streep saja bisa menang Best Actress dengan mediocre film yang punya score RT 50%. Oh, itu Meryl Streep ya. :)

      Delete