17 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Chamber of Secrets (2002)


"You shall not harm Harry Potter!"

Setelah pembuka yang faithful dan berhasil membangun dasar yang baik bagi karakter dan juga konflik, Harry Potter and the Philosopher's Stone, kini Harry kembali harus berhadapan dengan masalah yang berasal dari sebuah terror terkait kamar rahasia di Hogwarts. Mencoba melanjutkan excitement yang telah terbentuk itu sutradara dan writer menunjukkan bahwa mereka semakin confident ketika bermain dengan materi, menghasilkan berbagai pertumbuhan yang menarik meskipun tidak bersifat menyeluruh dan menjangkau semua bagian. Berikut adalah film kedua dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Chamber of Secrets, a safely landing flight.

Resmi menjadi bagian dari sekolah sihir Hogwarts membuat Harry Potter (Daniel Radcliffe) justru semakin “dijaga” ketat oleh The Dursleys. Namun ternyata yang mencoba menghalangi agar Harry tidak dapat kembali ke Hogwarts tidak hanya The Dursleys saja namun juga sebuah makhluk bernama Dobby yang mengaku mendapat perintah dari majikannya untuk membuat Harry tidak kembali ke Hogwarts. Usaha Dobby tersebut gagal setelah Ron (Rupert Grint) bersama dengan Fred (James Phelps) dan juga George (Oliver Phelps) datang menyelamatkan Harry dengan menggunakan mobil terbang ayah mereka. Celakanya mobil tersebut juga meninggalkan memori kelam bagi Harry dan juga Ron dalam perjalanan mereka ke Hogwarts, sebuah permulaan dari berbagai masalah lain yang harus Harry hadapi kemudian. 

Kembali harus berhadapan dengan usaha Draco Malfoy (Tom Felton) untuk “menjatuhkan” Harry serta sikap sinis yang ditunjukkan oleh Severus Snape (Alan Rickman), masalah terbesar yang kini harus Harry hadapi justru berasal dari sebuah suara yang terus “memanggil” Harry. Itu merupakan awal dari berbagai terror yang kemudian menghampiri Hogwarts, kondisi yang lantas membuat Albus Dumbledore (Richard Harris) memasang status siaga bagi Hogwarts. Sumber dari terror tersebut ternyata berasal dari sebuah kamar rahasia yang diyakini dahulu dibangun oleh Salazar Slytherin untuk kemudian diisi dengan monster yang hanya dapat dikontrol oleh his heir. Monster tersebut menjadi bagian dari rencana Slytherin untuk “membersihkan” Hogwarts dari penyihir berdarah campuran. 


Kembali dengan tim yang sama di bangku sutradara serta screenwriter ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ merupakan sebuah upaya memperluas Potterverse yang cukup baik dalam konteks konflik. Mudah untuk merasakan bagaimana dunia sihir itu kini semakin luas dan besar terlebih dengan feel bahwa dengan kedatangan Harry Potter ke dalam Hogwarts tidak hanya membuat sekolah sihir itu semakin kuat saja namun juga membuat mereka harus semakin waspada karena kini Lord Voldemort semakin “mendekat” kearah mereka. Kondisi tersebut berhasil ditampilkan oleh Chris Columbus dengan cukup baik di sini, tidak terdapat perkembangan yang cukup besar memang namun at least ia mampu membuat ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ untuk mengingatkan penonton bahwa dunia sihir itu tidak hanya akan berisikan keceriaan remaja saja, there’s something more big and more serious yang siap menerjang.

Excitement yang berhasil dibentuk dengan baik di film pertama berhasil dilanjutkan dengan baik di sini meskipun dengan fakta bahwa tim yang berada di posisi terdepan masih sama juga membuat cara bermain yang hadir di sini juga serupa namun tak sama dengan film pertama. Columbus dan juga screenwriter Steve Kloves masih memilih untuk tetap setia dengan sumber cerita, di sini template yang digunakan masih sama meskipun mencoba menyajikan sebuah petualangan berisikan berbagai scares yang cukup oke dan membedakannya dengan film pertama. Terdapat berbagai kejutan di dalam cerita namun nasibnya masih sama seperti pendahulunya itu, tidak semua dari mereka menghasilkan punch yang kuat dan berkesan, bahkan momen ketika Harry harus berhadapan dengan ular itu tidak memiliki tensi yang begitu memuaskan. 


Tidak mengganti formula yang digunakan pada film pertama bukan berarti menandakan Columbus dan juga Steve Kloves “lazy” di sini, proses storytelling yang mereka sajikan terasa ringkas dan juga jelas, begitupula dengan kemampuan Columbus dalam menyeimbangkan kombinasi tone cerita antara yang ringan berisikan humor serta ketika cerita bermain di darker tone. Cara mereka memasukkan berbagai  “komponen” baru terutama pada sektor karakter juga oke seperti Lucius Malfoy dan juga Gilderoy Lockhart yang klik dengan manis bersama karakter yang telah eksis dan tampak semakin comfortable di dalam cerita. Namun sama seperti misteri yang simple itu in the end kesan yang ditinggalkan oleh ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ juga terasa terlalu simple, terasa terlalu safe. Tidak menginginkan sebuah presentasi yang dipenuhi kehebohan sebenarnya namun jika menilik dari sinopsis ini memiliki materi yang lebih gelap namun sayangnya juga terasa kurang “menggigit” jika dibandingkan dengan film pertama.

Eksposisi yang ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ miliki terasa baik namun di beberapa bagian it lose its own stream and momentum. Dengan materi yang lebih kompleks itu Columbus seharusnya bisa menghasilkan sesuatu yang lebih "tighter" sembari tetap berpegang teguh pada semangat dari novel J.K. Rowling. Terdapat beberapa bagian yang terasa adds little terhadap cerita seperti kunjungan mendadak ke sarang laba-laba itu meskipun pada dasarnya memiliki koneksi yang oke terhadap cerita. Pace cerita kurang konsisten di bagian akhir sehingga dark tone yang seharusnya mendominasi tidak menghasilkan “tekanan” yang intens. Columbus dan tim elemen teknis kembali berhasil mempertahankan daya magis dari kisah fantasi Harry Potter namun di sini kualitas mereka terasa stagnan, mostly we have seen before sehingga tidak menghasilkan sebuah kejutan yang sebenarnya dapat membantu meningkatkan pesona dari Potterverse secara keseluruhan. 


Salah satu elemen dari ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ yang berhasil untuk duduk di level yang sama seperti pendahulunya adalah kualitas visual. Production values tetap sama, production design terasa memikat begitupula dengan special effects yang menghadirkan realisasi yang oke. ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ mungkin bukan film terbaik dari Harry Potter film series namun ia memiliki jumlah momen memorable yang tidak berada di posisi terbawah dari total delapan film, dari momen mobil terbang, pohon dan surat marah, Harry versus Draco, that wand, menyamar, Quidditch, hingga laba-laba, phoenix, dan ular, mereka semua berasal dari special F/X yang finely executed and crafted. Elemen teknis yang terasa lebih baik dari film pertama adalah cinematography sementara score dari John Williams tampil dengan kualitas yang sama.

Elemen lain yang menunjukkan pertumbuhan signifikan adalah kinerja akting, terutama pada child actors. Kesan sedikit kaku yang mereka tunjukkan di film pertama perlahan menghilang dari akting Daniel Radcliffe, Rupert Grint, dan Emma Watson. A year older mereka tampak semakin confident dalam menampilkan karakter mereka masing-masing terutama pada Daniel Radcliffe yang berhasil membawa Harry Potter semakin dekat pada tugasnya sebagai salah satu kunci penting bagi keberlangsungan Hogwarts. Adult actors yang telah hadir di film pertama mendapat porsi yang sedikit berkurang di sini, dari Alan Rickman, Maggie Smith, dan Robbie Coltrane, sementara Richard Harris yang tampak “tenang” di film pertama berhasil mendorong peran Dumbledore di dalam cerita. Yang mencuri perhatian di sektor ini adalah Jason Isaacs yang berhasil menampilkan kesan cruel yang cool dan juga Kenneth Branagh yang dengan baik membentuk Gilderoy Lockhart sebagai pria pesolek yang narsis dan tidak dapat diandalkan. 


Overall, ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ adalah film yang cukup memuaskan. Serupa namun tak sama dengan film pertama di sini Columbus masih bermain “aman” dengan materi cerita, menciptakan kesan “filmed book” yang kental seperti film pertama dengan darker tone sebagai pembeda. It hit the target actually, dari konflik yang berhasil diperluas dengan baik hingga karakter yang menunjukkan kesan nyaman yang semakin besar, namun secara overall ini tidak lebih baik dari film pertama terutama pada fakta bahwa ia sempat kehilangan momentum dengan pace yang kurang oke meskipun tidak sluggish. Tetap enjoyable dan memiliki cukup banyak momen yang memorable, namun ibarat pesawat terbang ini adalah pesawat terbang komersial yang terbang aman dan mendarat aman. Good and pretty enjoyable, namun kurang menggigit.










3 comments :

  1. Wah kak rory, late review nih ceritanya... 😂 jadi inget jaman SD nih film, saya termasuk yang mengikuti sekali lho seri harry potter ini... Misteri, fantasy, drama, dan sedikit bumbu komedi menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan 😊

    ReplyDelete
  2. Imo sih Chamber of Secrets salah satu film terlemah di antara 8 film Harry Potter.

    ReplyDelete
  3. Visualisasi, sinematografi, dunia sihir hogwarts adlh yg plng memorable dr serial Harpots movies

    ReplyDelete