23 July 2016

Review: Lights Out (2016)


“Every time I turn off the lights, there’s this woman, waiting in the shadows.”

Apa hal pertama yang terlintas di pikiran kamu ketika berbicara tentang kondisi gelap? Banyak memang, salah satunya adalah hantu. Ketika kamu dalam perjalanan pulang di malam hari dan melewati tempat gelap kamu tiba-tiba merasa ada “sesuatu” mengikuti di belakang kamu, kamu berhenti kemudian dengan menggunakan cahaya dari smartphone mencoba mengecek dan tidak ada apapun di belakangmu, namun ketika kembali melangkah maju perasaan sedang “diikuti” itu kembali muncul. Produced by the man behind The Conjuring, Insidious, and Furious 7,  ‘Lights Out’ berhasil memanfaatkan dan mengolah dengan baik kegelapan tadi menjadi sebuah sajian horror yang menyenangkan. ‘The Ring’ married ‘A Nightmare on Elm Street’, it’ll make you think twice before turning the lights out.

Wanita bernama Rebecca (Teresa Palmer) merasa khawatir dengan adik tirinya Martin (Gabriel Bateman). Martin yang tinggal bersama ibu Rebecca, Sophie (Maria Bello), mengatakan bahwa kini ia merasa tidak nyaman karena “diganggu” oleh roh jahat bernama Diana (Alicia Vela-Bailey), roh jahat yang hanya muncul di kegelapan. Rebecca “tahu” siapa Diana namun ketika ia bersama pacarnya Bret (Alexander DiPersia) mencoba untuk “mengalahkan” Diana mereka menghadapi rintangan karena Sophie yang telah lama memiliki masalah kesehatan mental menganggap Diana sebagai teman baiknya, begitu pula sebaliknya.


Hal terbaik dari ‘Lights Out’ dan juga menjadi alasan mengapa ia bekerja dengan baik adalah karena sutradara David F. Sandberg tetap berpegang teguh pada hal terbaik dari versi short film: di sana ada hantu, matikan lampu, hidupkan lampu, matikan lampu lagi, dan boom! Membuat batasan bahwa roh jahat tersebut hanya muncul ketika lampu dipadamkan merupakan sebuah setting yang baik, semacam menciptakan ruang untuk mempermainkan adrenalin penonton, membuat denyut jantung kamu naik lalu melempar masuk sebuah kepanikan. Kita tidak diberi tahu secara mendalam tentang Diana, karakter naif yang tidak pasif, namun setiap kali kondisi gelap muncul paranoia penonton berhasil ia pompa. Bahkan ketika ia tidak muncul di layar rasa waspada selalu ada karena statusnya sejak awal merupakan spirit tukang intip, menunggu momen untuk “menyerang” manusia. Kondisi tersebut ditampilkan secara periodik oleh Sandberg, dibakar perlahan tapi tidak terasa monoton dan kehilangan rasa nikmat.


Sebenarnya ‘Lights Out’ merupakan horror yang “cheap” dari segi cerita tapi berbagai tweak yang dilakukan setelah sinopsis berhasil membuat materi dan eksekusi klise itu menjadi sajian yang oke. Mengandalkan ‘BOO momentDavid F. Sandberg berhasil menciptakan dan menjaga tensi serta atmosfir cerita yang oke lalu kemudian menjaga penonton agar tetap merasa waspada. Itu penyebab kesuksesan ‘Lights Out’ meskipun simple karena ia berhasil mengikat penonton di dalam cerita. Walaupun tidak punya setting yang rumit anehnya kita peduli pada karakter, hal yang bagi saya merupakan sebuah hook wajib dari film horror. Tapi hook film ini tidak hanya itu, situasi yang dialami karakter merupakan situasi yang dapat kamu temukan bahkan alami di keseharianmu, momen ketika kamu baru pulang kerja dan mencoba menghidupkan lampu tapi tampak “sosok asing” yang berdiri menunggumu di sudut ruang tamu. Itu membuat penonton tidak hanya waspada saja tapi juga bermain dengan imajinasi mereka.


Kombinasi tadi bekerja dengan baik. Sandberg dan Eric Heisserer berhasil menciptakan variasi antara dramatisasi dan scare sequences sehingga ini tidak mengalami kondisi statis serta rasa menakutkan yang perlahan berkurang. Saya suka rasa percaya diri Sandberg di sini, cara ia membawa kita merasakan kembali childhood fears pada kegelapan terasa seperti sebuah rollercoaster yang fun, fast and furious. Sandberg menggunakan banyak trik horror klasik di sini seperti trik haunted house misalnya dengan perpaduan visual dan suara yang kreatif, itu ia gunakan untuk memanipulasi penonton berbagai hal-hal “nakal” lainnya. Banyak gimmick di sini tapi dalam durasi yang ramping itu kesan mencengkeram yang ‘Lights Out’ tidak terasa basi, mempermainkan nerve penonton yang telah terjerat dengan ketegangan yang dingin lalu memberi mereka penampakan yang mengejutkan dengan kualitas goosebumps atau merinding yang oke.


Lalu apa kekurangan ‘Lights Out’? Lights Out "laughable." Mudah untuk bertemu dengan tipe penonton film horor yang menjengkelkan yang "memaksa" tertawa setiap kali momen menegangkan berlalu, film ini punya banyak "momen" seperti itu. Itu semakin kuat karena cerita ‘Lights Out’ pada dasarnya juga terasa sedikit absurd sehingga akan ada penonton yang tidak merasa “terikat” dan perlahan mulai menganggap ini sebagai sebuah komedi. Aneh? Ya, mereka memang aneh karena untuk merasa terikat dengan ‘Lights Out’ sebenarnya sangat mudah apalagi jajaran cast berhasil membuat situasi yang mereka hadapi terasa oke. Maria Bello tampil baik sebagai ibu dengan mental yang tidak stabil, sedangkan Gabriel Bateman punya potensi besar di industri film horror. Teresa Palmer adalah bintang utamanya, punya tugas sebagai pusat emosi rasa sakit yang Rebecca alami terpancar dari kepanikan yang ia alami, a merit performance dengan sebuah momen heart-breaking yang memikat.


Saya suka film horror seperti ‘Lights Out’, terasa sedikit mentah dan tidak terlalu dipoles untuk terasa kompleks tapi mampu memanfaatkan kesederhanaan dan berbagai trik klasik genre horror untuk mempermainkan paranoia penontonnya. Manipulasi kegelapan dengan mengandalkan “gotcha!” moments, sedikit elemen psychological ala The Babadook meskipun kurang kuat, tujuan utama film ini adalah membuat kamu waspada, menahan nafas, lalu kemudian berteriak. Itu dieksekusi dengan efesien oleh David F. Sandberg (sutradara Annabelle 2) di debut layar lebarnya ini, tidak outstanding namun berhasil menantang kegelisahan dan adrenalin penonton dengan menggunakan sistem “there-not there” serta fokus untuk menciptakan sentakan yang menggigit. It’s cheap and fun. As a reminder kondisi studio bioskop juga gelap, so, yeah, selamat “bergembira” bersama Rebecca. Segmented












5 comments :

  1. ngiri "lights out" ga tayang di bioskop indo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berdasarkan info terbaru akan tayang di Indonesia tanggal 19 Agustus Mas Yanuar. :)

      Delete
  2. salam kenal mas.
    ada rekomendasi film Horor yang paling horor tapi tanpa adegan pembunuhan sadis kira2 apa ya mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Film-film horror terbaik versi rorypnm tiga tahun terakhir: http://bit.ly/2acZxIo, http://bit.ly/29UxjCu, http://bit.ly/29YRP08

      Mayoritas dari mereka punya bumbu "sadis" yang masih normal. :)

      Delete
  3. Ada. Brother grimsy. Horor filmnya tanpa pembunuhan sadis

    ReplyDelete