02 April 2016

Review: Eddie the Eagle [2016]


"Eddie, you are not an athlete!"

Tidak ada yang mustahil untuk kamu capai jika kamu terus berjuang dan berusaha untuk meraihnya! Ketika kamu jatuh percayalah bahwa kamu bisa bangkit dan menang. Tampak seperti banyak quote yang sudah sangat sering kita temukan bukan? Hal tersebut adalah dasar film ini, Eddie the Eagle, yang ternyata memilih untuk menjadi penggambaran dari sebuah proses terhadap perjuangan seorang pria muda dengan kekurangan dan rintangan yang harus ia taklukkan untuk dapat meraih mimpinya, tampil di Olimpiade. Seperti sayur kurang garam.

Seorang pemuda bernama Eddie Edwards (Taron Egerton) telah memiliki mimpi untuk dapat tampil di Olimpiade sejak kecil, namun cacat fisik dan terus menerus sakit menjadi penghalang bagi Eddie selain sang ayah Terry (Keith Allen) yang tidak mendukung mimpinya itu. Namun dengan semangat dan perjuangan keras lelaki yang terus didukung oleh sang ibu, Janette (Jo Hartley), berhasil mengatasi rintangan tadi, perlahan menjadi mahir di olahraga ski jumping. Eddie terus berjuang untuk menjadi wakil di Olimpiade pada cabang olahraga yang telah lama ditinggalkan oleh Komite Olimpiade Britania Raya itu, dari pindah ke Jerman dan bertemu dengan Bronson Peary (Hugh Jackman), mantan juara ski jumping yang kemudian melatihnya. Namun Eddie harus waspada karena kisah kelam masa lalu di tubuhnya ternyata belum hilang sepenuhnya. 



Eddie the Eagle sebenarnya punya bahan yang menarik, dari sinopsis tadi kamu bisa tangkap bahwa karakter Eddie merupakan sosok yang punya banyak rintangan di dalam hidupnya, dari masalah fisik hingga orangtua. Ya, Eddie the Eagle pada dasarnya punya banyak “rasa” yang bisa ia campur atau oleh untuk menampilkan kisah perjuangan Eddie untuk mewujudkan mimpinya menjadi kenyataan yang bukan cuma sekedar jadi penggambaran proses saja tapi juga menjadi sebuah kisah yang menginspirasi dengan sikap pantang menyerah di titik pusat. Namun ternyata film biografi ini tidak memilih untuk menjadi sebuah drama dengan dramatisasi yang rumit, sutradara Dexter Fletcher dan penulis script Sean Macaulay ternyata ingin membawa kamu langsung ke point terpenting dari cerita: latihan untuk dapat masuk Olimpiade.



Keputusan itu menghasilkan nilai plus dan minus yang seimbang. Dampak positifnya adalah fokus cerita cukup baik, fokus pada obsesi Eddie terhadap Olimpiade tebal sehingga sulit bagi irama alur cerita untuk kehilangan arah. Eksplorasi terhadap karakter Eddie yang jadi salah satu tugas penting dari jenis film seperti ini juga dilakukan dengan baik, dari rasa takut sampai dengan keinginan besar yang ia miliki, itu berhasil dicapai dengan cukup oke. Eddie the Eagle juga punya misi lain untuk menggunakan hal lain di sekitar Eddie untuk mendukung eksplorasi, ambil contoh kasih sayang dan perhatian orang tua hingga pelatih kepada Eddie yang juga ditampilkan dengan oke. Dan yang paling krusial, kegigihan Eddie berhasil menarik atensi penonton sejak awal hingga akhir.



Lalu apa nilai minus film ini? Eddie the Eagle sukses menggambarkan proses perjuangan yang dilakukan oleh tokoh utamanya namun ia kurang berhasil menjadi sebuah film biografi yang menginspirasi. Seorang underdog yang berhasil menumbangkan kemalangan dan rintangan yang ada di hadapannya, itu hasil akhir film ini, bukan kisah tentang seorang underdog yang membuat penonton yakin bahwa segala kekurangan dan rintangan dapat ditaklukkan untuk meraih keberhasilan. Alangkah lebih baik jika karakter Eddie dapat diberikan pondasi yang lebih kuat untuk meraih empati penonton. Eddie perlahan tampak seperti pria yang hanya terobsesi untuk menaklukkan rintangan dan berada di Olimpiade, bukan atlet yang “haus” untuk merayakan sebuah kemenangan.



Itu alasan mengapa walaupun oke namun Eddie the Eagle terasa biasa, ia hanya sebuah proses mengalahkan rintangan tanpa ada kemenangan yang menarik untuk dirayakan. Chemistry antara Hugh Jackman dan Taron Egerton terus berusaha mengunci atensi penonton, tik-tok mereka oke dan ketika berdiri sendiri Jackman tampil baik sebagai pria pemarah yang menyenangkan. Bagaimana dengan Eddie? Penonton akan stick dengan keinginan Eddie untuk mencapai Olimpiade dan berharap ia mampu meraih ambisinya itu tapi tidak ada koneksi emosi yang menarik, tidak ada empati untuk ingin membantunya meraih kemenangan. Kamu datang sebagai penonton yang hanya tertarik menantikan hasil akhir bukan seolah ikut terlibat dan merasakan sakit dan senang yang Eddie rasakan.



Potensi besar, punya banyak bahan menarik, konstruksi cerita juga baik, tapi ibarat sebuah ski jumping film ini berhasil sebuah aksi melompat yang baik tapi tidak membuat penonton merasa waspada pada kemungkinan gagal atau berhasil ketika si atlet mendarat dengan kuat. Tidak buruk, namun sebagai sebuah film biografi Eddie the Eagle hanya mampu menjadi sebuah sajian yang bercerita tentang proses tokoh utamanya berjuang meraih ambisinya, bukan sajian yang memberikan perjuangan di mana bukan cuma ada ambisi tapi juga emosi dari karakter dan empati dari penonton sehingga ketika tokoh utama berhasil penonton bahagia namun tidak bertepuk tangan untuk ikut merayakan kesuksesannya. Segmented.

















Thanks to: rory pinem

2 comments :

  1. Menurutku sangat menginspirasi, kalau dipaksakan menang malah gak bagus..namanya jg kisah nyata, yg disorot disini prosesnya bkn pencapaiannya 8/10 menurutku

    ReplyDelete
  2. Sebagai film yg terinspirasi kisah nyata, sorotan utamanya adalah proses/perjuangan, krn akhirnya kita sdh tahu. 8/10.

    ReplyDelete